Wilayah daratan Singapura sejak lepas dari pemerintahan kolonial Inggris mengalami perluasan sebanyak 23% bahkan para pakar lingkungan memperkirakan ekspansi daratan yang dilakukan oleh Singapura  ini akan terus berlanjut dan semakin intensif dengan target perluasan 6.200 Ha pada tahun 2030.
Pertanyaan yang paling mendasar adalah dari mana Singapura mendapatkan pasir untuk menguruk laut itu?
Singapura tentunya tidak memiliki sumber daya lingkungan yang mendukung proyek reklamasi pantai ini. Oleh sebab itu, hampir sebagian besar pasir laut yang digunakan untuk memperluas daratan ini berasal dari negara tetangga.
Diperkirakan sebanyak 500 juta ton pasir laut telah dikeruk dari pantai di wilayah barat laut Kamboja tepatnya di propinsi Koh Kong untuk diekspor ke Singapura dalam kurun waktu 7 tahun terakhir ini. Setiap bulan, sebanyak 796,000 ton pasir laut diangkat dari pantai di wilayah barat untuk diekspor ke Singapura.
Berdasarkan catatan dari PPB nilai ekspor pasir laut Kamboja ini sejak tahun 2007 mencapai $752 juta. Data perdagangan pasir dunia diperkirakan mencapai US$70 Milyar setiap tahunnya dengan volume mencapai 15 milyar ton.  Jumlah ini tentunya tidak meliputi jumlah perdagangan pasir illegal. Menurut PBB Singapura memang merupakan salah satu importir pasir laut terbesar dunia disamping Jepang, Dubai dan China.Â
Dampak terhadap lingkungan
Penambangan pasir besar-besaran ini terbukti telah menghancurkan hutan mangrove yang menunjang kehidupan nelayan kecil yang menggantungkan kehidupannya di wilayah tersebut. Ironisnya ternyata para nelayan kecil ini tidak mendapatkan kompensasi akibat kerusakan lingkungan ini dari pemerintah.
Kerusakan lingkungan di Kamboja ini semakin parah sejak negara lain seperti Malaysia, Myanmar, Â Philippines, Vietnam dan Indonesia membatasi dan bahkan melarang ekspor pasir lautnya ke Singapura.
Kombinasi antara faktor kepentingan kelompok, korupsi di kalangan pengambil keputusan dan penjaga pantai membuat penambangan pasir di Kamboja terus berlangsung.