Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Gagal Paham Faisal Basri terkait Komoditas Pertanian

2 Februari 2016   05:43 Diperbarui: 3 Februari 2016   10:20 1018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Sebelumnya saya ingin menyatakan bahwa saya bukanlah simpatisan Menteri Pertanian, namun sekedar orang yang berpikir bebas yang ingin urun rembuk untuk mengajak pembaca semuanya berpikir lebih dalam dalam membahas gonjang-ganjing komoditas pertanian dalam arti luas.

Tulisan Bung Faisal Basri berjudul “Sesat Pikir Menteri Pertanian” memang sangat menarik karena mengangkat topik yang didasari oleh teori ekonomi klasik yaitu teori supply dan demand. Dengan pemikiran linier seperti ini, banyak orang berpendapat bahwa stabilitas harga akan dapat dijamin jika supply terjamin dan permintaan terjaga. Tidak ada yang salah memang dengan pemikiran seperti ini jika pasar dalam keadaan normal. Namun, khusus Indonesia di mana banyak terjadi anomali seringkali teori klasik ini tidak berlaku.

Bagian tulisan Bung Faisal Basri yang paling menarik perhatian saya adalah pernyataan berikut: “………Menyelesaikan persoalan jagung tetapi menimbulkan masalah kenaikan harga ayam dan telur. Semua dibikin repot oleh ulah Menteri Pertanian”

Saya ingin mengajak Bung Faisal berpikir lebih jauh lagi di luar batas sekedar teori supply dan demand. Dalam dunia peternakan ada wilayah yang harus kita pahami, yaitu area irisan antara ekonomi dan teknologi peternakan. Wilayah irisan inilah yang sering kali kurang dipahami oleh para ekonom karena di dalamnya ada komponen yang dinamakan politik peternakan.

Perangkap Teknologi

Ketika Alm. Bob Sadino memperkenalkan telur ayam ras di era 1970-an banyak sekali tantangan yang dihadapinya. Salah satu tantangan terbesar adalah konsumen belum terbiasa dengan telur ayam ras yang besar dan banyak berkembang isu negatif termasuk di dalamnya anggapan bahwa mengonsumsi telur ayam ras itu berbahaya. Namun, apa yang terjadi sekarang hampir sebagian besar pasokan telur dan daging nasional berasal dari ayam ras.

Teknologi peternakan ayam ras modern bukanlah karya anak bangsa ini, namun merupakan teknologi impor yang harus benar-benar kita pahami positif dan negatifnya. Negara-negara pemilik teknologi dan perusahan besar yang bergerak dalam peternakan ayam ras ini bukanlah seperti dermawan yang menyumbangkan teknologinya ke negara berkembang termasuk Indonesia.

Teknologi peternakan ayam ras ini diciptakan sedemikian rupa sehingga mencakup teknologi yang menyentuh faktor produksi utama dari hulu sampil hilir rangkaian produksi. Faktor produksi yang paling krusial dalam teknologi peternakan ini adalah bibit, obat-obatan, dan pakan (cacatan: biayanya dapat mencapai 70% dari biaya produksi total) yang apabila tidak dipenuhi salah satu unsur utama ini, maka akan gagal produksinya.

Ketiga unsur inilah yang disebut dengan perangkap teknologi yang tidak semua orang menyadarinya. Dapat dikatakan hampir semua perusahaan besar yang bergerak dalam bidang peternakan ini di mana ada unsur asing di dalamnya menguasai ketiga unsur utama produksi ini.

Terkait tulisan Bung Faisal, ada 3 komoditas pertanian yang Indonesia sampai saat ini sangat bergantung pada impor untuk memenuhi produksi telur dan daging ayam ras, yaitu kedele, jagung, dan tepung ikan. Masalahnya bertambah rumit ketika jagung dan kedele tidak saja menjadi kebutuhan konsumsi manusia, namun juga menjadi unsur vital dalam rangkaian peternakan ayam ras ini.

Bibit hibrida dalam bentuk Day Old Chick (DOC) dirancang sedemikian rupa untuk tumbuh dan berproduksi dengan sangat cepat. Kita ambil contoh untuk ayam pedaging sekarang hanya diperlukan 4-5 minggu saja agar dapat dipotong. Bandingkan dengan ayam kampung yang memerlukan waktu hampir satu tahun untuk mencapai bobot potong yang sama.

Dengan kebutuhan protein minimal 18-20% dan kalori 2800 kkal, maka tiga komponen utama, yaitu jagung sebagai sumber energi, kedele dan tepung ikan sebagai sumber protein dan asam amino mutlak diperlukan dalam pakan ayam ras. Artinya, jika tidak dipenuhi, DOC ini dapat dipastikan akan gagal dalam mencapai bobot potongnya dan menjadi ayam kuntet.

Dalam meramu pakan ayam, jenis kedele dan jagungnya pun tidak boleh hanya sekedar berkualitas biasa, namun harus berkualitas super agar dapat menghasilkan pakan ayam yang sesuai dengan standar kebutuhan DOC tadi. Di sinilah letak permasalahannya kita memang sudah terperangkap dalam teknologi peternakan ayam ras ini. Artinya, untuk menghasilkan daging dan telur, kita “dipaksa” oleh teknologi ini untuk mengimpor jagung dan kedele yang berkualitas dan dijamin suplainya berkelanjutan.

Anomali Ekonomi

Penguasaan perusahaan-perusahaan besar dalam industri peternakan ayam ras di Indonesia dari hulu sampai hilir menjadikan perusahaan ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Bung Faisal dapat melakukan pengecekan data impor jagung dan kedele serta tepung ikan ini terpisah dari kebutuhan manusia, di mana angka impor tersebut sangat menakjubkan dalam setahunnya. Menurut Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) setiap tahunnya untuk kebutuhan industri pakan ternak saja Indonesia harus mengimpor 8,5 juta ton. Jadi telah terjadi penggerusan devisa yang luar biasa angkanya dari impor komoditas ini.

Harga ayam dan daging ayam ras di Indonesia bukan sesederhana teori supply dan demand saja. Bung Faisal sebagai ekonom kawakan pastilah memahami bahwa jika dalam proses produksi ada kekuatan besar yang menguasai unsur utama produksi dari hulu sampai hilir, kekuatan itu akan dapat mendikte harga pasar dan di sinilah letak anomalinya.

Anomali ini jelas sekali tampak ketika tertahannya kontainer jagung impor langsung berakibat pada kenaikan harga pakan ayam. Perusahaan besar itu bukanlah seperti rumah tangga dalam menjalankan produksinya. Artinya paling tidak mereka memiliki stok komponen utama pakan seperti jangung dan kedelai untuk kebutuhan minimal selama 6 bulan. Jadi kalau beberapa kontainer tertahan tidak akan mengganggu produksinya dan tidak akan serta-merta akan meningkatkan harga pakan yang berakibat peningkatan harga daging dan telur. Hal yang juga perlu kita pahami adalah daging yang ada di pasaran saat ini diproduksi dengan menggunakan pakan dengan harga minimal 5 minggu lalu.

Pertanyaannya kenapa harga pakan serta-merta naik? Jawabnya ada kekuatan yang mengendalikan harga bukan sekedar menyangkut supply dan demand dengan tujuan kemungkinan sebagai “peringatan halus” kepada Menteri Pertanian untuk tidak mengutak-atik status quo quota impor jagung dan kedele untuk kebutuhan peternakan.

Dengan penguasaan unsur produksi dari hulu ke hilir ini, peternakan kecil dan menengah yang melibatkan rakyat tidak lebih berfungsi sebagai pelaksana dan pekerja saja. Bibit, pakan, obat-obatan, pinjaman modal, dan bahkan pemasaran produksinya sudah diatur dan dikendalikan kekuatan besar tadi.

Dalam mengerti apa yang terjadi dalam dunia peternakan ini silakan Bung Faisal menyebarkan intelejennya untuk mengetahui siapa di balik perusahan besar ini dan juga negara mana saja yang secara tradisional dalam 3 era pemerintahan terakhir menjadi penyuplai utama jagung dan kedele.

Kapasitas produksi pabrik pakan besar di Indonesia baru mencapai 80% dari kapasitasnya, demikian juga kapasitas memproduksi DOC tidak bermasalah bahkan dalam beberapa kejadian DOC harus dimusnahkan untuk menjaga agar harga ayam di pasar tidak turun.

Mungkin Bung Faisal dapat juga mendalami dan memahami anomali terkait komoditas pertanian dalam arti luas ini dari kasus digantinya Menteri Perdagangan Rachmat Gobel yang oleh banyak kalangan “diduga” terkait kebijakannya mengutak-atik kuota impor sapi dari Australia.

Semoga Bung Faisal masih ingat ketika ada gerakan penanaman jagung nasional di era pemerintahan yang lalu yang dapat dikatakan gagal total karena kurang dipahaminya teknis pertanian. Demikian juga gagalnya food estate yang dibangun di bumi Papua juga karena tidak mempertimbangkan budaya setempat, teknis budidaya komoditas pertanian dan faktor infrastruktur termasuk transportasi. Kesemuanya ini tentunya mengingatkan kita bahwa permasalahan ini tidak dapat diselesaikan dengan perhitungan di atas kertas saja melainkan harus diselesaikan bersama secara multidisiplin.

Jadi pada intinya masalah kenaikan harga daging dan telur bukan sesederhana pernyataan yang Bung Faisal tulis “………Menyelesaikan persoalan jagung tetapi menimbulkan masalah kenaikan harga ayam dan telur. Semua dibikin repot oleh ulah Menteri Pertanian”

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun