Salah satu hasil studi yang memfokuskan pada dikotomi antara keserakahan dan kebutuhan individu, menunjukkan bahwa pejabat publik di berbagai negara memiliki kecenderungan menerima gratifikasi  sebagai suatu kebiasaan kecuali jika dilakukan pengawasan yang sangat ketat.  Oleh sebab itu,  kombinasi antara kurangnya monitoring dan akuntabilitas dalam pemerintahan akan memperbesar potaensi terjadinya korupsi.
Ditinjau dari segi psikologi korupsi, paling tidak ada dua  faktor utama yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan korupsi, yaitu (1)  sifat serakah yang dimiliki seseorang; (2) rasa percaya diri yang berlebihan yang menganggap bahwa dirinya dilahirkan sebagai orang besar  sehingga dirinya  memerlukan kekayaan materi yang didapat dengan jalan apapun.  Orang yang memiliki karakter seperti ini biasanya beranggapan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan tidak akan ketahuan, kalaupun  nantinya terdeteksi dan tertangkap, maka tindakan hukum yang diterimanya akan ringan.
Jadi sebenarnya  tindakan pencegahan korupsi merupakan sesuatu yang komplek dan penyelesainya tidak sesederhana hanya dengan menyiapkan lembaga pengawasan semata mata.  Dalam  mengantisipasi fenomena gunung es korupsi yang terjadi di Indonesia, sudah saatnya pihak berwenang mengategorikan tindakan korupsi  merupakan tindakan kejahatan yang luar biasa terutama untuk tindakan korupsi yang masif dan sistimatis.
Pencegahan koruspi tidak dapat lagi hanya dilakukan dengan cara menghimbau saja melainkan harus berupa tindakan nyata yang memberikan efek jera, yaitu tindakan pemiskinan bagi para pelaku korupsi yang diiringi dengan tindakan hukum yang sangat berat dan disertai dengan tindakan pengucilan dari masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI