Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tergerusnya Budaya Meminta Maaf dan Malu

15 Oktober 2017   08:35 Diperbarui: 15 Oktober 2017   10:20 4208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tergerusnya budaya maaf dan malu ini terlihat jelas dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia terutama yang terkait dengan korupsi. Kita sering menyaksikan bahwa walaupun sudah ditangkap dan diberi rompi tahanan orang tersebut masih bisa senyum senyum dan sibuk memberikan sanggahan atas kasus yang menimpa dirinya. Bahkan setelah menjalani hukuman pun yang notabene sudah dibuktikan bersalah yang bersangkutan masih bangga tampil di depan umum.

Hilangnya budaya meminta maaf dan malu ini juga terkait dengan pergeseran norma yang terjadi di masyarakat. Kita sering menyaksikan bahwa setelah seseorang dibuktikan bersalah dan menjalani hukuman masih saja dielu elukan oleh masyarakat. Fenomena ini menunjukkan bahwa tergerusnya kedua norma yang sangat sentral ini tidak saja terjadi pada individu namun juga di dalam masyarakat.

Meminta maaf dan malu memang bukanlah produk hukum, sehingga tidak meminta maaf maupun tidak merasa malu atas suatu perbuatan bukanlah pelanggaran hukum yang berlaku karena kedua hal tersebut lebih menyangkut pada norma yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Norma merupakan kesepakatan yang ada di masyarakat yang biasanya sudah berlaku secara turun menurun. Jadi bila ada anggota masyarakat yang melanggar norma maka sanksinya adalah sanksi sosial, bukan sangsi hukuman kurungan.

Fenomena enggan meminta maaf dan tidak lagi memiliki rasa malu memang cukup mengkhawatirkan. Banyak orang berpendapat bahwa tergerusnya norma yang sangat penting ini terkait dengn perkembangan jaman.

Namun pertanyaannya mengapa Jepang sebagai salah satu negara termaju di dunia masih memelihara dengan baik kedua norma ini. Bahkan dalam hal hal tertentu masyarakat Jepang lebih takut terhadap pelanggaran norma dibandingkan dengan pelangggaran hukum formal.

Tampaknya dampak dari pelanggaran norma di Jepang  sangat luas dan lama karena masyarakat akan terus mengingatnya. Di samping itu keluarga juga merasakan akibatnya dari sanksi yang diterapkan di masyarakat.

Kita seharusnya merasa sangat khawatir dengan tergerusnya norma "meminta maaf" dan "malu" jika melakukan kesalahan ini karena kedua norma ini pernah berakar kuat di masyarakat kita. Jika fenomena ini terus meluas dan berkembang maka Indonesia akan kehilangan roh budayanya yang telah ada dan terbentuk sangat lama.

Sementara itu negara negara yang telah mencapai puncak kemajuan teknologinya kini mulai berbalik arah menggali kembali nilai nilai budaya dan norma tradisional nya untuk mengisi kekosongan jiwa kemasyarakan tradisioanalnya yang tidak dapat diperoleh hanya melalui perkembangan teknologi dan kehidupan modernnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun