Sekjen Persatuan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Rochadi Tawaf yang mengatakan, langkah pemerintah tersebut justru tidak akan melindungi peternak local memang perlu diperhatikan, namun pemikiran matematis bahwa jika pengurangan impor sapi dari Australia dikurangi akan menguras sapi betina dalam negeri perlu kaji lebih lanjut.
Inti permasalahnnya adalah bagaimana memutus ketergantungan terhadap sapi impor Australia yang sudah sangat kronis ini. Kalaupun stok daging nasional memang masih kurang impor sapi dari Australia tidak harus sebesar itu bukan? Masih banyak negara lain yang dapat menjadi alternatif untuk menutupi kekurangan daging daging tersebut dalam jumlah yang terkendali. Salah satu alternatif yang dapat saja dilakukan adalah mengimport daging beku dalam jumlah yang sangat terbatas dari negara lain selain Australia seperti Amerika dan negara Amerika latin lainnya, seperti Brazil , Argentina serta New Zealand untuk menjaga suplai daging dalam negeri.
Ketergantungan terhadap impor sapi dari Australia yang sangat kronis ini terkait dengan status Indonesia yang terbebas dari penyakit mulut dan kuku, sehingga negara tempat Indonesia mengimpor sapi juga harus dari negara yang terbebas dari penyakit mulut dan kuku.
Kali ini mau tidak mau pemerintah harus secara tuntas membereskan pekerjaan rumah terkait dengan produksi daging dalam negeri dan importasi sapi ini, termasuk di dalamnya segera memodifikasi peraturan dan undang-undang yang membatasi wilayah impor sapi.
Pembuatan zonasi wilayah impor merupakan salah satu solusinya, dimana jika ada negara yang belum bebas dari penyakit mulut dan kuku tidak harus dilarang sebagai tempat untuk mengimpor sapi. Pastilah dapat kita pelajari dan perkirakan bahwa misalnya negara India yang merupakan salah satu produsen sapi dunia walaupun belum tercatat sebagai negara yang terbebas dari penyakit mulut dan kuku pasti ada di wilayah peternakan di negara tersebut yang terbebas dari penyakit tersebut. Sistim zonasi ini dan juga sistem karantina wilayah tempat penampungan sementara impor ini untuk dijadikan wilayah karantina akan menjadi sistem biosekuriti yang dapat dilakukan asalkan disertai dengan niat dan upaya yang serius.
Momentum pengurangan kuota impor sapi dari Australia ini merupkan momen tepat untuk membenahi sistem per sapi an di Indonesia. Sudah saatnya kita memulai upaya untuk tidak menggantungkan diri pada negera tertentu saja dalam mengimpor sapi ini. Sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian yang lebih pada peternak sapi local dan sudah saatnya juga pemerintah untuk memutus tradisi impor yang sudah sangat kronis ini. Kemandiran pangan merupakan harga diri bangsa, oleh sebab itu langkah nyata harus segera dilakukan, dalam kasus sapi ini retorika tidak diperlukan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H