Pagi tadi baru saja diberitakan adanya hasil keputusan Pengadilan Tetap Arbitrase yang berkedudukan di Den Hague yang disebut sebut oleh Australia sebagai terjadinya kesepakatan atas kisruh batas maritim  antara Australia dan Timor Leste.
Kisruh yang melibatkan kedua negara ini bukan semata mata hanya wilayah perbatasan saja, melainkan menyangkut nasib celah Timor yang diperkirakan mengandung cadangan minyak dan gas yang bernilai $40 milyar. Kisruh ini telah menyebabkan hubungan diplomatik antara kedua negara mengalami ketegangan.
Bagi Indonesia lepasnya Timor Timur saat di bawah pemerintahan Presiden Habibie awalnya memang dianggap sebagai suatu kekeliruan, tetapi dalam jangka panjang terbukti bahwa lepasnya Timor Timur dari Indonesia dapat diibaratkan dikeluarkannya duri dari dalam daging yang saat itu selalu merongrong kewibawaan Indonesia di dunia international.
Mimpi indah rakyat Timor Leste setelah mandiri dari Indonesia berupa kesejahteraan rakyatnya yang semakin baik ternyata tidaklah semanis impian ataupun janji-janji pihak yang selama ini mensponsori kemerdekaan Timor Leste.
Dalam perjalanannya setelah mandiri Timor Leste tampak kesulitan mengelola perekonomiannya, karena di samping masih adanya intervensi pihak "sponsor" yang mendukung kemerdekaannya, ternyata mimpi besar berupa cadangan minyak bumi dan gas di celah Timor tidaklah seindah mimpi.
Dalam mengelola perekonomiannya sumber utama pembiayaan berasal dari bagi hasil sumber daya alam dengan perusahaan dari  Australia. Kehidupan yang lebih sejahtera setelah berpisah dari Indonesia yang dimimpikan oleh rakyat Timor Leste dan mimpi yang dijanjikan oleh para tokoh perjuangan Timor Leste ternyata tidak kunjung tiba. Pendapatan dari minyak dan gas hasil kerja sama dengan perusahaan dari Australia semakin hari semakin menurun yang membuat negara baru ini mengalami kesulitan.
Hal yang paling tepat untuk menggambarkan kehidupan perekonomian Timor Leste adalah standar hidup kategori negara berkembang, tetapi biaya hidupnya seperti negara maju. Harga-harga yang menjulang akibat digunakannya standar dolar dalam perekonomian membuat Timor Leste hampir tidak melakukan pembangunan dan hampir masuk kategori negara gagal.
Puncak frustasi Timor Leste akan apa yang dianggap sebagai ketidakadilan pembagian keuntungan hasil sumber daya alam di celah Timor adalah dengan dimasukkannya kasus ini ke pengadilan arbitrase pada tahun 2016 lalu.
Kisruh perbatasan antara Timor Leste dan Australia ini memang memiliki sejarah panjang yang membuat frustrasi Timor Leste. Pada tahun 1989 ketika Timor Leste masih merupakan salah satu propinsi Indonesia yang bernama Timor Timur tersebut, telah dilakukan perjanjian pengelolaan celah Timor antara Indonesia dan Australia.
Saat itu memang Timor Timor tidak memiliki perbatasan laut dengan Australia karena masih menjadi bagian dari Indonesia, sehingga hasil sumber daya alam di celah Timor pembagiannya dilakukan antara Indonesia dan Australia.
Pada saat Timor Timur lepas dari Indonesia pada tahun 2002 dan menjadi Timor Leste, penjanjian terkait dengan celah Timor antara Timor Leste dengan Australia ditandatangani, tetapi batas maritim kedua negara belum dibahas dan disepakati.