Mohon tunggu...
Ronny Rachman Noor
Ronny Rachman Noor Mohon Tunggu... Lainnya - Geneticist

Pemerhati Pendidikan dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Lonceng Kematian Penghuni Kebun Binatang

13 Oktober 2014   12:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:14 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_366064" align="aligncenter" width="624" caption="KOMPAS IMAGES/DHONI SETIAWAN ILUSTRASI - Pengunjung memberi makan unta di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan, Minggu (12/9/2010). Pada libur Lebaran ini, banyak warga Ibu Kota mendatangi lokasi wisata maupun tempat hiburan lainnya/Kompasiana"][/caption]

Sudah sering kita membaca dan mendengar berita tentang buruknya pengelolaan Kebun Binatang yang menyebabkan kematian koleksi satwanya. Kondisi ini diperburuk dengan menekankan manajemen pengeloaannya untuk mendapatkan penghasilan agar kebun binatang tersebut dapat bertahan. Walhasil satwa yang menghuni kebun binatang tersebut hanya dijadikan objek tontonan tanpa memperhatikan aspek askpek kesejahteraan satwa tersebut agar mereka dapat hidup dengan baik di lingkungan bukan aslinya.

Disamping itu para pengelola kebun binatang sering lupa bahwa salah satu fungsi utama kebun binatang adalah konvervasi, sehingga salah satu tolak ukur keberhasilan suatu kebun binatang adalah pengembangbiakan satwanya.

Berdasarkan hasil studi Ian Singleton seorang ahli satwa sebanyak 40 kebun binatang yang ada di Indonesia tidak memenuhi standar internasional. Buruknya pengeloaan kebun binatang seringkali

Mengapa mereka menderita ?

Perubahan habitat dan lingkungan merupakan salah satu penyebab utamanya.  Perbedaan yang sangat drastis  akan terjadi  jika satwa langka ditangkap dan dipindahkan ke lingkungan baru yang kondisinya tidak menyerupai  habitat aslinya.  Pada umumnya satwa liar hasil tangkapan mengalami stress yang luar biasa akibat penangkapan dan pemeliharaan yang kondisinya tidak sesuai dengan habitat aslinya. Jika satwa mengalami stress, maka fenomena perubahan ekstrim metabolisme di dalam tubuh satwa langka akan mulai terjadi.

Pada prinsipnya satwa langka memiliki apa yang dinamakan dengan zona homeostasis untuk setiap kondisi  fisiologi tubuhnya.  Jika terjadi perubahan lingkungan yang  drastis, maka satwa langka akan berusaha mengembalikan ke kondisi fisiologisnya ke kondisi yang mendekati zona homeostasisnya (zona ideal dimana hewan dapat tumbuh dan bereproduksi)  dengan cara mengalokasikan energi dan berbagai sumberdaya lain di dalam tubuhnya.  Sebagai akibat pengalihan energy dan resources lainnya ini satwa berakibat defisitnya energy dan resources untuk kebutuhan lainnya seperti untuk kebutuhan hidup pokok (basal / fasting metabolic rate) dan biasanya akan mengorbankan pertumbuhan dan perkembangan  tubuhnya .  Jika  stress ini tetap berlanjut maka satwa langka akan mengorbankan alokasi energy dan sumberdaya lainnya lebih banyak untuk mengatasi stress dan akan berakibat satwa langka tidak dapat bereproduksi dan pada tahap dimana satwa liar tidak dapat mengatasi stress yang lebih besar lagi, maka satwa langka akan mati.

Dewasa ini konsep konservasi melalui pemeliharaan satwa langka di Kebun Binatang sudah banyak diitinggalkan dalam ilmu konvervasi modern, terlebih pada system pengandangan, karena pembatasan ruang gerak akan memicu stress. Sebagai contoh Harimau Sumatera  di alam memiliki daya  jelajah yang cukup luas (puluhan dan bahkan ratusan hektar untuk setiap ekornya), paling tidak memerlukan tempat pemeliharaan yang cukup luas pula di tempat penampungan barunya.  Sering diberitakan di berbagai media bagaimana gajah Sumatera masuk kepemukiman akibat habitatnya terganggu oleh cepatnya alih fungsi hutan menjadi pemukiman penduduk.

Di kebun binatang satwa ini diperlihara dikandang yang sangat sempit dan terkadang kebutuhan nutrisinya tidak  dipenuhi dengan baik. Sering kali jika kita berkunjung ke Kebun Binatang, tampak hewan yang dikandangkan memperlihatkan tingkah laku yang aneh misalnya terus berlari kecil berputar putar di kandang, mengeluarkan suara gaduh yang tidak biasa, menggigit kandang, atau diam saja di pojok kandang.  Tingkah laku yang diperlihatkan ini merupakan pertanda nyata bahwa satwa tersebut dalam keadaan stress berat.   Bisa dipastikan satwa tersebut tidak akan dapat bereproduksi dan tinggal menunggu lonceng kematiannya bendentang.

Sebagaimana kita ketahui, perubahan iklim pada dua dasa warsa terakhir menuju  ke kondisi yang semakin ekstrim.  Konsep konservasi yang benar seharusnya  lebih banyak ditekankan pada mempersiapkan satwa langka tersebut dengan cara lebih banyak mengekspos satwa langka  pada fluktuasi perubahan iklim dan kondisi alam liarnya.  Sehingga ke depan satwa langka dapat secara perlahan lahan beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan iklim yang semakin buruk.  Konsep konservasi in situ seperti pemeliharaan satwa langka di suaka margasatwa dan taman konservasi dinilai yang paling tepat walaupun bagi umumnya Negara berkembang memerlukan biaya yang tinggi.   Konsep pemeliharaan satwa langka di Safari Park lebih baik dari konsep pemeliharaan di Kebun Binatang, karena penghuni di dalamnya mendapat sedikit keleluasaan untuk bergerak, sehingga tidak heran dalam kasus-kasus tertentu, satwa langka tersebut masih dapat berkembang biak dengan baik.

Secara prinsip manajemen Kebun Binatang perlu segera berbenah diri  jika tidak ingin berubah menjadi mesin kematian bagi satwa langka.  Ketidak mampuan dalam memelihara satwa langka harus segera dicarikan jalan keluarnya, misalnya dengan cara bekerjasama dengan pengelola safari Park atau taman suaka margasatwa baik di tingkat nasional maupun internasional.  Kebun Binatang yang memiliki fasilitas sangat terbatas sebaiknya hanya memelihara satwa yang telah didomestifikasi saja, sedangkan satwa liar yang langka sebaiknya dikembangkan dan dipelihara di habitat aslinya dengan system konservasi  in situ.

Indonesia sebagai salah satu negara mega diversity tentunya sangat berkepentingan untuk menerima hasil study ini melalui pembenahan manajemen dan fasilitas kebun binatang. Jangan sampai ketidak perdulian akan nasib satwa liar dalam penangkaran ini akan memperburuk citra Indonesia di panggung internasional dalam melakukan konservasi satwa liarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun