[caption caption="Rakyat Malaysia kini haus transparansi pemerintahan dan kebebasan berpendapat. | Photo: www.freemalaysiatoday.com"][/caption]Ketika Indonesia bergejolak di era tahun 1998, ada salah satu komentar Mahathir yang sangat menarik untuk dianalisa. Saat itu Mahathir yang banyak berguru pada Soeharto dalam mengelola negara itu menyatakan bahwa dia tidak ingin melihat rakyat Malaysia bebas berpendapat seperti Indonesia yang berujung pada pergolakan sosial, bahkan pergantian pemerintahan.
Mahathir sangat yakin benar ketika itu bahwa dengan memberikan pendapatan yang cukup bagi rakyatnya, maka rakyat Malaysia akan tenang dan tidak akan menuntut kebebasan berpendapat seperti yang terjadi di Indonesia. Bahkan pola berpikir Mahathir saat itu didasarkan kepercayaan bahwa pergolakan politik di Indonesia saat itu terjadi  karena rakyat lapar.
Masa itu memang sudah lama berlalu dan sejak Mahathir melakukan pendekatan yang berbeda dengan Indonesia dalam konteks demokrasi, kondisi politik di Malaysia memang tampak tenang dan tidak bergejolak di permukaan. Mungkin dalam beberapa waktu jurus Mahathir untuk melakukan pendekatan kesejahteraan bagi rakyatnya tampaknya berhasil.
Namun saat ini kondisi demokrasi dan kebebasan berpendapat di Malaysia ternyata menjadi isu utama. Setelah Mahathir tidak berkuasa lagi dan terjadi pergantian dua perdana penteri, justru situasi yang dialami Indonesia pada era tahun 90-an tersebut kini seolah baru muncul di Malaysia. Bahkan mungkin tidak dapat dibayangkan oleh Mahathir ketika saat ini dia justru menuntut kebebasan berpendapat dan penumpasan korupsi di Malaysia.
Kalau dulu setiap lawan politik dapat dibungkam dengan sangat rapi, kini justru pembungkaman ini menjadi masalah bagi rakyat Malaysia. Dua hari yang lalu beberapa wartawan dari program Four Corner Australia yang biasanya mengangkat isu terkini di dalam negeri maupun di luar negeri ditangkap oleh pihak berwenang Malaysia karena dianggap mengangkat isu yang saat ini sangat sensitif yaitu yang terkait dengan mega skandal korupsi yang sedang merundung Perdana Menteri Najib Razak.
[caption caption="Rakyat menuntut kejelasan kasus mega korupsi yang melanda Malaysia. | Photo: www.bloomberg.com"]
Malaysia bekas jajahan Inggris yang dulunya dianggap oleh negara barat sebagai partner stategis karena kesuksesan perekonomiannnya dan kemoderatan Islamnya kini berbalik arah menjadi perhatian khusus dunia internasional karena dianggap sebagai negara yang membungkam kebebasan perpendapat, kebebasan pers dan juga demokrasi semunya.
Lenyapnya uang milyaran dollar dalam rekening gerakan pembaharuan Malaysia melalui  program 1Malaysia Development Bhd (1MDB) ternyata menjadi bara panas bagi Perdana Menteri Malaysia dan juga kelompok pendukungnya. Uang yang konon dikatakan sebagai bantuan kerajaan Saudi untuk melawan gerakan Islam garis keras dalam pemilu 2013 lalu ternyata tidak banyak dipercaya orang, apalagi ketika pihak keluarga kerajaan membantah telah menyumbang uang sebanyak itu.
[caption caption="Dugaan aliran dana yang diungkap oleh media asing. | Ilustrasi: financetwitter.com, Wall Street Journal"]
Lenyapnya dana dalam jumlah besar tersebut dan juga ditutupinya masalah kematian translator asal Mongolia bernama Altantuya Sharibuu yang kematiannya diduga karena menjadi kekasih gelap petinggi pemerintah Malaysia membuat situasi politik di Malaysia semakin memanas.
Tidak bersedianya Najib Razak memberikan penjelasan yang menyeluruh terhadap kasus-kasus ini sedikit demi sedikit menyeret Malaysisa ke dalam krisis kepercayaan dan kebebasan berpendapat. Penangkapan wartawan program Four Corner yang mencoba masuk ke wilayah korupsi yang sedang malanda menjadikan Malaysia menjadi perhatian dunia karena dianggap memberangus kebebasan pers.
Banyak kalangan yang menyatakan keluarnya Mahathir dari partai UMNO yang dibidaninya tersebut merupakan ungkapan rasa frustrasi akan semakin memburuknya demokrasi dan kebebasan berpendapat serta korupsi yang sudah menggurita.
Indonesia telah melalui proses pergolakan demokrasi itu pada tahun 1998, namun ternyata setelah 18 tahun kemudian rakyat Malaysia baru mengungkapkan perasaannya bahwa di samping perut, mereka juga butuh demokrasi dan kebebasan berpendapat. Mungkin Mahathir baru menyadari bahwa rakyat kenyang itu memang perlu, tapi di samping kenyang, rakyat Malaysia ternayata juga butuh kekebasan berpendapat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H