Tony Abbott tampaknya salah perhitungan, dengan menekan Indonesia habis-habisan dan menggalang opini masyarakat Australia bahwa hukuman mati tidak patut dilaksanakan, harapannya Indonesia akan tunduk terhadap permintaan Australia. Pelaksanaan hukuman mati telah "menyengat" Tonny Abbott dan menyadarkan bahwa Indonesia adalah negara besar dan berdaulat dan tidak mudah ditekan.
Kebijakan pasca hukuman mati seperti menarik duta besarnya, mengurangi bantuan luar negeri dan membatasi hubungan tingkat tinggi dengan Indonesia membuat situasi menjadi lebih buruk. Dari segi keamanan dan ekonomi justru tindakan frontal yang diambil oleh Tony Abbott ini justru menyudutkan Australia karena Australia memiliki kepentingan besar dalam bidang keamanan dan ekonomi dengan Indonesia.
Era “pahit” tersebut memang sudah berakhir namun dampak dari kepemimpinan Tony Abbott tidak saja menurunkan kredibilitas Partai Liberal dan juga koalisi yang sedang berkuasa namun telah menyia nyiakan aset besar yang namanya hubungan Indonesia-Australia. Era Tony Abbott sudah berakhir dan banyak pakar menyatakan akan sangat sulit bagi Tony Abbott untuk kembali menjadi pemimpin mengingat gaya kepemimpinannya yang tidak disukai banyak orang. Kini Australia dipimpin oleh Malcolm Turnbull sebagai Perdana Menteri baru yang memiliki gaya kepemipinan yang sangat berbeda.
Malcolm Turnbull yang memiliki latar belakang pengusaha ini memiliki gaya yang lebih sejuk yang sangat bertolak belakang dengan pendahulunya. Ibarat seorang petinju Malcolm Turbull memiliki gaya “classic tactical fighter” yang lebih taktis dan mau mendengar.
Dengan latar belakangnya ini tampaknya Turnbull memiliki pengetahuan yang cukup tentang “risk analysis” sehingga setiap langkahnya dilakukannya dengan penuh perhitungan dan kehatian-hatian. Dia tidak terlalu banyak mau berbicara di media, dia lebih memilih forum resmi seperti debat di parlemen untuk menyampaikan gais kebijaknya.
Dengan gaya kepemimpinannya yang lebih “bersahabat” ini tampaknya angin segar telah berembus terkait dengan hubungan Indonesia-Australia. Tanpa banyak digembar gemborkan di media massa sudah banyak pejabat teras Australia dalam bidang politik, keamanan, ekonomi dan pendidikan telah berkunjung ke Indonesia untuk membangun kembali bangunan yang telah runtuh tersebut.
Dengan kebijakannya melakukan restorasi hubungannya dengan Indonesia, tampaknya Turnbull menyadari betul betapa pentingnya Indonesia bagi Australia. Langkah yang diambil Turnbull ini tampaknya disambut baik oleh Indonesia tercermin dari berbagai pernyataan positif yang disampaikan oleh menteri Luar negeri Indonesia terkait hubungan kedua negara ini.
Dalam waktu yang hanya kurang lebih sebulan gaya kepemimpinan Trurnbull yang lebih sejuk ini telah membuahkan hasil. Hasil pooling menunjukkan bahwa partai koalisi memiliki popolatiras yang jauh lebih baik dari partai oposisi, yaitu partai butuh dengan persentase 53:47%, sedangkan popularitas Turnbull melejit mencapai 67% dibandingkan dengan Bill Shorten sebagai ketua oposisi yang hanya meraih 21%.
Bukankah akan lebih baik jika sebagai negara bertetangga dekat dapat saling mengerti dan menghargai? Bukankah jika ada permasalahan akan lebih baik bagi kedua pemimpin negara untuk mengangkat telpon dan berbicara langsung dibandingkan dengan membuat pernyataan yang kurang bersahabat di media demi kepentingan sesaat saja?
Semoga angin segar ini menyadarkan kembali betapa hubungan baik Indonesia Australia ini sangat penting dan diperlukan untuk menjaga stabilitas regional. Australia harus menyadari bahwa budaya “diplomasi koboi” tidak akan pernah dapat diterima oleh Indonesia sebagai negara besar yang berdaulat.