Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Harga Daging: Mari Berpikir Rasional

8 Juni 2016   08:05 Diperbarui: 8 Juni 2016   12:21 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Agar harga daging berada dibawah Rp. 100 ribu perlu upaya serius. Photo: umkmnews.com

Keinginan pemerintah agar selama masa puasa dan lebaran serta hari besar lainnya masyarakat dapat membeli daging sapi dengan harga yang relatif terjangkau memang patut diapresiasi. Presiden Jokowi menginginkan agar harga daging sapi berada di bawah angka Rp. 100 ribu atau idealnya pada kisaran Rp. 80-90 ribu. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah mungkinkah hal itu terealisasi?

Sebelum menawab pertanyaan ini sebasiknya kita menganalisa beberapa faktor yang terkait langsung dengan harga daging sapi.

Produksi daging nasional memang kurang

Fakta yang ada menunjukkan bahwa produksi daging nasional hanya mampu mencukupi maksimal sekitar 85% kebutuhan daging nasional. Hal ini terutama disebabkan karena produksi daging yang masih berada di bawah kebutuhan yang semakin meningkat. Hal ini diperparah dengan terkonsentrasinya permintaan daging di wilayah ring 1, yaitu DKI dan Jabar serta di wilayah ring 2, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali yang sangat besar. Hal lain yang juga berperan besar adalah adanya lonjakan permintaan daging sapi pada hari hari besar keagamaan yang besar.

Oleh sebab itu, untuk menutupi kekurangan suplai daging ini pemerintah menutupi kekurangan ini dengan mengimpor baik sapi hidup maupun daging beku. Langkah ini dinilai cukup rasional mengingat semakin melebarnya gap antara permintaan dan suplai daging dari dalam negeri.

Haruskah mengimpor daging hanya dari Australia?

Salah satu alasan utama mengapa sampai saat ini kita mengandalkan daging impor dari Australia adalah masalah aturan terkait dengan penyakit mulut dan kuku. Salah satu poin dalam aturan tersebut adalah karena Indonesia termasuk negara yang bebas dari penyakit mulut dan kuku maka kita berkewajiban mengimpor daging dan sapi hidup ataupun ternak lainnya yang juga dinyatakan bebas dari penyakit ini agar status negara Indonesia sebagai negara bebas penyakit mulut dan kuku dapat segera terjaga.

Perlu disadari oleh semua pihak bahwa aturan ini bukanlah harga mati yang harus dipertahankan sampai akhir jaman. Peraturan ini ruh nya muncul dari aturan zaman Belanda yang saat itu teknologi transportasi, penanggulangan penyakit dan karantina yang masih belum memadai. Sebagai contoh, jalan pintas untuk penanggulangan wabah penyakit hewan saat itu adalah pemusnahan massal atau yang dikenal dengan stamping out yang tertuang dalam ordonansi (peraturan Belanda).

Dengan perkembangan teknologi saat ini peraturan ini bukan menjadi harga mati lagi, kerena masih dimungkinkan untuk melakukan sistem karantina dengan sistem zonasi baik di negara asal ternak yang diimpor maupun setelah ternak sampai di Indonesia, sehingga memungkinan mengimpor ternak dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku setelah tentunya memodifikasi aturan yang ada.

Adanya aturan inilah membuat ketergantungan Indonesia akan supplai daging dan ternak hidup dari Australia semakin kronis yang berujung pada tingginya harga daging di pasaran karena tidak adanya persaingan harga.

Mamang dalam waktu waktu tertentu harga daging giling kualitas biasa dalam keadaan sale (dan ini sangat jarang terjadi) masih ada yang berharga  $9 atau sekitar Rp. 90 ribu, namun umumnya kisaran harga daging yang berkualitas sedang berkisar antara $15 - $25 (Rp.150 ribu – Rp 250 ribu).  Harga ini cukup stabil kecuali ada perang sale antar supplier yang umumnya untuk menghabiskan stok daging beku lamanya.

Harga daging sapi di Australia sebenarnya cukup stabil, namun terasa berat bagi konsumen Indonesia karena melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Australia. Sebagai contoh di era awal tahun 90 an nilai $1 Australia masih setara dengan Rp 3.250. Oleh sebab itu, harga daging impor dari Australia masih relatif terjangkau. Dengan semakin melemahnya nilai rupiah yang saat ini $1 Australia setara dengan Rp 10.000, maka harga daging sapi ini semakin tidak terjangkau.

Artinya jika pemerintah mengimpor daging beku kualitas rendah sampai sedang (secondary cut) maka tidak akan mungkin menjual daging tersebut di bawah Rp. 100 ribu kecuali pemerintah memberikan subsidi terhadap harga daging ini.

Harga jual daging sapi di Australia di pasaran ini sudah termasuk ongkos potong dan distribusi yang cukup tinggi mengingat upah buruh yang tinggi juga.

Dengan tetap mewaspadai masuknya penyakit ke Indonesia dan menggunakan sistem karantina zonasi baik di negara tempat impor maupun di Indonesia, maka Indonesia memungkinkan mengimpor sapi hidup dari negara negara yang tidak bebas dari penyakit mulut dan kuku, seperti misalnya India, Brazil, Argentina dan negara Amerika latin lainnya.

Penerapan sistem penggemukan yang umumnya di lakukan dalam peternakan sapi di negara-negara Amerika Latin seperti Brazil dan Argentina memungkinkan harga daging sapinya dapat bersaing dengan daging dari Australia mengingat pengemukan sapi dilakukan dengan pakan utama dari konsentrat yang komponen utamanya (Jagung, kedele dll) berlimpah di negara tersebut, sehingga masa peliharaan lebih singkat untuk mencapai bobot badan tertentu.

Dengan adanya negara alternatif tempat mengimpor sapi untuk mencukupi kebutuhan nasional dapat dipastikan Australia tidak lagi sebagai satu satunya negara yang berperan besar dalam menetukan harga daging sapi di Indonesia.

Impor sapi hidup memang merupakan pilihan utama

Pola lonjakan permintaan daging seharusnya sudah dapat diantisipasi oleh pihak yang terkait mengingat kejadian lonjakan harga daging pada masa tertentu sudah rutin terjadi. Impor daging beku bersubsidi dan dijual dalam bentuk operasi pasar bukanlah merupakan solusi jangka panjang.

Pengendalian harga daging oleh pemerintah bukanlah merupakan sesuatu yang tabu untuk dilakukan mengingat daging sudah menyangkut kehidupan masyarakat banyak terutama untuk memenuhi kebutuhan daging pada hari besar. Oleh sebab itu, pihak berwenang seperti misalnya Bulog dapat membuat BUMN yang khusus bergerak dalam usaha sapi dalam skala besar dengan tujuan mengendalikan harga pasar. Keberadaan BUMN besar yang bergerak dalam usaha sapi diharapkan dapat menjadi penyeimbang harga yang selama ini ditentukan oleh perusahan swasta yang terlibat dalam importasi ternak.

Aturan yang ada saat ini yang sebenarnya mengharuskan pihak pengimpor untuk memelihara sapi impornya sampai batas waktu tertentu dinilai masih memadai. Melalui impor sapi hidup subsidi yang harus disediakan oleh pemerintah menjadi berkurang mengingat bagian tubuh sapi lainnya seperti jeroan, kulit, buntut, kepala dll yang di Australia tidak boleh dijual umum di pasaran dapat menutupi rataan daging sapi yang dijual. Bagian daging premium seperti, sirloin dan daging mata rusuk ke 12 dll masih dapat dijual untuk keperluan restoran mewah, hotel dll.

Subsidi silang harga antara bagian bagian tubuh sapi impor inilah yang diharapkan dapat menjaga agar perusahan tidak rugi jika diminta oleh pemeritah untuk memenuhi batas harga juar tertentu.

Harus berani berkeringat

Banyak kalangan yang menyatakan bahwa usaha peternakan merupakan usaha yang beresiko tinggi mengalami kerugian. Ketakutan inilah salah satunya yang berkontribusi tidak adanya BUMN besar yang masuk dalam usaha peternakan dalam skala besar yang berfungsi sebagai penyangga harga daging nasional.

Kita sering terlena dan terpaku pada impor daging yang memang jumlahnya sangat fantastis, namun kita sering lupa bahwa suplai daging nasional itu sebagian besar masih barasal dari produksi daging dalam negeri. Oleh sebab itu, perhatian dan pemberdayaan peternakan rakyat berupakan suatu keharusan. Memberikan bantuan dan subsidi bagi peternak kecil sebagai penyangga produksi daging nasional wajib dilakukan oleh pemerintah sebagai wujud keberpihakan pemerintah terhadap rakyat.

Sumber protein hewani yang tadinya tergolong murah seperti telur dan daging ayam serta ikan, sekarang tidaklah murah lagi. Oleh sebab itu, pola pikir terpadu dalam mengatasi harga daging ini merupakan suatu keharusan mengingat sumber protein selain daging sapi juga harus digarap karena turut menentukan kebutuhan protein hewani nasional.

Penangan yang serius oleh pihak berwenang terhadap peternakan sapi rakyat dan sapi impor harus tertuang dalam Blue Print kedaulatan dan keamanan pangan nasional. Selama akar permasalahan dalam dalam pengendalian harga daging sapi ini tidak diatasi, maka lonjakan harga daging sapi akan tetap menjadi ritual tahunan yang tidak pernah ada ujungnya.

Masalah perdagingan nasional memang bukanlah masalah yang sederhana dan banyak sekali faktor yang berperan dalam penentuan harga daging sapi di tingkat konsumen. Oleh sebab itu, pembangunan jangka panjang sistem peternakan nasional bukan saja menjadi tanggung jawab pihak swasta namun juga harus menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Bagi pemerintah membangun sinergi dengan pihak swasta merupakan suatu keharusan dalam pembangunan peternakan sapi jangka panjang.

Satu hal lagi yang perlu diingat adalah pemenuhan kebutuhan protein hewani nasional merupakan salah satu penentu kualitas generasi cerdas di masa mendatang dalam bersaing di era global.

Keinginan masyarakat untuk mendapatkan daging sapi dengan harga terjangkau memang sangat realistis, namun tanpa rencana jangka panjang yang terpadu dalam membenahi sistem peternakan sapi nasional, tampaknya harapan masyarakat untuk dapat menikmati daging di hari bahagia akan tinggal sebagai asa dan angan saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun