Pagi tadi baru saja diberitakan adanya hasil keputusan Pengadilan Tetap Arbitrase yang berkedudukan di Den Hague yang disebut sebut oleh Australia sebagai terjadinya kesepakatan atas kisruh batas maritim  antara Australia dan Timor Leste.
Kisruh yang melibatkan kedua negara ini bukan semata mata hanya wilayah perbatasan saja, melainkan menyangkut nasib celah Timor yang diperkirakan mengandung cadangan minyak dan gas yang bernilai $40 milyar. Kisruh ini telah menyebabkan hubungan diplomatik antara kedua negara mengalami ketegangan.
![Celah Timor yang disengketakan. Sumber: www.dollarsandsense.org](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/09/03/timor-59ab5828dbbea451aa6d6bd2.jpg?t=o&v=770)
Bagi Indonesia lepasnya Timor Timur saat di bawah pemerintahan Presiden Habibie awalnya memang dianggap sebagai suatu kekeliruan, tetapi dalam jangka panjang terbukti bahwa lepasnya Timor Timur dari Indonesia dapat diibaratkan dikeluarkannya duri dari dalam daging yang saat itu selalu merongrong kewibawaan Indonesia di dunia international.
Mimpi indah rakyat Timor Leste setelah mandiri dari Indonesia berupa kesejahteraan rakyatnya yang semakin baik ternyata tidaklah semanis impian ataupun janji-janji pihak yang selama ini mensponsori kemerdekaan Timor Leste.
Dalam perjalanannya setelah mandiri Timor Leste tampak kesulitan mengelola perekonomiannya, karena di samping masih adanya intervensi pihak "sponsor" yang mendukung kemerdekaannya, ternyata mimpi besar berupa cadangan minyak bumi dan gas di celah Timor tidaklah seindah mimpi.
Dalam mengelola perekonomiannya sumber utama pembiayaan berasal dari bagi hasil sumber daya alam dengan perusahaan dari  Australia. Kehidupan yang lebih sejahtera setelah berpisah dari Indonesia yang dimimpikan oleh rakyat Timor Leste dan mimpi yang dijanjikan oleh para tokoh perjuangan Timor Leste ternyata tidak kunjung tiba. Pendapatan dari minyak dan gas hasil kerja sama dengan perusahaan dari Australia semakin hari semakin menurun yang membuat negara baru ini mengalami kesulitan.
Hal yang paling tepat untuk menggambarkan kehidupan perekonomian Timor Leste adalah standar hidup kategori negara berkembang, tetapi biaya hidupnya seperti negara maju. Harga-harga yang menjulang akibat digunakannya standar dolar dalam perekonomian membuat Timor Leste hampir tidak melakukan pembangunan dan hampir masuk kategori negara gagal.
![Pasar perbatasan yang diminati warga Timor Leste karena harga barang barangnya yang lebih murah. Photo: Antara](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/09/03/timor2-59ab59e645539312ef0fa273.jpg?t=o&v=770)
Puncak frustasi Timor Leste akan apa yang dianggap sebagai ketidakadilan pembagian keuntungan hasil sumber daya alam di celah Timor adalah dengan dimasukkannya kasus ini ke pengadilan arbitrase pada tahun 2016 lalu.
Kisruh perbatasan antara Timor Leste dan Australia ini memang memiliki sejarah panjang yang membuat frustrasi Timor Leste. Pada tahun 1989 ketika Timor Leste masih merupakan salah satu propinsi Indonesia yang bernama Timor Timur tersebut, telah dilakukan perjanjian pengelolaan celah Timor antara Indonesia dan Australia.
Saat itu memang Timor Timor tidak memiliki perbatasan laut dengan Australia karena masih menjadi bagian dari Indonesia, sehingga hasil sumber daya alam di celah Timor pembagiannya dilakukan antara Indonesia dan Australia.
Pada saat Timor Timur lepas dari Indonesia pada tahun 2002 dan menjadi Timor Leste, penjanjian terkait dengan celah Timor antara Timor Leste dengan Australia ditandatangani, tetapi batas maritim kedua negara belum dibahas dan disepakati.
Timor Leste dalam perjalanannya berargumentasi bahwa perbatasan laut negaranya adalah separuh jarak antara ujung daratannya dengan pantai Australia yang memiliki implikasi bahwa sebagian besar dari celah Timor yang mengandung kekayaan sumberdaya alam ini masuk ke dalam wilayah dan menjadi milik Timor Leste.
Perundingan panjang dan berlarut larut akan perbedaan pendapat batas laut antara Australia dan Timor Leste Ini membuat frustrasi Timor Leste apalagi ditambah dengan pembagian hasil pendapatan minyak dan gas dari celah Timor yang dianggap tidak adil dan semakin penurun dalam kurun 10 tahun terakhir ini.
Keengganan Australia yang dulunya merupakan sahabat utama Timor Leste dalam perjuangan kemerdekaannya untuk menyelesaikan masalah perbatasan laut ini dan juga membuat Timor Leste meradang, apalagi ditambah dengan terungkapnya kasus penyadapan para petinggi Timor Leste dan anggota parlemen yang  waktunya hampir bersamaan  dengan terungkapnya kasus penyandapan presiden SBY oleh pihak Australia.
Sebagai puncak kefrustasian, pada bulan Januari 2006 Timor Leste menyatakan mengakhiri perjanjiannya dengan Australia yang selama ini membagi hasil minyak dan gas dari celah Timor ini dengan pembagian hasil 50:50 dan menunda negosiasi lebih lanjut dengan Australia terkait hak pengelolaan kekayaan alam diperbatasan ini yang sebelumnya diputuskan selama 50 tahun.
Bagi dunia diplomasi diajukannya kasus ini ke pengadilan arbritrasi merupakan pukulan berat bagi  Australia karena banyak pihak yang menilai bahwa bulan madu antara Timor Leste dengan Australia sudah berakhir.
Walaupun rincian hari hasil keputusan pengadilan arbitrase ini masih belum diumumkan, namun pihak Australia yang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop disebut sebagai keputusan yang "melegakan" dan "bersejarah" dan akan mengakhiri ketegangan diplomatik kedua negara.
Mantan Presiden Timor Leste Xanana Gusmao menyebut bahwa ketegangan antara Australia dan Timor Leste dan juga pengadilan arbitrase terkait ketidaksepakatan garis perbatasan ini merupakan proses yang rumit dan memerlukan waktu yang lama dan membuat frustrasi. Namun dengan adanya keputusan pengadilan arbitrase ini Xanana menyebutkan bahwa akhirnya kedaulatan Timor Leste terwujud dan kekisruhan perbatasan antara kedua negara ini akhirnya dapat disepakati.
Ungkapan kelegaan pemerintah Australia akan keputusan pengadilan arbitrase internasional ini paling tidak telah menyelamatkan muka Australia di dunia internasional, sedangkan bagi Timor Leste hal ini merupakan pembuktian diri akan kedaulatan suatu negara.
Kita tunggu saja rincian kesepakatan dan hasil keputusan pengadilan arbitrase internasional yang berkedudukan di Den Hague ini dalam beberapa hari ke depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI