"One child policy" salah satu kebijakan demografi paling ekstrim di dunia. Photo: Reuters/Stringer
Ada berita yang cukup mengejutkan yang disampaikan oleh pihak berwenang Cina beberapa jam yang lalu, yaitu diakhirnya kebijakan “one child policy” di Cina. Pemerintah Cina kini memperbolehkan keluarga untuk memiliki 2 anak bagi yang salah satu orang tuanya merupakan hasil dari kebijakan “one child policy".
Kebijakan “one child policy” di Cina memang merupakan salah satu kebijakan demografi yang paling ekstrim di dunia. Tidak hanya sampai membuat peraturan saja, pemerintah Cina memberikan sangsi tegas bagi yang melanggarnya termasuk denda dalam bentuk uang dan penjara serta kehilangan pekerjaanya.
Banyak pakar demografi menilai bahwa diakhirinya kebijakan “one child policy” merupakan korban dari kemajuan ekonomi Cina yang mulai merajai dunia. Di era tahun 1980 pada umumnya negara kuat di dunia memandang sebelah mata perekonomian dunia. Saat itu kekuatan ekonomi di Asia di pegang oleh Jepang. Kni peta kekuatan ekonomi dunia sudah berubah karena Cina sudah menjelma tidak saja menjadi kekuatan ekonomi di Asia namun telah menjadi kekuatan ekonomi dunia. Hal ini terbukti ketika Cina menurunkan nilai mata uangnya, perekonomian dunia dan juga nilai mata uang negara lain terguncang hebat. Tidak pelak lagi kini Cina memegang peran penting dan penentu peta perekonomian dunia.
Namun ternyata perkembangan ekonomi Cina yang luar biasa ini tidak disertai dengan modal sosial yang memadai akibat tergerusnya kelompok usia produktif yang merupakan salah satu dampak dari penerapan "one child policy" yang diterapkan sekitar 35 tahun lalu.
Apa itu “one child Policy”
“One Child Policy” yang diterapkan oleh pemerintah Cina pada tahun 1979 hanya memperbolehkan pasangan memiliki 1 anak saja. Di beberapa wilayah pedesaan dan juga untuk etnik minoritas di bawah kebijakan “one child policy” masih memperbolehkan pasangan memiliki anak kedua jika anak pertamnya adalah perempuan.
Kebijakan ini mengakibatkan banyaknya kasus aborsi dan juga pembunuhan bayi perempuan. Dampak terbesar dari kebijakan ini disamping melambatnya pertumbuhan populasi kategori usia produktif dan juga menimbulkan ketidak seimbangan antara penduduk laki-laki dan perempuan atau yang dalam istilah demografi disebut dengan “Gender imbalance”.
Dampak “One Child Policy”
Kebijakan kontroversi “one child policy” yang diterapkan pada tahun 1979 tersebut membuat pemerintah Cina berpikir ulang akibat dampaknya yang cukup buruk dan jika diteruskan akan mempengaruhi daya saing Cina ke depan.
Sejak diterapkannya kebijakan tersebut Cina memang berhasil mencegah kelahiran sebanyak 400 juta, namun yang cukup mengkhawatirkan adalah struktur demografi Cina yang semakin didominasi oleh kelompok usia tua. Kondisi ini dalam demografi disebut sebagai "ageing population". Kondisi seperti inilah yang membuat khawatir para pakar demografi dan sosiologi Cina karena akan berdampak pada masalah sosial dan penurunan angkatan kerja yang tidak dapat menopang laju perkembangan ekonomi Cina saat mendatang.
Pengenduran kebijakan demografi ini dimaksudkan untuk memperbaiki keseimbangan perkembangan penduduk Cina. Saat ini sebanyak 30% dari polulasi Cina sebesar 1,36 milyar adalah penduduk yang berumur lebih dari 50 tahun.
Kebijakan yang diterapkan Cina selama 35 tahun ini kini telah menjadi bom waktu karena mengakibatkan populasi Cina yang semakin menua dan menurunnya angkatan kerja. PBB memperdiksikan pada tahun 2050 penduduk Cina yang berumur 60 tahun ke atas akan mencapai 440 juta orang, sedangkan angkatan kerja yang berusia 15-59 tahun menurun sebanyak 3,71 juta setiap tahunnya dan tren penurunan ini diperkirakan akan terus berlanjut.
Kebijakan pengenduran kelahiran yang akan diterapkan oleh Cina ini dianggap terlambat dan tidak dapat memperbaki struktur demografi dalam waktu cepat. Sebagai contoh dari 30 ribu keluarga di Beijing hanya 6,7% saja yang memenuhi kriteria untuk memiliki anak kedua. Namun pemerintah kota Beijing menyebutkan bahwa melalui kebijakan ini akan ada tambahan kelahiran sebanyak 54.200 anak setiap tahunnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kebijakan demografi adalah kebijakan jangka panjang. Oleh sebab itu perlu pemikiran yang matang dalam menerapkan kebikan karena dampaknya baru kelihatan dalam 20-30 tahun mendatang.
Indonesia di bawah pemerintahan Soeharto pernah sukses dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk Indonesia dengan menerapkan program keluarga berencana dengan semboyan “Cukup Dua Anak Saja”. Kebijakan ini dinilai cukup berhasil mengendalikan laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan berdampak pada bonus demografi dimana penduduk usia produktif Indonesia dalam kurun waktu 10-20 tahun mendatang yang merupakan salah satu bonus demografi yang terbaik di dunia.
Bonus demografi Indonesia memang merupakan potensi dan kekuatan jika dapat dikelola dengan benar. Namun pertambahan populasi usia produktif yang tidak disertai dengan persiapan pendidikan dan keahlian yang memadai akan berubah menjadi beban dan menimbulkan masalah sosial yang akan menurunkan daya saing Indonesia di masa mendatang.
Indonesia tergolong sebagai negara yang akan berkembang pesat jumlah penduduknya. Jika Indonesia tidak dapat pengendalikan laju pertambahan penduduknya maka tidak terkendalinya jumlah penduduk akan menjadi masalah besar di masa mendatang. Pembelajaran dapat diambil dari kasus pengetatan angka kelahiran di Cina.
Program pengendalian angka kelahiran di Indonesia tanpa menimbulkan efek negatif dan merugikan di masa mendatang harus sudah mulai persiapkan oleh pemerintah jika menginginkan Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi yang disegani dunia.
Sumber: PBB, BBC, The Guardian, Reuters.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H