Sumo merupakan salah satu olahraga tradisional Jepang yang sudah mendunia, sehingga penggemar olah raga ini dapat kita jumpai di hampir semua negara di dunia.
Olahraga para titan ini memang sangat unik karena masih mempertahankan tradisi yang hampir sama ketika olahraga ini mulai diperkenalkan sekitar 1500 tahun lalu. Â Kalaupun ada perubahan hanya terjadi sedikit saja karena disesuaikan dengan kondisi penonton yang lebih banyak dan peliputan pertandingan oleh media massa dan elektronik.
Ada dua peristiwa yang memicu debat sengit terkait apakah tradisi dikriminasi terhadap wanita ini masih harus terus dipertahankan.
Peristiwa pertama adalah ketika di bulan April lalu Walikota Maizuru yang bernama Ryozo Tatami pingsan di ring sumo yang dinamakan dohyo ketika sedang memberikan sambutannya.  Saat walikota ini pingsan, seorang wanita secara spontan  bergegas memasuki dohyo untuk menolongnya.
Beberapa hari setelah kejadian ini rupanya peristiwa ini berlanjut ketika walikota Takarazuka yang bernama Tomoko Nakagawa yang juga  seorang wanita menanyakan apakah dirinya dapat memberikan sambutan di dohyo sebelum pelaksanaan pertandingan  ekhibisi sumo, namun dijawab oleh panita dengan kata "hargailah tradisi".
Walikota ini memang akhirnya tidak memasuki dohyo ketika memberikan sambutannya, namun melakukannya di samping dohyo. Â Dalam sabutannya walikota ini mengatakan :
"Saya juga manusia dan saya sangat frustrasi ketika saya tidak dapat memberikan sambutan saya di dohyo hanya karena saya seorang wanita".
Asosiasi Sumo Jepang juga memiliki aturan untuk melarang wanita mengambil bagian dalam tur sumo musim panas dimana di acara ini anak muda dapat bergabung dengan para pesumo di dohyo.
Pada tahun 2000, gubernur Osaka Fusae Ota yang juga seorang wanita meminta asosiasi sumo untuk memperbolehkan dirinya memasuki dohyo untuk menyerahkan tropi, namun permintaannya ditolak.
Mengapa wanita dilarang memasuhi dohyo?
Dalam olahraga sumo ini secara tradisi wanita dianggap "tidak bersih" sehingga tidak diperbolehkan memasuki dohyo.
Sumo memang masih sangat erat hubungannya dengan tradisi dan agama Shinto. Â Menurut catatan sejarah sumo bukan dipandang sebagai olahraga namun lebih kepada melestarikan tradisi dan praktek keagamaan.
Sebelum pertadingan dimulai biasanya lubang kecil digali di tengah tengah dohyo untuk selanjutnya diisi dengan kacang, cumi cumi dan rumput laut serta sake oleh pendeta Shinto.
Selanjutnya lubang tersebut ditutup untuk mengunci roh. Sebagaimana yang sering kita saksikan pesumo sebelum bertanding biasanya melakukan ritual menghentak hentakan kakinya dan menepuk nepuk tangan. Tindakan ini dimaksudkan untuk menakut-nakuti roh jahat.
Darah memang dianggap sebagai sesuatu yang tidak baik bagi kesucian dohyo. Â Oleh sebab itu, Â jika ada pesumo yang berdarah ketika bertanding, maka garam akan ditebarkan beberapa kali untuk memurnikan kembali dohyo.
Serangkaian kejadian yang terkait dengan bias gender ini memang membuat Asosiasi Sumo Jepang mendapat sorotan  tajam. Namun ditengah tengah sorotan ini Asosiasi Sumo Jepang mengatakan bahwa tradisi ini sudah berjalan ribuan tahun dan tidak dapat diubah secepat membalikkan tangan.
Menurut beberapa pengamat, tampaknya "kegaduhan" terkait bias gender ini akan mereda seiring dengan berjalannya waktu mengingat kasus ini bukanlah kontroversi di Jepang itu sendiri.
Assosiasi Sumo Jepang memang telah menyampaikan permohonan maafnya secara terbuka terkait dengan wasit yang mengusir wanita yang mencoba memberikan pertolongan pada walikota yang pingsan dan mengatakan bahwa tindakan "mengusir" wanita tersebut merupakan tindakan yang tidak patut.
Bagi Assosiasi Sumo Jepang isu ini memang  merupakan isu yang sulit, namun tampaknya tradisi ini akan terus berlanjut mengingat  sejarah panjang sumo yang telah mengakar secara tradisi dan juga terkait dengan agama.
Rujukan:Â satu, dua,tiga, empat,lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H