[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="photo: http://majalahselangkah.com/"][/caption]
Ditengah-tengah ramai dibincangkannya penolakan Presiden Jokowi terhadap permintaan grasi 2 terpidana mati kasus Bali Nine warga Australia, yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, munculkan pernyataan yang cukup membuat dahi ini berkerut.
Pernyataan itu muncul dari Andreas Harsono dari Human Right Watch tadi malam.Dia menyatakan : “Pendirian teguh Presiden Jokowi dalam hal hukuman mati merupakan berita buruk tidak hanya bagi para narapidana yang sedang menunggu hukuman mati, akan tetapi juga menunjukkan bahwa Jokowi mengabaikan human right” (sumber : The Australian)
“Hal ini menunjukkan ketidak mengertian Jokowi tentang human right dan lebih mengambil posisi untuk mencari popularitas”
Sebagai pendekar human right mestinya Andreas Harsono seimbang dalam menempatkan posisinya, termasuk mengubah sedikit sudut pandang pikirannya bahwa kematian akibat korban narkoba akibat ulah bandar narkoba juga merupakan suatu bentukextra ordinary crime terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan telah melanggar human right.
Menyebutkan Presiden Jokowi mencari popuaritas melalui kasus ini juga kurang tepat, sebab Presiden Jokowi memiliki alasan yang sangat kuat bahwa Indonesia sekarang sedang dalam zona merah narkoba dengan korban meninggal perhari 40-50. Sebagai kepala negara presiden wajib melindungi warganya.
Pernahkan terbayang oleh Andreas Harsono, bahwa heroin yang diselundupkan sebanyak 8,2 kg itu dapat membunuh berapa ratus orang?Taruhlan penyelundupan itu terjadi dari Denpasar ke Sydney, tetap saja barang haram itu akan membawa korban.Walaupun korbannya bukan orang Indonesia, apakah mereka tersebut bukan orang? Bukankah human right itu bersifat universal?
Kalau kedua gembong narkoba ini tidak diperhatikan hak-hak hukumnya dari proses ditahan sampai diputuskan untuk mendapat hukuman mati, mungkin masih dapat dikatakan ini menyangkut pelanggaran human right keduanya.Sebaliknya kalau semua hak hukum tersangka sudah dipenuhi, ini bukan lagi menyangkut hak azasi manusia.
Langkah yang diambil oleh Todung Mulya Lubis yang dikenal sebagai aktivis human right sekaligus sebagai pembela kedua terpidana mati ini agak berbeda.Pengacara ini lebih mengambil langkah peninjauan kembali (judicial review) yang kedua sebagai upaya untuk menghidari hukuman mati.Cara in tentunya sah sah saja sebagai upaya untuk memenuhi human right kedua terpidana mati tersebut.
Negara yang menjunjung tinggi human right seperti Amerika pun masih menerapkan hukuman mati sebagai capital punishment untuk memutus extra ordinary crime.Sampai minggu lalupun Amerika masih menghukum mati pelaku pemerkosaan dan pembuhuhan terhadap seorang gadis berumur 11 tahun.
Pendekar human right itu mestinya memiliki pola pikir universal dan memiliki sudut pandangan yang berimbang antara pelaku extra ordinary crime dan korbannya.Tanpa itu semuapembelaan yang atas dasar human right akankehilangan makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H