Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Supremasi Hukum Kasus Pro Kontra Pendirian Mesjid Bendigo

17 Desember 2015   03:37 Diperbarui: 17 Desember 2015   07:06 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo: http://www.forensicexperts.com.au

Kasus ini bermula ketika pada bulan November 2013 lalu, Australian Islamic Mission mengajukan proposal pendirian mesjid pertama di kota Bendigo yang berada di negara bagian Victoria, Australia kepada pemerintah lokal, yaitu the Greater Bendigo City Council.

Bendigo terletak di negara bagian Victoria. Sumber: http://www.servekrishna.net

Bendigo sekitar 2,5 jam perjalanan darat dari Melbourne. Sumber: http://www.data-recovery.com.au/

 

Sejak itu memang tidak saja masyakarat Bendigo saja  namun juga masyarakat di luar wilayah Bendigo  seolah terbagi menjadi dua kubu yang memiliki perbedaan pandangan terhadap rencana pendirian masjid ini, yaitu kelompok pro dan kontra. Perbedaan pendapat yang tajam ini tercermin  dengan adanya demonstrasi besar di dua kota, yaitu Melbourne dan Bendigo yang berujung pada bentrok pada bulan September dan Oktober 2015 lalu.

Kelompok anti pendirian mesjid Bendigo. Sumber: http://cache1.newzulu.com/

Kelompok pro pendirian mensjid Bendigo. Photo: http://www.sbs.com.au

Disamping penggalangan opini di media massa dan mengadakan demonstrasi langsung di jalan, kelompok anti pendirian mesjid ini, yang dimotori oleh The United Patriots Front (UPF) yang mengkalim memiliki pendukung lebih dari 5000 orang ini juga mengajukan tuntutan di pengadilan untuk menghentikan rencana pendirian masjid ini. Tuntutan ini ditujukan kepada pemerintah lokal yang dianggap tidak mempertimbangkan "dampak sosial" dari rencana pendirian masjid ini.

 


Design mesjid Bendigo yang diusulkan. Photo: http://www.theage.com.au/

Faktor eksternal yang diduga mempengaruhi aktivitas kelompok anti ini adalah politik global terhadap ekstrimis Islam. Di tengah-tengah arus politik dunia yang memerangi ISIS termasuk di dalamnya Australia, sentimen anti islam memang meningkat. Dapat  kita bayangkan di tengah sentimen anti Islam yang semakin berkembang ini dan juga status minoritas Islam tentunya membuat perjuangan pendirian masjid ini tampak semakin sulit.

Namun pada kenyataannya di lapangan, banyak juga masyarakat dari kelompok anti rasisme dan anti diskriminasi justru berada dipihak yang pro pada rencana pendirian masjid ini. Pertarungan di pengadilan  terus berjalan seiring dengan adanya demostrasi pro dan kontra ini.

Akhirnya kemaren  tanggal 16 Desember 2015  lalu, pengadilan Victoria memutuskan bahwa tuntutan dari kelompok anti pendirian masjid ditolak oleh pengadilan. Keputusan pengadilan ini didasarkan pada The Charter of Human Right and Responsibilities Act tahun 2006 yang salah satunya adalah melindungi agama. Pertimbangan utama pengadilan dalam menolak tuntutan ini adalah praktek keagamaan tidak dapat dipandang sebagai praktek yang memberikan pengaruh sosial yang membahayakan.

Beberapa pelajaran penting yang dapat diambil dari kasus ini adalah:

  1. Kelompok minoritas memiliki hak yang sama yang dijamin oleh hukum
  2. Pengadilan memutuskan berdasarkan supremasi hukum bukan berdasarkan opini maysrakat mayoritas
  3. Situasi politik global dan juga sikap pemerintah Australia yang memerangi terorisme tidak mempengaruhi keputusan pengadilan yang pada dasarnya menjaga dan melindungi masyarakat dalam hal kesamaan hak, kebebasan dan demokrasi.

Walaupun perjalanan persetujuan pendirian masjid ini masih tampak panjang karena pertarungan masih akan berlanjut di pengadilan tinggi, namun paling tidak  kita dapat melihat dengan jelas bahwa dalam menangani kasus perjuangan hak kaum minoritas, supremasi hukum menjadi tumpuan pihak yang bersengketa. Pihak yang saat ini dikalahpun tidak memprotes keputusan pengadilan ini dengan mengandalkan dan mengerahkan massa untuk menolak keputusan pengadilan, namun menerimanya dan akan melanjutkan pertarungannya di pengadilan tinggi.

Di negara yang penegakan  hukumnya sudah bagus seperti di Australia, masyarakat tidak enggan untuk memperjuangkan haknya melalui jalur hukum karena mereka tau bahwa hukum dan pengadilan adalah tempat mereka menyandarkan asa dan haknya yang akan memberikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pada kasus dimana sipengadu dikategorikan tidak mampu, negara akan menyediakan pengacara untuk membela haknya.

Tampaknya penegakan dan supremasi hukum masih menjadi impian dan harapan banyak orang di negara dimana hukum belum manjadi punggawa dan pembela hak masyarakat yang tertindas.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun