Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Heboh Dugaan Tandatangan Setya Novanto di Media Sosial

25 Februari 2016   13:24 Diperbarui: 25 Februari 2016   14:05 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: www.harianindo.com"][/caption]"Itu bukan tanda tangan saya. Saya memang ke Manado. Karena Pak ARB ada kunjungan ke sana," ujar Novanto.

"Saya saat itu ke Manado. Jadi saya tidak tahu. Pasti ada orang yang sengaja itu," kata Novanto dalam perbincangan, Kamis (25/2/2016).

"Saya tidak mengerti yang tanda tangan siapa. Ini ada yang sengaja," tambahnya.

Novanto menegaskan tidak meminta orang lain menandatangani absen itu. Stafnya pun juga tidak melakukan hal tersebut.

"Di sekretariat sudah saya cek, tidak ada (yang tanda tangan)," ucap mantan ketua DPR ini.”

Itulah kira kira penjelasan Setya Novanto terkait ramainya pembicaraan di media sosial terkait beredarnya photo daftar hadir sidang DPR padahal yang bersangkutan pada saat yang bersamaan sedang berada di luar Jakarta.

Mengenai kasus ini biarlah pihak berwenang yang akan mencari kebenaran terkait tanda tangan ini dan tentu harapannya sebentar lagi ada titik terang siapa sebenarnya yang menandatanginya.

Fenomena titip tandatangan tampaknya sudah membudaya sejak di kampus. Sistem tandatangan daftar hadir dalam setiap kuliah dan praktikum di hampir semua kampus di Indonesia sudah umum. Bahkan seorang mahasiswa tidak dapat ikut ujian jika kehadirannya kurang dari persentase tertentu yang disyaratkan.

Sebenarnya seorang dosen yang baik dan cara mengajarnya yang menarik tidak perlu mengedarkan daftar hadir karena dapat dipastikan mahasiswa akan berebut duduk di depan untuk mendengarkan kuliahnya. Namun sistem tidak memperoblehkan dosen untuk tidak melakukan absensi.

Sayangnya kewajiban membuat daftar hadir perkuliahan sebagai bukti bahwa dosen sudah mengajar dan mahasiswa sudah hadir justru menciptakan budaya kebohongan intelektual dengan menitipkan tanda tangan agar dirinya tidak kena batasan minimum kehadiran yang disyaratkan.

Kehebohan di kalangan dosenpun terjadi ketika misalnya dosen mulai dicacat kehadirannya melalui sistem elektronik fingerprint yang juga dilengkapi kamera untuk mengambil photo orang yang melakukan finger print. Di kampus yang baru menerapkan sistem finger print untuk mencatat kehadiran banyak mengalir komentar yang keluar dari dosen yang mengatakan keberatan karena menganggap dosen sebagai buruh saja harus pakai absen segala.

Dulu sebelum diterapkan sistem finger print, tidak dapat dipungkiri juga ada dosen yang seminggu sekali datang merapel tandatangan dalam seminggu sekaligus. Mungkin dosen  ini terpengaruh  budaya bawaan yang pernah dialaminya ketika menjadi mahasiswa.

Memang kita harus mengakui bahwa sistem tandatangan pada setiap kehadiran DPR dapat dikatakan masih primitif mengingat saat ini kemajuan teknologi menawarkan cara lain yang lebih praktis seperti absen sistem finger print dan juga voting elektronik ataupun pilihan lainnya. Jadi sebenarnya tidak ada alasan lagi penggunaan tanda tangan manual untuk menyatakan kehadiran seorang anggota DPR dalam setiap sidang, karena tersedia cara lain yang lebih akurat dan gampang melakukan rekapitulasinya secara elektronik.

Kembali pada kehebohan tanda tangan Setya Novanto yang sampai saat ini belum ada kejelasan siapa yang menandatanganinya tersebut, fenomena titip tandatangan terjadi juga di berbagai instansi yang masing menggunakan sistem bukti kehadiran manual tampaknya memang sudah membudaya karena orang terjebak pada sistem yang mengharuskan bukti fisik masuk dan pulang kantor.

Kantor konvensional memang menerapkan sistem seperti ini, namun kantor modern saat ini tidak mengharuskan kehadiran fisik seseorang di kantor. Sudah banyak perusahaan internasional yang memiliki sistem yang membolehkan karyawannya bekerja dari manapun saja termasuk dari rumah yang penting karyawan itu produksif. Sistem monitoring elektronik memang sudah disiapkan untuk menerapkan sistem kerja seperti ini.

Entah sampai kapan kita harus melestarikan budaya tanda tangan ini sebagai bukti kehadiran akibat keberadaan sistem yang mengharuskannya. Tampaknya budaya ini akan terus berlanjut karena bukti tanda tangan kehadiran ini juga digunakan untuk mengambil honor rapat bagi peserta rapat dan bukti pertanggungjawaban keuangan bagi pengelola keuangan.

Sumber kutipan berita: detik.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun