Dementia atau yang biasa dikenal sebagai pikun  kini merupakan masalah kesehatan utama di kehidupan modern.  Di negara maju dementia bahkan menjadi masalah kesehatan utama karena menyangkut biaya perawatan dan pengobatan yang sangat besar dan menggerus dana jaminan kesehatan.
Sampai dengan tahun 2016 ini di dunia terdapat 46,8 juta orang yang mengalami  demensia dan jumlah ini diprediksi akan meningkat menjadi 131,5 juta  pada tahun 2050 mendatang.  Di negara-negara yang berpenghasilan tinggi  kejadian demensia yang berhasil dideteksi mencapai 20-50%. (lihat selengkapnya di sini)
Melemahnya daya ingat atau bahkan pikun merupakan penyakit degenaratif yang gejalanya meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Walaupun sebagian besar demensia dikaitkan dengan bertambahnya umur,  namun tidak semua orang akan menderita demensia dengan bertambahnya  umur.  Jadi demensia dapat terjadi pada siapa saja namun umumnya terjadi  pada orang yang telah berusia 65 tahun ke atas. Data empiris juga  menunjukkan bahwa demensia dapat terjadi pada orang yang berusia 40 an  dan 50 an.
Penyebab yang  paling umum  dementia ini adalah : Alzheimer's  disease, Vascular dementia, Parkinson's disease, Dementia with Lewy  bodies, Fronto Temporal Lobar Degeneration (FTLD), Huntington's disease, dementia yang terkait dengan alkohol (Korsakoff's syndrome) dan Creutzfeldt-Jacob disease. Penyebab lain yang sering dihubungkan dengan demensia meliputi  kekurangan vitamin dan hormon tertentu, depresi, pengaruh obat, infeksi  dan tumor otak.
Penyakit Alzheimer menyerang seseorang jauh hari (bahkan ber tahun tahun) Â sebelum penderita menunjukkan gejala kehilangan ingatan. Â
Oleh sebab itu untuk mengatasi penyakit pikun biasanya para praktisi kesehatan akan  berusaha keras mendeteksinya sedini mungkin agar dapat dilakukan tindakan yang efektif untuk memperlambat penurunan daya  inga ini. Melalui pendeteksian dini ini diharapkan pasien dapat diobati sebelum mengalami kerusakan sel otak permanen.
Metode lama pendeteksian penyakit dementia ini biasanya menggunakan scan otak  untuk melihat tingkat kerusakan otak.  Namun mengingat  biaya sangat mahal cara pendeteksian ini dianggap kurang praktis karena memerlukan fasilitas yang kemungkinan tidak dimiliki oleh pusat kesehatan.
Fraksi amyloid yang terdeteksi dalam darah dapat digunakan untuk memprediksi tingkat amyloid beta di otak dan di cairan cerebrospinal. Oleh sebab itu, jika metode ini sudah divalidasi, maka pendeteksian dini penyakit  Dementia dapat dilakukan dengan hanya melakukan tes darah saja dan tidak harus melakukan scan otak.  Melalui tes darah ini maka dapat dideteksi gejala peningkatan protein racun yang terkait  dengan penyakit Alzheimer ini
Penemuan metode pendeteksian dini penyakit dementia melalui tes darah ini memberikan harapan penyakit ini dapat dideteksi secara dini sehingga dapat dilakukan upaya pengobatan untuk memperlambat laju kehilangan ingatan.
Hasil penelitan yang dipublikasian di Journal Nature yang merupakan salah satu jurnal ilmiah paling bergengsi dunia ini akurasinya sangat tinggi yaitu mencapai 90% dari hasil uji coba yang dilakukan pada orang sehat (Lihat selengkapnya di sini).
Sampai saat ini penyakit Alzheimer memang belum ada obatnya, namun paling tidak hasil penemuan ini membuka lebar peluang uji klinis pengobatan penyakit ini di masa mendatang untuk melihat efektivitas pengujian obat dengan cara melihat perubahan level amyloid ini.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya  gejala kehilangan ingatan ini biasanya memerlukan waktu tahunan.  Oleh sebab itu penemuan ini sangat berguna untuk mendeteksi penyakit dementia secara dini pada orang yang tampak sehat sekalipun.
Pendeteksian dini penyakit dementia ini tentunya memungkinkan para praktis kesehatan memberikan berbagai alternatif pengobatan untuk menahan laju kerusakan sel otak dengan lebih efektif.
Sebelum tersedia untuk umum, metode pendeteksian ini memang memerlukan beberapa tahap penyempurnaan, namun tentunya paling tidak metode ini memberikan harapan baru bagi dunia untuk mengurangi angka kepikunan  di dunia.