Memberi reward kepada para penulis di kompasiana memang sesuatu yang sangat baik  dan dalam hal ini tentunya tidak ada yang membantahnya.  Namun ketika metode yang digunakan untuk memberikan award ini adalah metode  "gebyah uyah" , maka award ini akan kehilangan maknanya, mengapa ?
Langkah Kompasiana mengkatogorikan tulisan ke dalam  25 rubrik atau  kategori sudah benar, karena minat orang dan jumlah pembaca untuk setiap kategori memang berbeda beda alias segmented.Â
Sudah dapat dipastikan bahwa tulisan kategori politik dengan judul yang sangat sensasional tentu akan  mendapatkan jumlah klik yang lebih banyak jika dibandingkan dengan tulisan kategori puisi, gaya hidup atau kesehatan.
Terlepas dari isi tulisan, seseorang menulis judul tulisan, "Dipastikan Jokowi tidak mencalonkan diri  lagi sebagai presiden lagi tahun 2019" sudah dapat dipastikan akan mendapatkan jumlah klik yang jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan tulisan kategori pusi dengan judul "derita tiada akhir" misalnya.
Dengan hanya melihat jumlah klik saja dari seluruh kategori untuk menentukan kompasianer terpopuler, Kompasiana membuat apa yang dinamakan dalam ilmu statistik sebagai "Systematical Error".
Apalagi ditambah dengan "data noise" yang pernah diungkap kompasiener lainnya terkait dimungkinnya seseorang mengklik berkali kali baik oleh dirinya sendiri dan juga mendapat bantuan teman seluruh kampungnya  untuk menambah jumlah klik tulisannya.
Hal yang paling gampang menggambarkan apa yang dimaksudkan systematical error ini adalah ketika misalnya dalam pertarungan tinju kita menghapus kelas kelas yang ada dan hanya mengenal satu kelas saja sehingga seorang perinju  berbadan kerempeng dapat dihadapkan dengan petinju berbobot super berat.  Bisa dibayangkan kan hasilnya?
Olah raga Sumo pun yang tidak mengenal kelas berat bobot badan masih memberlakukan  5 kelas utama teratas yang dipuncaki oleh Yokuzuna.  Jadi yang boleh tertanding di 5 kelas utama tanpa memperhatikan berat badan hanya pesumo yang berpengalaman yang telah dikategorikan masuk kelas utama.
Demikian juga kategori kompasianer paling produktif yang pernah memenangkan  peringkat pertama dalam satu bulan jumlah tulisannya mencapai 287 tulisan.  Dari segi statistik  angka memang  ini mungkin saja dapat terjadi , namun dari segi logika menggambarkan bahwa dalam sehari rata rata kompasiener tersebut menulis  lebih dari 9 artikel.  Sunggguh mengagumkan dan sekaligus  mengundang pertanyaan, kapan tidurnya ya?
Ditambah lagi setting mesin kompasina  yang tidak memungkinkan menulis 2 artikel kurang dari 1 jam.  Jadi bisa dibayangkan tulisan tersebut ditulis di sepanjang hari ditambah malam.  Tentunya hal ini mengundang pertanyaan lanjutan,  kapan mencari nafkahnya ya?
Dulu rasanya kompasiana pernah memberi award untuk masing masing rubrik dan langkah ini sudah benar, namun tampaknya karena cukup merepotkan maka metode "gebyah uyah" lah yang paling gampang dilakukan. Di dalam ilmu statistik, penggunaan metode yang salah akan menghasilkan kesimpulan yang salah juga.
Saran saya jika logika dan kriteria yang mendasari kriteria pemberian  award ini  tidak diperbaiki sebaiknya  award  kompasianer terpopuler dan terproduktif untuk sementara ditiadakan saja, karena award ini sudah kehilangan makna.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H