Halaman Istana Bogor tidak luput dari masalah kekeringan. Photo: detik.com
Jumat lalu akhirnya setelah sekian lama kota Bogor diguyur hujan, Walikota Bogor, Bima Arya mengatakan bahwa ini sebagai “The Power of Doa”. Tidak akan ada orang yang dapat membantah tentang kuasa Allah, namun masalah kekurangan air di Bogor merupakan masalah yang komplek yang harus diselesaikan, bukan hanya sekedar dapat diselesaikan dengan doa saja.
Tidak pernah dibayangkan Bogor yang terkenal dengan julukan sebagai “kota hujan” yang dulunya diduga berasal dari kata Buitenzorg (artinya kota yang damai) tersebut dalam kurun waktu 20 tahun terakhir ini terutama di saat-saat musim kemarau sudah menunjukkan tanda-tanda kekurangan air. Pagi yang dingin dan berkabut yang membuat orang sedikit malas mandi sudah merupakan bagian dari nostalgia. Kekurangan air ini tentunya menjadi petunjuk bagi pihak berwenang maupun ilmuwan dan terutama masyarakat bahwa ada sesuatu yang tidak beres terkait lingkungan di kota dan Kabupaten Bogor ini.
Penataan dan perencanaa tata kota dan ruang kota Bogor tidak dapat dipisahkan dengan Kabupaten Bogor dan daerah penyangga lainnya yang berdekatan. Kota Bogor memang tampaknya sudah “terlanjut” dianggap wilayah yang lebih dekat dengan Jakarta, sehingga penataannya seolah terlepas dari wilayah Jawa Barat.
Tampaknya perencanaan dan penataan kota dan Kabupaten Bogor yang kurang terpadu ini yang menjadi salah satu penyebab permasalahan kekurangan air di kota dan kabupaten Bogor. Tidak ada orang yang dapat menyangkal bahwa wilayah ini adalah salah satu wilayah yang tersubur di Indonesia karena memang bagian dari tanahnya mengandung abu vulkanik dari Gunung Salak dan Gunung Pangrango yang membentengi dengan wilayah ini.
Dalam kurun waktu paling tidak 40 tahun terakhir ini kota Bogor yang dulunya diperuntukkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai kota peristirahatan, kini secara drastis berubah menjadi kota penyangga Jakarta. Bukti yang paling nyata tentang perubahan ini adalah betapa riuhnya dan banyaknya orang yang bekerja di Jakarta yang tinggal di Bogor. Lihat saja setiap jam kantor di pagi hari buta dan sore serta malam hari, tidak terhitung banyaknnya “warga Bogor” yang menggunakan jasa kereta komuter, bis dan kendaraan pribadi yang “mudik” ke Jakarta dan kembali lagi pulang pada malam harinya.
Padatnya kereta komuter bogor-jakrata. Photo: kepo.my.id
Ketika angkot mulai diperkenalkan untuk menggantikan bemo di tahun 1987 an, tidak ada yang menyangka bahwa saat ini angkot di kota bogor sudah menjadi penyakit akut yang sulit sekali dipecahkan permasalahnnya karena jumlahnya yang sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Di jaman pemerintah kolonial Belanda kendaraan utama di Bogor adalah delman (kereta berkuda). Jenis kendaraan inilah yang dianggap paling cocok dengan kondisi jalan yang turun naik dan lingkungan kota Bogor yang sebagian besar jalannya tidak dapat diperlebar karena kontur lahan dan sungai yang ada. Kini sudah dapat dipastikan tingkat pencemaran kualitas udara akibat buangan angkot jauh melebih tingkat pencemaran ketika bemo masih ada.
Masalah lain yang paling masif di kota dan Kabupaten Bogor adalah alih fungsi lahan pertanian menjadi wilayah perumahan dan wilayah komersil. Dalam kurun waktu 40 tahun terakhir tidak terhitung lagi berapa ratus ribu hektar lahan subur berubah menjadi wilayah perumahan dan perdagangan. Sebut saja wilayah yang kini menjadi perumahan di kawasan puncak, kawasan Ciawi, kawasan Cimanggu, kawasan Ciomas, Wilayah Pagelaran, wilayah di sepanjang toll Jagorawi mendekati kota Bogor dll.
Alih fungsi lahan ini sudah demikian masif dan tidak terkendalinya walaupun sebenarnya sudah ada rencana tata ruang untuk kawasan ini. Tidak jauh –jauh contoh lain yang sangat mencengangkan adalah alih fungsi lahan pertanian subur di jalan tembus CIFOR ke kampus IPB Darmaga. Bagaimana lahan pertanian yang sangat subur kini secara cepat dan pasti berubah menjadi wilayah perumahan. Konon pihak Institut Pertanian Bogor sudah berusaha untuk mempertahankan fungsi lahan di wilayah ini, namun kembali permintaan yang tinggi dan uanglah yang lebih berkuasa, sehingga alih fungsi lahan ini telap melaju dan tidak dapat dihadang.
Di era tahun 70 an ketika hanya ada kampus Fakultas Kehutanan IPB yang menghuni kampus Darmaga, jalan dari Bogor menuju Kampus IPB darmaga demikan lengangnya bahkan di sore dan malam mari jarang ada yang berani kesana karena masih ada begal. Kini jalur ini merupakan salah satu jalur termacet di Bogor yang sampai saat ini masih belum ada cara jitu untuk mengatasinya.
Apa yang perlu dilakukan untuk mencegah menurunnya kualitas lingkungan kota dan Kabupaten Bogor secara cepat ini? Walaupun tampaknya klasik dan susah dilakukan, moratorium alih fungsi lahan harus dilakukan sebagai langkah awal, termasuk di dalammnya moratorium penambahan dan peremanjaan angkot. Bogor bukanlah kota yang dapat berdiri sendiri, oleh sebab itu perencanaan wilayah dan tata ruang bogor harus dialkuakn bersama dengan Kabupaten Bogor dan kabupaten lainnya di Wilayah Jawa Barat.
Sangat tragis memang melihat sampai melihat halaman istana kota bogor sampai kekurangan air yang membuat rumputnya menjadi coklat dan membuat rusa-rusanya kekurangan pakan. Di Kota Bogor ada Institut Pertanian Bogor gudangnya pakar pertanian dan lingkungan. Bahkan penggagas teknologi sederhana biopori untuk menampung dan menjaga pasokan air tanah dan sirkulasi pernafasan tanah ada di sana.
Jika dalam keadaan darurat ini kita menanggapinya seperti biasa saja dan seolah tidak ada yang menjadi masalah dan semuanya ini dianggap hanya sebagai konsekuensi pertambahan penduduk saja, maka tidak heran julukan bogor sebagai “Kota Hujan” tinggal kenangan saja.
Bagaimana kenikmatan kabut dan dinginnya kota Bogor dan juga aroma kotoran kuda dari beberapa kereta kuda yang parkir di pagi hari di tugu kujang kinipun sudah tinggal kenangan. Hamparan wijau padi-padi di kawasan Ciomas menapak kaki gubung salak, kini berubah menjadi hutan beton yang jika hujan terjadi derasnya air hujan membanjiri jalan raya Ciomas kini sudah menjadi permasalahan sendiri. Sulitnya mendapatkan air ledeng di siang hari di beberapa bagian di kota Bogor sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Bogor.
Penurunan kualitas lingkungan di kota dan Kabupaten Bogor merupakan dosa bersama yang harus segera dicarikan solusinya, mari kita selamatkan kota dan Kabupaten Bogor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H