Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money featured

Kronisnya Ketergantungan Indonesia pada Sapi Australia

23 Juli 2015   06:49 Diperbarui: 7 Juni 2016   13:35 5466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengangkutan sapi dengan cara seperti ini tidak efisien dan berkontribusi kepada mahalnya harga daging sapi lokal. Photo: www.solopos.com

Ketika pemerintah Indonesia memutuskan untuk menurunkan quota impor sapi dari Australia yang seharusnya pada periode impor ini mencapai 250 ribu ekor sapi hidup hanya menjadi 50 ribu saja, para eksportir dan asosiasi peternak sapi di Australia memang terkejut. Sebab langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia ini sungguh di luar dugaan karena melihat pola impor sapi dari Australia selama 20 tahuan terakhir ini, biasanya justru Indonesia meningkatkan quotanya untuk menjaga supply daging dan stabilitas harga dari selama bulan puasa dan lebaran.

Ketergantungan impor sapi hidup Indonesia dari Australia memang sudah sangat kronis mengingat jumlah sapi yang diimpor dari Australia jumlahnya sangat banyak mencapai rata-rata 800 ribu ekor per tahunnya. Bisa dibayangkan berapa jumlah uang yang mengalir ke Australia. Jika kita hitung harga sapi $3 per kg bobot hidup, maka seekor sapi dengan berat kira-kira 250 kg harga per ekor sapi hidupnya sekitar $7.500 atau setara dengan Rp7,5 juta. Jika dihitung dengan ongkos transport dan lain-lainnya katakanlah satu ekor sapi impor dari Australia Rp 8 juta. Jadi uang yang digelontorkan untuk membeli sapi dari Australia dalam setahunnya minimal Rp. 6.400.000.000.000, jumlah yang sangat fantastis bukan? Dan tidak dapat dipungkiri bahwa banyak pihak di dalam negeri yang mengeruk rejeki dari kecanduan mengimpor sapi dari Australia ini.

Memang sangat sulit untuk mengatakan bahwa pengurangan quota impor ini tidak terkait dengan situasi politik kedua negara yang saat ini kurang baik dan juga upaya pemerintah untuk mencanangkan program kemandirian pangan. Keinginan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada impor sapi ini harus dihargai, sebab dapat dibayangkan uang yang digelontorkan untuk impor sapi itu digunakan untuk membangun peternakan sapi nasional dan mensejahterakan peternak kita sendiri pastikah akan sangat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan peternak lokal kita.

Peternak lokal sebagai anak bangsa memang seharusnya disejahterakan. Photo: sp.beritasatu.com
Peternak lokal sebagai anak bangsa memang seharusnya disejahterakan. Photo: sp.beritasatu.com
Tidak mudah memang mengatasi kekurangan suplai daging sapi nasional yang kira-kira kekurangan 25% dari suplai daging sapi dalam negeri akibat permintaan yang semakin meningkat. Namun komoditas daging sapi tidak seperti beras yang sulit untuk mencari alternatif penggantinya. Program pemerintah untuk meningkatkan konsumsi protein hewani tentunya tidak hanya barasal daging sapi, masih ada ikan, ayam, telur, kambing, domba dll.

Banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan pemerintah untuk menindaklanjuti pengurangan quota impor sapi dari Australia ini. Biaya transportasi dan pungli di jalan sepanjang jarur pengangkutan sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta dan Jawa Barat merupakan salah satu hal yang diprioritaskan.

Banyak orang terperanjat ketika mendengar ucapan Menteri Pertanian kita yang mengatakan bahwa biaya tranportasi angkut sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta dan sekitarnya lebih mahal dari biaya angkut sapi dari Australia ke Jakarta. Kenyataannya memang demikian karena, pertama pengangkutan sapi dari Australia dilakukan secara masal dengan menggunakan kapal besar. Kedua di sepanjang perjalanan tidak ada pungli.

Dari hasil penelitian terkait rantai pasokan sapi hidup dan daging sapi ini ditemukan lebih dari 25 titik pungli di sepanjang jalur lintas propinsi ini. Jadi bisa dibayangkan jika sapi diangkut dengan truk dari Indonesia Timur Ke Jakarta dengan kapasitas angkut yang sangat sedikit per truknya ditambah dengan pungutan liar disepenjang perjalanan, maka akan membuat harga daging sapi lokal lebih mahal dari daging sapi import dari Australia. Jadi pemberantasan pungli dan transportasi massal sapi perlu diprioritaskan.

 

Pengangkutan sapi dengan cara seperti ini tidak efisien dan berkontribusi kepada mahalnya harga daging sapi lokal. Photo: www.solopos.com
Pengangkutan sapi dengan cara seperti ini tidak efisien dan berkontribusi kepada mahalnya harga daging sapi lokal. Photo: www.solopos.com
Bagi Australia berdagang sapi dengan Indonesia sangat nyaman, karena disamping impor sapi ke Indonesia menyerap hampir 50% produksi sapi di Australia untuk keperluan ekspor, hampir tidak ada timbal balik yang harus diberikan ke Indonesia dalam menyeimbangkan ketimbangan perdagangan antar kedua negara. Saat ini Indonesia mengimpor sapi, gandum dan kapas dari Australia dalam jumlah yang sangat besar, namun sangat sedikit sekali produk pertanian Indonesia yang dikespor ke Australia. Australia bahkan tidak mengimpor sama sekali produksi minyak sawit Indonesia.

Oleh sebab itu, ketika Australia mengambil langkah untuk melakukan upaya untuk “pengalihkan produksi sapi yang tidak lagi terserap Indonesia ke China menjadi pertanyaan besar apakah China memang benar-benar menginginkan menyerap produksi sapi dari Australia yang dikatakan oleh Menteri Pertanian Australia jumlahnya sangat fantastis yaitu berpotensi mencapai 1 juta ekor per tahunnya. Free Trade Agreement yang telah ditandatangani antara Australia dan China memang menungkinkan untuk melakukan kerjasaam tersebut, namun yang namanya free trade tentunya Australia juga harus menerima produksi pertanian China yang juga sangat massif.

Langkah menteri pertanian Australia yang segera mengumumkan hal ini untuk menunjukkan bahwa Australia dapat dengan mudah mengalihkan produksi sapinya lebih kepada “gertakan” kepada Indonesia  yang menurunkan quota impor sapinya dari Australia. Free trade Agreement antara China dan Australia mulai mengundang kontroversi di dalam negeri Australia karena dengan perjanjian tersebut banyak pihak yang menyebut bahwa tenaga kerja Australia akan kehilangan pekerjaanya karena dengan perjanjian ini memungkinkan China untuk membangun usaha dan pabrik di Australia dengan tenaga kerjanya sendiri.

Sekjen Persatuan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf yang mengatakan, langkah pemerintah tersebut justru tidak akan melindungi peternak local memang perlu diperhatikan, namun pemikiran matematis bahwa jika pengurangan impor sapi dari Australia dikurangi akan menguras sapi betina dalam negeri perlu kaji lebih lanjut.

Inti permasalahnnya adalah bagaimana memutus ketergantungan terhadap sapi impor Australia yang sudah sangat kronis ini. Kalaupun stok daging nasional memang masih kurang impor sapi dari Australia tidak harus sebesar itu bukan? Masih banyak negara lain yang dapat menjadi alternatif untuk menutupi kekurangan daging daging tersebut dalam jumlah yang terkendali. Salah satu alternatif yang dapat saja dilakukan adalah mengimport daging beku dalam jumlah yang sangat terbatas dari negara lain selain Australia seperti Amerika dan negara Amerika latin lainnya, seperti Brazil , Argentina serta New Zealand untuk menjaga suplai daging dalam negeri.

Ketergantungan terhadap impor sapi dari Australia yang sangat kronis ini terkait dengan status Indonesia yang terbebas dari penyakit mulut dan kuku, sehingga negara tempat Indonesia mengimpor sapi juga harus dari negara yang terbebas dari penyakit mulut dan kuku.
Kali ini mau tidak mau pemerintah harus secara tuntas membereskan pekerjaan rumah terkait dengan produksi daging dalam negeri dan importasi sapi ini, termasuk di dalamnya segera memodifikasi peraturan dan undang-undang yang membatasi wilayah impor sapi.

Pembuatan zonasi wilayah impor merupakan salah satu solusinya, dimana jika ada negara yang belum bebas dari penyakit mulut dan kuku tidak harus dilarang sebagai tempat untuk mengimpor sapi. Pastilah dapat kita pelajari dan perkirakan bahwa misalnya negara India yang merupakan salah satu produsen sapi dunia walaupun belum tercatat sebagai negara yang terbebas dari penyakit mulut dan kuku pasti ada di wilayah peternakan di negara tersebut yang terbebas dari penyakit tersebut. Sistim zonasi ini dan juga sistem karantina wilayah tempat penampungan sementara impor ini untuk dijadikan wilayah karantina akan menjadi sistem biosekuriti yang dapat dilakukan asalkan disertai dengan niat dan upaya yang serius.

Momentum pengurangan kuota impor sapi dari Australia ini merupkan momen tepat untuk membenahi sistem per sapi an di Indonesia. Sudah saatnya kita memulai upaya untuk tidak menggantungkan diri pada negera tertentu saja dalam mengimpor sapi ini. Sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian yang lebih pada peternak sapi local dan sudah saatnya juga pemerintah untuk memutus tradisi impor yang sudah sangat kronis ini. Kemandiran pangan merupakan harga diri bangsa, oleh sebab itu langkah nyata harus segera dilakukan, dalam kasus sapi ini retorika tidak diperlukan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun