Data terbaru menunjukkan bahwa angka obesitas atau kegemukan dunia meningkat 200% jika dibandingkan era tahun 1980 an.  Di negara maju yang ekonomi nya baik bahkan angka obesitas bahkan  melebihi 50% dari jumlah penduduknya.
Memang saat ini penduduk  negara negara miskin  masih  ada yang berjuang untuk dapat mengkonsumsi cukup kalori, namun pada kenyataannya kemiskinan tampaknya tidak menghentikan orang untuk mengkonsumsi  makanan dan minuman yang berkalori tinggi.
Peningkatan konsumsi kalori dunia yang sangat drastis terjadi di era globalisasi terutama dari makanan  mengandung minyak dan lemak, seperti kedelai dan sawit.
Dalam kurun waktu 3 dekade produksi minyak nabati dan juga minyak dari biji bijian dunia meningkat sangat tajam. Di era glomalisasi Kedua  bahan ini memang terkait langsung dengan kebijakan perdagangan global sehingga semakin mudah didapat.
Dalam kondisi seperti ini minyak dari sumber nabati tersedia secara meluas dan murah sehingga digunakan di hampir semua jenis makanan mulai dari salad sampai dengan makanan yang digoreng.
Berbagai jenis minyak nabati kini dapat dengan mudah didapatkan di supermarket, bahkan sampai di pelosok pelosok. Data empiris menunjukkan bahwa 80% dari sumber kalori dunia saat ini berasal dari kedelai, minyak sawit, beras, jagung, gula, barley dan kentang.
Peningkatan konsumsi kalori ini ternyata  tidak tergantung pada negara dimana  orang tinggal, karena pola makan penduduk dunia ini telah bergeser dan mengarah pada tren mengkonsumsi makanan yang mengandung kalori tinggi namun rendah nilai nutrisinya.
Peningkatan produksi minyak untuk konsumsi yang sangat drastis ini memang didukung oleh perjanjian perdagangan internasional sehingga memungkinkan terjadinya ekspor dan impor minyak makanan ini dengan harga yang murah karena didukung oleh kebijakan pemerintah.
Disamping itu bagi negara produsen minyak sawit misalnya, kombinasi antara biaya produksi yang rendah dan subsidi pemerintah membuat negara produsen dapat meningkatkan produksi minyak makanan nya secara drastis dan dapat mengekspor produksinya ke seluruh dunia.
Sisi positif dari globalisasi ini adalah memungkinnya negara miskin untuk mengakses bahan makanan berkalori tinggi ini dengan lebih mudah sekaligus membantu mengurangi kelaparan.
Jika ditinjau dari prilaku konsumen, maka akan kita jumpai fenomena dimana orang cenderung untuk membeli dan mengkonsumsi bahan makanan berkalori tinggi dari impor jika dibandingkan dengan bahan yang sama yang tersedia secara lokal. Â Salah satu faktor yang mendorong perubahan prilaku konsumen ini adalah murahnya dan ketersediaan produk impor.
Lemak memang bagian yang esensial dalam mendukung gizi seimbang. Â Namun mengingat lemak memiliki kalori yang tinggi, konsumsi lemak yang tinggi akan meningkatkan resiko obesitas. Â Disamping itu lemak jenuh (saturated fat) dan lemak trans sangat erat hubungannya dengan penyakit kardiovascular.
Hasil studi lain yang dilakukan oleh  the London School of Economics (LSE),  menunjukkan bahwa globalisasi sosial  telah merubah cara kerja dan gaya hidup yang membuat kita lebih gemuk.
Di era global ini orang tersandera oleh lingkungan kerja, kebiasaan berbelanja dan juga kebiasaan bersosialisasi yang cenderung mengurangi kesempatan  bergerak membakar kalori dari makanan yang dikonsumsinya.
Uraian di atas menyadarkan kita bersama bahwa jika kita ingin lebih sehat, kita harus keluar dari lingkaran setan obesitas dunia ini. Â Peningkatan pendapatan kita jika tidak diimbangi dengan prilaku dan gaya hidup sehat justru akan menjadi bumerang yang akan membuat kita mengalami penurunan kesehatan di kemudian hari.
Rujukan: satu, Dua, Tiga, Empat, Lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H