Sejak kampanye Trump memang sudah memberikan sinyal kuat bahwa dirinya akan melakukan "sesuatu" terhadap situasi defisit perdagangan US -- Tiongkok. Â Bahkan Trump mengatakan bahwa ekonomi US "diperkosa" oleh Tiongkok.
Setelah terpilih menjadi presiden Trump membuktikan ucapannya dengan memberlakukan tarif tambahan produk ekspor Tiongkok yang selama ini dianggap tidak adil yang menyebabkan ketidak seimbangan neraca perdagangan kedua negara.
Namun ada sesuatu yang kurang diperhitungkan oleh US bahwa Tiongkok kini merupakan satu kekuatan utama ekonomi dunia dan memiliki kemampuan untuk membalas serangan kebijakan dagang US ini.
Segera setelah US memberlakuan tarif khusus untuk produk  Tiongkok  yang diekspor ke US, dalam hitungan hari Tiongkok membalasnya dengan mengenakan tarif dengan besaran serupa sebesar volume ekspor yang dikenakan tarif oleh US.
Dilihat dari sigapnya Tiongkok untuk membalas tindakan US, tampaknya Tiongkok memang telah menyiapkan tindakan balasannya secara matang dan dipersiapkan jauh hari sebelum terjadinya perang dagang.
Hal yang paling menarik untuk dibahas, adalah justru Tiongkok membalas mengenakan produk barang pertanian US yang Tiongkok sangat bergantung padanya.
Orang awam mungkin berpikir tindakan Tiongkok untuk mengenakan tarif produk pertanian dari US merupakan tindakan yang di luar akal sehat karena tentunya akan mengguncang ketahanan pangan nasional Tiongkok.
Kita ambil contoh saja kedelai yang merupakan bahan pokok makanan dan juga industri pakan ternak.  Sebelum perang dagang Tiongkok tercatat  sebagai negara pengkonsumsi kedelai terbesar di dunia mengantungkan andalan pasokan kedelai dari US yaitu mencapai 62%.
Dengan mengenakan tarif impor kedelai dari US sebesar 25% kita dapat membayangkan bahwa harga kedelai dalam negeri Tiongkok akan merangkak naik dan terdapat kemungkinan mengacaukan ketahanan kedelai dalam negeri Tiongkok.
Justru disinilah letak kecerdikan Tiongkok dalam melakukan perang dagang dengan US. Â US memang tercatat sebagai salah satu negara yang mengandalkan pendapatannya dari ekspor produk pertanian utamanya kedelai dan jangung.
Dengan mengenakan tarif  sebesar 25% terhadap produk pertanian maka Tiongkok tidak saja menyeimbangkan situasi perang dagangnya, namun justru sekaligus menyerang balik  secara halus dengan "mematikan" usaha pertanian US dengan harapan akan terjadi gejolak pertanian di dalam negeri US akibat penurunan drastis ekspor produk pertanian US ke berbagai negara termasuk Tiongkok.
Disamping langkah menaikkan tarif yang tentunya akan mengurangi impor kedele dari US, Tiongkok secara masal mengubah pertanian jagung di wilayah yang berbatasan dengan Rusia ke tanaman kedelai untuk  menutupi kekurangan kedelainya, termasuk mengerahkan tentaranya untuk bertani.
Para petani  di wilayah perbatasan ini justru berterima kasih kepada pemerintah, karena perang dagang justru menaikkan pendapan mereka dari usaha tanaman kedelainya.
Konversi tanaman jagung dan lahan lainnya menjadi usaha pertanian kedelai ternyata hanya mampu menutupi 10% saja kekurangan pasokan kedelai Tiongkok. Sisanya Tiongkok mengalihkan impor kedelainya  dari UD ke  negara negara Amerika lain.
Sudah menjadi rahasia umum, Tiongkok sudah lama mengembangkan pertaniannya di luar wilayah Tiongkok dengan bekerja sama dengan negara lain seperti di Afrika, Timur Tengah, Asia dan Amerika Latin  dalam menjamin ketahanan pangan Tiongkok di masa depan.
Strategi inilah yang membuat Tiongkok dapat bertahan di era perang dagang  dengan US sekaligus melakukan serangan balik ke US yang membuat US kini berpikir ulang dan melakukan kesepakatan baru dengan Tiongkok seperti yang terjadi di minggu ini.
Semoga Indonesia dapat belajar dan mengambil hikmah dari perang dagang US-Tiongkok ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H