Pagi ini berbagai media di Australia kembali dihiasi dengan pelaksanaan hukuman mati terhadap 4 terpidana mati yang terkait dengan narkoba yang dilaksanakan tengah malam tadi waktu Indonesia atau menjelang subuh waktu Australia.
Memang pemberitaan kali ini walaupun cukup banyak menghiasi media massa dan media elektronik sejak terdengarnya rencana pelaksanaan hukuman mati beberapa minggu lalu, tidaklah seheboh dengan pemberitaan dan pelaksanaan hukuman mati 2 orang anggota kelompok Bali Nine Myuran Sukumaran dan Andrew Chan tahun 2015 lalu.
Beda yang sangat mencolok adalah tidak terdengarnya suara lantang dari pemerintah Australia dan juga politisi yang mengecam pelaksanaan hukuman mati. Pelaksanaan hukuman mati tahun lalu yang melibatkan warga negara Australia memang selama berbulan-bulan menjadi heboh nasional dimana seolah-olah seluruh kompenen masyarakat Australia bergerak dan berupaya agar pelaksanaan hukuman mati tidak dilaksanakan. Bahkan politisi dari pihak pemerintah dan oposisi bersatu menyarakan dan juga “memberi tekanan” kepada pemerintah Indonesia agar membatalkan hukuman mati.
Di sisi lain pihak terkait di Indonesia tampaknya sudah banyak belajar dari kehebohan pelaksanaan hukuman mati tahun lalu dengan tidak lagi mengumbar dan memberi peluang luas bagi pihak media terutama media asing untuk meliputi rencana, persiapan dan pelaksanaan hukuman mati.
Memang sudah seharusnya hal ini dilakukan, karena pemberian akses yang sedemikian luasnya kepada media terutama media asing untuk meliput pelaksanaan hukuman mati anggota Bali Nine menjadi bumerang yang menghantam Indonesia. Perlu disadari hanya di Indonesia saja media lokal dan media asing dapat dengan mudah meliput keseharian terpidana mati.
Di Australia jangankan terpidana mati, terpidana biasa saja tidak akan pernah ada insan media yang dapat masuk ke dalam penjara dan mengetahui dan meliput apa yang terjadi di penjara karena hal ini merupakan bagian dari peraturan yang berlaku. Bagi pelanggar aturan ini akan mendapatkan sangsi hukum tentunya.
Saat persiapan dan pelaksanaan hukuman mati tahun 2015 lalu, hampir setiap sisi kehidupan menjelang pelaksanaan hukuman mati Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dapat disaksikan oleh masyarakat Australia. Niat baik dengan keterbukaan inilah yang justru menghantam Indonesia dan membuat masyarakat Australia bersatu padu menghujat pemerintah Indonesia dengan menyatakan bahwa pemerintah Indonesia sangat kejam karena menghukum mati 2 warga negara Australia yang sudah memperlihatkan kelakuan baik dan bertobat.
Pemberitaan pelaksanaan hukuman mati kali ini tetap saja bertujuan menggiring opini bahwa pelaksanaan hukuman mati itu kejam dan juga adanya borok di sistem peradilan Indonesia.
Minggu ini berbagai media memuat surat dari Ibu Myruran Sukumaran yang isinya menghimbau pemerintah Jokowi untuk tidak melaksanakan hukuman mati karena merupakan tindakan melanggar HAM dan tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan.
Pemberitaan memfokuskan suara dari Amnesty International yang mengutip ucapan dari Rafendi Djamin yang menyatakan secara lantang bahwa hukuman mati harus segera dihentikan karena masih ada hak hak terpidana mati yang belum dipenuhi dan kemungkinan akan menyelamatkan jiwa terpidana mati.
Disamping itu fokus kebobrokan pengadilan Indonesia kembali diangkat oleh media Australia dengan menyatakan bahwa adanya penyiksaan yang diterima oleh Zulfikar Ali selama pemeriksaan agar mau mengaku. Merri Utami dipotret hanya sebagai kurir yang digunakan oleh orang lain untuk membawa narkoba dan sedang dalam proses meminta pengampunan dari presiden, demikian juga warga Nigeria yang masuk dalam daftar yang akan dihukum mati.