Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Potret Buram Pendidikan Indonesia

4 Desember 2019   07:27 Diperbarui: 18 Desember 2019   18:23 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil evaluasi Program  for International Student Assessment (PISA) tahun 2018  baru saja dikeluarkan memberikan gambaran umum terkait  daya saing siswa Indonesia usia 15 tahun kita dibandingkan dengan rekan rekannya di negara lain.

Hasil  asesmen PISA merupakan  indikator keberhasilan siswa dalam berpartisipasi di masyarakat  yang menggambarkan tingkat kemampuan dan skill yang esensil. Fokus asesmen PISA adalah tingkat kemampuan  membaca, matematika dan inovasi dan sain siswa usia 15 tahun. Disamping itu PISA juga melakukan asesmen terhadap  afmosfir sekolah.

Hasil asesmen PISA ttahun 2018 sebagaimana tahun tahun sebelumnya memang tidak terlalu menggembirakan bagi Indonesia.  Performa siswa Indonesia di tiga kompenen pengetahuan utama ini jauh di bawah rata rata kemampuan siswa di negara OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development) yang dianggap sebagai kelompok negara maju yang dicirikan dengan pendapatan yang tinggi dan high Human Development Index (HDI) yang sangat tinggi.

Dalam hal kemampuan literasi  siswa Indonesia  berada di urutan keenam terbawah dari  77 negara dengan skor 371.   Dalam hal ini siswa Indonesia hanya unggul dari siswa lainnya dari negara  Maroko, Lebanon, Kosovo, Republik Dominika dan Phillipina.

Dalam hal kemampuan matematika siswa Indonesia menempati urutan  ketujuh terbawah dari 77 negara dengan skor   379. Dalam hal kemampuan matematika ini siswa Indonesia hanya lebih unggul dari Arab Saudi, Maroko, Kosovo, Panama, Philipina dan Republik Dominika.

Kemampuan sains siswa Indonesia berada  di urutan 9 terbawah dari 78 negara dengan skor  396. Kemampuan siswa Indonesia dalam hal sains  hanya lebih unggul dari Arab Saudi, Lebanon, Georgia, Moroko, Kosovo, Panama, Philipina dan Republik Dominika,

Sebagai perbandingan 10 negara yang kemampuan literasinya  tertinggi dari hasil asesmen ini adalah Tiongkok (skor 555), Singapura (skor  549), Makau (skor 525), Hongkong (skor 524), Estonia (skor 523), Kanada (skor 520), Finlandia (skor (520) Irlandia (skor 518), Korea Selatan (skor 514) dan  Polandia (skor 512).

Dalam hal kemampuan matematika siswa yang memiliki kemampuan tertinggi ada di negara Tiongkok (skor 591), Singapore (skor 569), Makau (skor 558), Hongkong (skor 551), Taiwan (skor 531), Jepang (skor 527), Korea Selatan (skor 526), Estonia (skor 523) Belanda (skor 519) dan Polandia (skor 516).

Dalam hal sain dan inovasi  siswa dari 10 negara berikut memiliki skor tertinggi di dunia:  Tiongkok (skor 590), Singapore (skor 551), Makau (sko r544), Estonia (skor 530), Jepang (skor 529), Finlandia (skor 522), Korea Selatan (skor 519), Kanada (skor 518), Hongkong (skor 517) dan Taiwan (skor 516).

Jadi dalam hal kemampuan membaca, matematika  dan sain siswa Indonesia kemampuannya  memang berada di kelompok papan bawah dan kemampuannya jauh di bawah kemampuan siswa dunia dengan skor yang jauh lebih rendah.

Hal lain yang sangat menarik dari hasil asesmen ini adalah dalam hal atmosfir sekolah yang dalah satu komponennya ada pernah mendapatkan perlakuan bullying  beberapa kali dalam sebulan ternyata sekolah Indonesia menempati posisi cukup atas dengan persentase 41% sementara siswa lain di negara OECD persentasinya hanya 23%.

Sementara itu tingkat kedisplinan  siswa Indonesia dan juga kerjasama antar siswa mendapat skor baik.

Potret Buram

Hasil asesmen PISA yang dilakukan setiap tahun ini memang cukup menyakitkan bagi Indonesia sekaligus menjadi potret daya saing  siswa kita dibandingkan dengan siswa seusianya di negara lain.  Hasil yang tidak menggembirakan ini  sekaligus juga merupakan  cerminan kondisi dan kualitas pembelajaran di  sekolah, temasuk di dalamnya  komponen kurikulum dan guru yang tentunya harus segera diperbaiki.

Potret buram pendidikan Indonesia ini juga tercermin dari hasil asesmen PISA  dalam kurun 8 tahun terakhir mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2018.

Dalam kurun waktu tersebut skor kemampuan membaca siswa Indonesia di tahun 2000 yang mencapai 371 sempat naik menjadi 402 di tahun  2009 namun di setelah periode tersebut mengalami penurunan sampai tahun 2018 (skor 371).

Dalam hal matematika kemampuan matematika siswa Indonesia memang sedikit mengalami kenaikan mulai tahun 2003 (skor 360) dan meningkat di tahun 2018 (skor 379).

Demikian juga dalam hal sain dan inovasi  kemampuan siswa Indonesia mengalami sedikt  peningkatan mulai tahun 2006 (skor 393) meningkat sedikit di tahun 2018 (skor 396).

Sudah menjadi rahasia umum bongkar pasang kurikulum terjadi di Indonesia, namun ternyata hal ini tetap tidak dapat mendongkak daya saing siswa Indonesia di tingkat internasional.  Terdapat indikasi kuat komponen muatan lokal cukup banyak yang tentunya berperan dalam mengurangi daya siswa Indonesia.

Seringkali perancang kurikulum terjebak pada fenomena dimana perancang kurikulum mengetahui sepenuhnya kebutuhan siswa sehingga apapun yang dipikir perlu untuk siswa diakomodasi dalam kurikulum. 

Di lain pihak para perancang kurikulum jarang sekali melihat dan berada di pihak siswa sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan siswa. Ibarat seorang tukang jahit yang merancang dan  membuat pakaian siswa tanpa menayakan kebutuhan dan selera siswa dalam berpakaian.

Situasi nasional saat ini juga turut berperan dalam menambah beban siswa seperti misalnya diperlukannya diajarkan etika, toleransi bahkan pengetahuan korupsi dll nya

Memang tidak ada yang membantah bahwa hal ini penting bagi pembentukan karakter siswa, tapi pertanyannya adalah apakah harus diajarkan  di jam formal pendidikan di sekolah?  Bukankah sebagian besar waktu siswa berada di keluarga dan di masyarakat?

Bagaimana peran pendidikan keluarga dalam hal pembentukan karakter ini?  Kalaupun pendidikan keluarga ini dapat berjalan dengan baik sebagai bagian dari  life  long  learning maka beban kurikulum di sekolah dapat dikurangi sehingga siswa dapat mengkonsentasikan dirinya untuk mempelajari hal hal yang akan meningkatkan daya saing nya di tingkat internasional.

Jadi pada dasarnya pendidikan itu adalah tugas bersama dan tidak dapat dibebankan sepenuhnya kepada sekolah.

Fase pendidikan dasar dan menengah sangat vital dalam memberikan pengetahuan dasar dan kemampuan berpikir sebelum memasuki perguruan tinggi. Jika di fase ini siswa kita tidak dibekali dengan baik maka dampaknya juga akan merembet pada daya saing mahasiswa kita di perguruan tinggi dibanding dengan rekan rekan rekannya di negara lain.

Semoga hasil asesmen PISA 2018 ini menjadi bahan renungan sekaligus menjadi cambuk bagi pengambil keputusan untuk segera melakukan revolusi pendidikan dasar dan menengah kita untuk mempersiapkan sumber daya manusia Indonesia unggul di masa mendatang. 

Pendidikan memang kompleks dan tidak semudah membalikkan tangan untuk memperbaikinya, namun jika tidak ada langkah drastis dan sistematis untuk memperbaikinya maka ke depan kualitas dan daya saing  SDM di tatanan global akan menjadi tanda tanya besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun