Mungkin tidak pernah terbayangkan oleh pemerintah Tiongkok sebelum, setelah lebih dari 35 tahun penerapan kebijakan one child one policy, fenomena kesulitan mencari istri sekarang sedang melanda Tiongkok.
Penerapan kebijakan satu anak per keluarga yang diterapkan di era tahun 1980 an ditujukan untuk mengontrol angka kelahiran yang saat itu sangat mengkhawatirkan itu kini menunjukkan dampaknya walaupun kebijakan ini sudah diperlonggar pada tahun 2015 lalu.
Data empiris menunjukkan bahwa saat ini  diprediksi 1 dari setiap 5  pemuda Tiongkok tidak akan mendapatkan wanita untuk dijadikan istri.
Tanda-tanda ketidakseimbangan ini terjadi baik di wilayah pedesaan maupun di wilayah perkotaan. Di wilayah pedesaan akibat banyaknya anak laki-laki yang lahir, maka jumlah anak perempuan menjadi langka. Padahal di wilayah pedesaan perempuan sangat diandalkan dalam hal pekerjaan sehari hari, pekerjaan di pertanian dan mengurus orang tua.
Kekurangan calon istri ini membuat banyak pemuda di wilayah pedesaan menjadi bujang lapuk dan justru menjadi beban keluarga. Usia umum pemuda melangsungkan perkawinannya adalah antara 22-24 tahun. Â Usia pemuda 27 tahun sudah dianggap kadaluarsa jika belum mendapatkan istri. Sulitnya mendapatkan istri ini tidak saja menjadi beban mental si pemuda juga menjadi semacam "aib" bagi keluarga karena anaknya dinilai tidak laku.
Di wilayah perkotaan fenomena ini juga terjadi. Jika dilihat dengan kasap mata, maka ketidakseimbangan gender ini walaupun tidak separah di pedesaan namun sudah terjadi dan dalam tahap yang mengkhawatirkan.
Di pabrik garmen, pabrik elektronik dan pabrik lainnya yang menggunakan tenaga kerja massal fenomena ini tampak jelas. Jika sekitar 25 tahun yang lalu pabrik yang menggunakan tenaga kerja masal ini didominasi oleh pekerja perempuan dengan perbandingan sekitar 20% laki : 80% perempuan, kini rasio itu merangkak, di mana jumlah proporsi pekerja laki laki justru sudah melebihi proporsi 50%.
Dalam kondisi kekurangan wanita untuk dijadikan istri ini, tentu saja membuat perempuan memiliki kesempatan untuk memilih lebih selektif calon suaminya baik dari segi besaran penghasilan dan juga ketampanannya. Semakin selektifnya perempuan untuk memilih calon suami inilah  yang membuat jumlah bujang lapuk di wilayah perkotaan mulai menumpuk.
Fenomena yang tidak biasa terjadi ini membuat banyak bujang lapuk dan juga keluarganya mengambil langkah ekstrim yaitu berburu calon istri ke luar negeri seperti misalnya dari Vietnam, Myanmar, Laos dan juga Indonesia.
Pencarian istri di luar negeri ini juga sering kali berujung pada masalah karena umumnya melalui calo. Â Calon istri pada umumnya diiming-imingi bahwa calon suaminya adalah orang terpandang dan kaya di Tiongkok. Â Padahal banyak diantara bujang lapuk ini adalah pemuda biasa.
Akibatnya banyak istri yang berasal dari luar negeri ini setelah kawin dan menetap di Tiongkok sangat kecewa dengan kondisi yang sebenarnya dan sulit kembali ke negara asalnya.Â
Mencari istri dari luar negeri bukanlah cara satu satunya yang ditempuh oleh para bujang lapuk ini. Â Cara lain yang lebih ekstrim adalah menculik ataupun membeli calon istri baik dari wilayah di Tiongkok maupun dari luar negeri. Data empiris juga menunjukkan bahwa angka penculikan perempuan baik yang belum kawin maupun sudah kawin mulai meningkat. Â Pihak berwenang Tiongkok pun sudah mulai menyelidiki dan mengambil tindakan.
Perempuan yang diculik ini selanjutnya dibawa ke wilayah pedesaan yang terpencil untuk dijual dan dikawinkan di sana. Â Perlindungan dan penjagaan ketat pihak terkait di wilayah terpencil ini membuat kasus penculikan ini sulit untuk diungkap.
Hal yang paling menarik adalah penculikan wanita yang sudah menikah untuk dikawinkan lagi. Â Dalam kasus yang menimpa seorang suami yang perekonomiannya termasuk lumayan dimana istrinya diculik ketika dia sedang bekerja. Dalam kasus ini tidak ada satu barangpun yang hilang dan juga tanda-tanda kekerasan yang terjadi. Namun istrinya lenyap seperti ditelan bumi.
Suami ini sangat yakin bahwa istrinya diculik dan dibawa ke wilayah terpencil untuk dikawinkan lagi. Â Memang kejadian seperti ini sangat ironis dan memprihatinkan karena mereka sudah memiliki dua anak perempuan yang masih kecil. Â Disamping itu tentunya kasus yang menimpa suami ini diyakini bukanlah kasus satu satunya.
Motif utama penculikan ini umumnya adalah masalah uang. Â Di mana para perantara mendapatkan uang dari usaha illegal ini. Â Selain itu, uang yang diberikan kepada keluarga perempuan pada saat perkawinan terkadang menjadi motif tersendiri bagi keluarga untuk mengawinkan kembali anak perempuannya.
Kejadian hilangnya perempuan dan istri ini membuat banyak kalangan menjadi prihatin dan mengambil langkah komunal mengingat langkah pihak berwenang sering kali tidak membuahkan hasil. Kelompok komunal ini disamping menggunakan fasilitas internet mereka juga menggunakan jejaring lain seperti jejaring sopir taksi, angkutan umum dll untuk melacak dan mengantisipasi upaya penculikan.
Kartu ini selanjutnya disebar dan dipegang oleh masyarakat. Jika suatu saat mereka menemukan orang tersebut maka mereka dapat melaporkan ke kelompok komunal ini seperti yang tertera dalam kartu. Â Mengingat jenis kartu juga akan memudahkan orang mengingat wajah perempuan yang hilang tersebut.
Sekali kebijakan diterapkan kemungkinan dampak buruknya baru akan terlhat setelah  30 tahun atau lebih ke depannya.