Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money featured

Kisruh Daging Sapi

11 Agustus 2015   07:29 Diperbarui: 20 Juni 2016   07:59 2280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Permasalahan daging sapi itu memang komplek tapi dapat diselesaikan jika disertai oleh keinginan yang kuat. Photo:Kenalsatu.com


Ada dua berita terkait daging sapi yang ketika membacanya membuat saya tersenyum sendiri. Berita pertama adalah di koran nasional Australia yang memberi judul besar “Indonesia butuh daging dari Australia”. Berita ini memuat wawancara dengan 1 orang pedagang bakso dan juga salah satu pengusaha daging sapi yang pada intinya mengeluhkan tingginya harga daging sapi, sehingga mereka tidak dapat lagi menjalankan usahannya. Kesimpulan yang diambil dari penulis berita ini adalah keputusan pemerintah Indonesia untuk mengurangi impor sapi pada periode ini dari yang seharusnya sekitar 250 ekor hanya menjadi 50 ribu ekor merupakan keputusan yang gegabah dan salah.

Berita kedua yang juga membuat saya tersenyum adalah berita tentang mogoknya pedagang daging sapi di wilayah jabobetabek dengan alasan tingginya  harga daging yang sebesar Rp 140 ribu per kilo itu membuat omset penjualannya menurun drastis. Namun ketika Bulog melakukan operasi pasar dengan menjual daging dengan harga Rp 90 ribu mereka justru mencak-mencak dan menuding pemerintah tidak berpihak pada pedagang daging sapi.

Kalau diibaratkan seorang pasien yang sedang sakit, perdagingan nasional kita dapat dikatakan sedang mengidap kanker stadium satu. Artinya kita memang sedang sakit namun kalau ditangani dengan serius sakit tersebut dapat disembuhkan.

Terkait berita pertama di atas, tertumpunya impor sapi dari Australia dengan jumlah yang demikian besar telah lama membuat terlena  semua pihak. Pola pemikiran instan untuk mencari untung sesaat dan kemudahan mencari solusi menjadikan bangsa ini kecanduan impor. Bahkan dengan laut yang sedemikian luasnya kita juga gemar mengimpor garam.

Importasi sapi dari Australia yang telah lama dilakukan dalam jumlah yang sangat besar telah membuat kita terlena. Photo: The Australian

Impor sapi dari Australia dengan jumlah yang sangat besar dan sudah dilakukan dalam kurun waktu yang lama tidak saja membuat Indonesia tergantung pada Australia tapi Australia juga tergantung dari Indonesia. Para peternak di wilayah Utara Australia pada umumnya menjual sapinya untuk kebutuhan ekspor ke Indonesia. Sehingga pada saat Indonesia memutuskan untuk mengurangi quota impornya dari Australia maka hebohlah mereka. Tidak hanya peternak saja tapi pemerintahnya juga heboh.

Keinginan Australia untuk mengalihkan quota impornya yang tidak terserap Indonesia ke China lebih kepada gertak sambal untuk menenangkan para peternaknya, karena hal tersebut tidak mudah dilakukan dan kalaupun berhasil dialihkan pemerintah China pasti akan meminta timbal balik perdagangan dari Ausutralia.

Bukti yang sangat kuat bahwa Australia juga sangat tergantung pada ekspor sapinya ke Indonesia adalah ketika terjadi pengurangan quota impor para pejabat Australia termasuk menteri pertanian negara bagian di wilayah utara Australia dan juga menteri pertanian Federal Australia ingin segera menemui pihak terkait di Indonesia termasuk menteri Pertanian untum membahas gonjang-ganjing ini, namun keinginan ini sampai saat ini masih belum terlaksana.

Sapi dan peternak di Australia tidak hanya sekedar menyangkut dunia peternakan semata, juga terkait dengan politik dan suara. Bagi pemerintahan Liberal saat ini yang popularitas Perdana Menteri nya dalam dua minggu terakhir ini merosot tajam di bawah popularitas pimpinan oposisi permasalahan ekspor sapi ke Indonesia menjadi krusial. Ketidak mampuan pemerintah baik negara bagian maupun pemerintah federal untuk memulihkan ekspor sapinya ke Indonesia akan berdampak fatal bagi perekonomian di wilayah penghasil sapi dan juga kehilangan suara pemilih.

Pentingnya peternakan sapi di Australia telah memunculkan partai independen pro peternak yang sangat kuat di wilayah utara Australia. Photo. shm.com.au

Di wilayah utara Australia ada satu partai independen yang dinamakan partai Bob Ketter yang memperjuangkan aspirasi para peternak. Bob Ketter yang saat ini menjadi senator sangat aktif memperjuangakan nasib peternak Australia. Partai yang semakin berkembang ini mendapat dukungan sangat kuat dari para peternak. Jika pemerintah Australia tidak dapat dengan segera menyelesaikan permasalahan ekspor sapinya ke Indonesia bukan tidak mungkin terjadi pengalihan suara besar besaran ke partai yang memperjuangkan nasib peternak ini.

Terkait berita kedua, Menteri perdagangan menyatakan adanya indikasi bahwa mogok jualan daging ini ada yang membekenginya. Adanya kartel dalam dunia importasi sapi dan daging memang tidak dapat dipungkiri. Tebongkarnya kasus permainan quota impor sapi oleh okum dari partai tertentu beberapa waktu lalu membuktikan hal ini.

Permainan para oknum selama inilah yang membuat harga sapi dapat dikontrol oleh sekolompok orang untuk kepentingan pribadi dan golongan. Bagaimana suplai daging dari pulau Bali dan Lombok serta Sulawesi Selatan dikontrol pasokannya ke wilayah “basah” Jabobetabek untuk mengendalikan harga. Baukti yang cukup kuat terjadinya “kontrol” ini adalah keluhan para peternak sapi di Bali akan kesulitan menjual sapinya padahal di wilayah Jabodetabek sedang tinggi-tinggi harganya.

Ketergantungan akan pasokan sapi impor dari Australia telah membuat banyak pihak terlena, sehingga pihak-pihak yang terlibat di dalam dunia peternakan sapi ini enggan untuk keluar dari kotak pemikiran tradisionalnya. Bukti yang cukup kuat adalah adanya larangan yang tercantum dalam peraturan dan undang undang untuk mengimpor sapi dari negara yang tidak terbebas dari penyakit mulut dan kuku. Pelarangan inilah yang sering digunakan oleh pihak tertentu untuk menjustifikasi bahwa kita harus mengimpor sapi dari Australia yang tercatat sebagai negara bebas penyakit mulut dan kuku.

Walaupun India belum masuk negara yang bebas penyakit mulut dan kuku, tapi ada beberapa wilayah di negara ini yang bebas dari penyakit mulut dan kuku. Photo: The Hindu.com

Pasokan sapi dari negara lain seperti India dan negara-negara Amerika Latin tidak dipertimbangkan karena adanya larangan yang tercantum dalam peraturan dan undang undang ini. Para ahli peternakan sudah pasti tau dan mengerti bahwa jika ada negara yang walaupun belum dinyatakan bebas dari penyakit mulut dan kuku seperti India misalnya, tidak berarti bahwa seluruh sapi di negara tersebut terpapar penyakit mulut dan kuku. Pasti di beberapa wilayah di negara ini yang bebas dari penyakit mulut dan kuku. Dengan sistem pengawasan bersama maka sapi-sapi yang berasal dari wilayah inilah yang dapat kita impor.

Syarat utama terjadinya impor dari negara lain untuk mengurangi ketergantungan impor sapi dari Australia adalah merevisi isi larangan yang tercantum dalam peraturan dan undang-undang yang sekarang masih diberlakukan. Dengan kemajuan teknologi seperti misalnya karantina terbatas dan pengembangan dan penerapan sistem biosekuriti yang baik tentunya kita tidak harus melarang secara total impor sapi dari negara yang belum bebas penyakit mulut dan kuku.

Peternakan sapi di negara amerika latin. Photo:BBC.com

Pemasalahan sapi ini memang komplek namun apabila ada keinginan kuat benang kusut ini dapat diurai untuk dicarikan jalan pemecahannya.

Salah satu hal yang harus segera dilakukan adalah penyederhanaan tata niaga sapi dan daging. Pengangkutan sapi dari pulau Bali dan Lombok lewat darat melewati paling tidak 20 titik pungutan restribusi baik yang legal maupun yang illegal. Jika pemerintah serius maka pembelian kapal pengangkut ternak dan produk pertanian lainnya dapat diakukan untuk memotong rantai yang panjang ini.

Peran bulog harus ditingkatkan menjadi stabilisator supplai dan harga daging nasional. Photo: detik.com

Penunjukan bulog sebagai aktor utama untuk mengimpor sapi dinilai sangat tepat, karena harga jual daging sapi akan dapat lebih terkontrol, disamping itu bulog dapat difungsikan sebagai penjaga stok sapi nasional. Pengalaman menunjukkan bahwa quota impor yang diberikan oleh pihak tertentu selama ini terbukti tidak dapat mengendalikan harga daging di pasar karena justru ada pihak pihak yang turut bermain untuk mengambil keuntungan dari harga daging sapi yang tinggi ini.

Untuk menekan biaya transportasi dan juga mengurangi pungutan, kapal phusus pengangkut sapi dan produk pertanian merupakan salah satu solusinya. Photo: beritatrans.com


Bulog dalam hal ini harus berfungsi sebagai relulator harga daging sapi sekaligus sebagai stabilisator pasokan daging. Dalam mengemban tugas yang cukup mulia ini pemerintah dan bulog harus menghitung secara cermat kebutuhan impor sapi untuk menutupi kekurangan pasokan daging dari sapi lokal.  Keberhasilan bulog dalam menjaga stabilitas harga beras dan cadangan pangan nasional diharapkan dapat juga dilakukan untuk komoditas daging sapi.

Dengan perhitungan yang cermat, maka kekhawatiran yang menghinggapi pikiran sekolempok orang akan terkurasnya sapi betina produktif tidak terjadi, apalagi misalnya didukung oleh kebijakan pemerintah untuk mengimpor sapi betina produktif untuk dijadikan indukan yang akan dikembangkan oleh peternak rakyat.

Satu hal yang perlu diingat bahwa daging sapi belum merupakan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia sebagaimana halnya dengan beras. Oleh sebab itu, pemerintah perlu lebih mendorong upaya diversifikasi sumber protein hewani, seperti dari ayam, kambing, domba, telur dan ikan.

Hal yang perlu diingat juga adalah konsumen daging tentunya memuliki keterbatasan kemampuan daya belinya. Jika harga daging terlalu tinggi, konsumen akan mengalihkannya kepada jenis daging lainnya seperti ikan, ayam dan telur yang supplainya dapat sepenuhnya dipenuhi dari dalam negeri. Pada situasi dimana daya beli daging sapi berkurang harga daging akan turun. Pertemuan antara kemampuan daya beli konsumen dan harga daging yang realistis inilah yang perlu diupayakan oleh pemerintah melalui Bulog.

Impor sapi memang mau tidak mau harus dilakukan karena kebutuhan akan daging sapi kita masih di atas supplai daging, namun tentunya impor harus dilakukan secara terbatas dan tidak hanya dari satu dua negara saja.  Pengurangan impor memang pada awalnya akan mengguncang harga dan pasokan daging, namun dalam jangka panjang akan dapat membuat bangsa ini menjadi mandiri dan tidak malas untuk terus berupaya memajukan dunia peternakan.

Para insan yang bergerak dalam bidang peternakan harus mulai keluar dari pola pikir tradisionalnya. Keberpihakan pemerintah pada peternak termasuk fasilitasi modal, penyerhanaan aturan, bantuan teknik peternakan dan investasi jangka panjang dalam membangun dunia persapian ini sangat diperlukan untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa mandiri pangan.

Negara Indonesia memang tidak harus menjadi negara anti impor, namun membiarkan  negara ini menjadi negara yang kecanduan impor akan selalu diingat oleh anak cucu kita sebagai suatu tindakan yang menunjukkan ketidak mampuan kita menjadikan  negara ini sebagai  negara yang berdaulat pangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun