Sampai saat ini memang belum dikatahui secara pasti penyebabnya, namun sudah dipastikan bukan disebabkan oleh kelainan pada telinga.  Diduga kelainan ini merupakan kombinasi antara faktor fisik dan mental.  Kelainan ini juga dapat terkait dengan reaksi otak terhadap suara dan juga reaksi  spontan dari tubuh.
Kelainan ini memang sulit untuk didiagnosa secara klinis dan seringkali terjadi kesalahan diagnosa karena sulit membedakannya dengan kegelisahan, bipolar ataupun obsessive-compulsive disorder.
Misophonia ini berbeda dengan kalainan yang dinamakan dengan 'hyperacuisis', yaitu kondisi dimana suara biasa terdengar sangat keras dan menyakitkan, ataupun 'tinnitus' yaitu kelaianan seperti mendengar suara di telinga, namun sebenarnya terjadi di otak.
Pada tahun 2017 hasil studi menunjukkan bahwa penderita misophonia mengalami abnormalitas berupa aktivitas yang tinggi di wilayah otak yang dinamakan anterior insular cortex jika terkespos pada suara. Bagian otak ini berhubungan dengan kesadaran kita untuk  memusatkan perhatian.
Pusat otak yang mengolah suara akan berekasi lebih aktif pada penderita misophonia jika mendengar suara.  Hasil scan otak juga menunjukkan adanya hyperconnectivity  antara sistem pendengaran dan sistem pengolah emosi.
Bagaimana cara mengatasinya?
Orang yang mengalami kelainan seperti ini sebaiknya melakukan sound therapy dan mengkobinasikannya dengan melakukan  konseling psikologis.
Penderita juga dapat dibantu dengan alat pendengaran yang mengeluarkan suara sejenis suara air terjun untuk mengurangi pemicu dan mengurangi reaksi emosi terhadap suara.
Treatmen lain yang biasa dilakukan adalah terapi bicara dan juga menggunaan obat antidepresi.
Cara hidup keseharian penderia kelaianan ini perlu juga diperhatikan seperti misalnya memperbanyak olahraga, memperbanyak tidur, memakai penutup telinga dan mengendalikan stress. Penyediaan ruang khusus di rumah yang tenang dan bebas dari kebisingan akan sangat membantu penderia.
Rujukan: satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh