Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ketika "Fake News" Menjadi Ancaman Serius

11 Maret 2018   20:57 Diperbarui: 12 Maret 2018   07:49 2672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gonjang ganjing dan kontroversi  pemilihan presiden Amerika tampaknya tidak akan reda dan berakhir dalam waktu dekat. Terlepas dari pertarungan politik yang sedang terjadi ada benang merah yang dapat ditarik dari kegaduhan ini yaitu peran dominan fake news.

Penyelidikan FBI akan peran "orang luar" dalam memengaruhi opini masyarakat Amerika dalam pemilihan presiden yang lalu membuktikan betapa dasyatnya penyaruh fake news ini sekaligus membuktikan di negara maju sekalipun pun masyakatnya sangat rentan terhadap fake news ini.

Hasil investigasi dan temuan  FBI terkait peran 13 warga Rusia dalam "mengintervensi" pemilihan umum di Amerika dengan menggunakan fake newsdalam mempengaruhi opini publik seolah membuktikan kedasyatan fake newsini.

The Science of Fake News

Gambaran betapa dasyatnya fake news ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang dipublikasikan di Jurnal ilmiah Science tanggal 8 Maret yang lalu.

Hasil penelitian ini membuktikan  bahwa pengaruh fake news sudah merambah di hampir semua lini kehidupan masyarakat  termasuk politik, ekonomi dan sosial. Sebagai gambaran dalam periode 2006-2007 diperkirakan terdapat 126.000 rumor yang disebarkan oleh paling tidak 3 juta orang.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berita fake news ternyata menjangkau lebih banyak orang jika dibandingkan dengan penyebaran berita benar.

Data empiris menunjukkan bahwa fake news yang masuk kelompok 1% terpopuler disebarkan oleh paling tidak 1000 sampai 100.00 orang, sedangkan berita benar dalam kategori kelompok yang sama  hanya disebarkan oleh sekitar 1000 orang saja.

Dasyatnya fake news mengalahkan berita mainstream di Facebook pada pemilihan presiden Amerika. Sumber: www.theatlantic.com
Dasyatnya fake news mengalahkan berita mainstream di Facebook pada pemilihan presiden Amerika. Sumber: www.theatlantic.com
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat emosi dan kualitas fake news sangat berpengaruh terhadap kecepatan penyebarannya.

Dengan menggunakan dan menganalisis 60 juta berita yang ada di Facebook dan 48 juta berita Twitter gabungan peneliti dengan berbagai latar belakang berhasil mengungkapkan adanya pengaruh faktor sosial, psikologis dan teknis yang melatar belakangi mengapa fake news lebih cepat menyebar dan menjangkau lebih banyak orang.

Hal penting yang terungkap dari hasil penelitian ini adalah teknologi dan metode yang digunakan oleh penyebar fake news ini semakin lama semakin canggih sehingga jika kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menganalisis berita tersebut, maka kita akan sangat sulit untuk mengetahui bahwa berita tersebut sebenarnya adalah fake news.

Dalam keadaan seperti ini kita secara tidak sadar menganggap fake news sebagai fakta karena fake news dibuat sedemikian rupa menariknya sehingga seolah olah sebagai fakta yang sedang terjadi.

Perwakilan Facebook, Twitter dan Google dimitai keterangan oleh senat dalam penyelidikan bulan October 2017 lalu di Washington, DC. Photo: Getty Images: Chip Somodevilla
Perwakilan Facebook, Twitter dan Google dimitai keterangan oleh senat dalam penyelidikan bulan October 2017 lalu di Washington, DC. Photo: Getty Images: Chip Somodevilla
Terkait dengan suburnya fake news di platform ternama seperti Google, Facebook dan Twitter gabungan peneliti ini menyatakan bahwa ketiga penyedia platform ini harus memiliki tanggung jawab baik dari segi etik maupun sosial karena  platform mereka sebagi ajang penyebaran fake news.

Apa itu Fake News ?

Secara sederhana fake news didefinisikan sebagai berita buatan yang meniru isi dan gaya berita di media yang umum ada namun tidak melalui proses pengeditan, penelitian keabsahan dan penyeleksian isi berita sebagaimana yang dilakukan oleh media resmi yang ada.

Contoh fake news yang melibatkan kantor berita ternama. Photo: Reddit
Contoh fake news yang melibatkan kantor berita ternama. Photo: Reddit
Fake news ini biasanya dibuat sedemikian rupa dengan menyusupkan berita bohong dengan tujuan merusak opini pembaca tanpa disadari oleh pembacanya. Dalam situasi seperti ini si pembaca biasanya menganggap bahwa berita tersebut benar apa adanya dan langsung menyebarkannya.

Sejarah Fake News

Jika kita kaji lebih dalam ternyata fake news bukanlah sesuatu yang baru. Fake news sudah ada sejak pada Perang Dunia I tahun 1920an di mana saat itu fake news lebih dikenal sebagai propaganda.

Saat itu media memang dikuasai oleh penguasa, sehingga isi berita dan penyebarannya dikontrol oleh penguasa. Di abad 20 ternyata norma seperti ini terus terproteksi walaupun teknologi informasi telah berkembang dengan cepatnya.

Secara normatif produk jurnalistik harusnya objektif dan seimbang dalam pembuatan dan penyebaran beritanya. 

Kepercayaan orang terhadap media massa mengalami titik nadir pada tahun 2016 lalu ketika di hampir semua pemberitaan di media massa utama Amerika disebutkan bahwa partai demokrat akan memenangi pemilihan presiden Amerika dengan persentase 51% dan kandidat partai republik hanya akan memperoleh 15% suara.

Namun apa yang terjadi selanjutnya membuka mata masyarakat Amerika ketika Trump memenangkan pemilihan presiden. Mereka kini menyadari bahwa selama ini apa yang mereka percayai sebagai berita benar yang diproduksi media massa ternama ternyata merupakan fake news yang sengaja dibuat untuk tujuan tertentu tanpa disadari.

Fake news memang banyak mendominasi di bidang politik sebagai senjata untuk merusak reputasi lawan, namun kini fake news sudah merambah ke ranah ilmiah sekalipun seperti vaksinasi, nutrisi, pasar modal dll. Fake news dapat dianggap sebagai parasit yang secara perlahan menggerogoti inangnya tanpa disadari.

Dengan memanfaatkan teknologi dan teknik yang semakin canggih, fake news memang sangat sulit untuk dihentikan penyebarannya. Namun menurut para pakar teknologi informasi paling tidak ada 2 hal yang dapat dilakukan.

Dua langkah penting yang perlu dilakukan adalah membekali individu dengan pengetahuan bagaimana caranya mengevaluasi suatu berita dan menentukan apakah berita itu benar atau fake news. Pengujian ini misalnya dapat dilakukan dengan menggunakan PolitiFact dan Snopes

Di samping itu tentunya individu harus dibekali dengan pengetahuan bagaimana mencegah agar individu tersebut tidak terpengaruh oleh fake news dan mencegah individu terpapar pada fake news.

Rujukan:Satu,dua,tiga, empat,lima

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun