Mohon tunggu...
Rijalul Fikri
Rijalul Fikri Mohon Tunggu... Freelancer - Penata dan Perencana Program, Pemerhati Tata Kelola Negara dan Organisasi Profesional serta Produser Musik

berusaha mengurai masalah dengan "cara" untuk Bangsa dan Negara, Penata dan Perencana Program, Pemerhati Tata Kelola Negara, Facebook: Abu Maghfirah, Twitter: rfikri11, Instagram: rfikri

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Legenda Kemiskinan

21 Juni 2018   13:57 Diperbarui: 21 Juni 2018   14:12 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan di Indonesia telah menjadi sebuah legenda...

Deskripsi kemiskinan di Indonesia memiliki sifat "berbanding-terbalik" dengan keberlimpahan sumber daya geografis negeri ini, berbagai rekam data observasi tentang kimiskinan hingga saat ini tidak memiliki determinisme yang spesifik mampu menekan angka-angka tersebut menjadi sama dengan nol (hilangnya kemiskinan di Indonesia). Kemiskinan di Indonesia telah menjadi sebuah legenda.

Legenda kemiskinan dimulai pada sebuah desain kebijakan yang memiskinkan, sebuah ketidak-optimalan program pemerataan kesejahteraan yang selalu tidak memenuhi target capaian, sehingga selalu saja menjadi tumpukan defisit. Kebijakan seakan tidak lagi menjadi pemecah-masalah dan solusi problematika manusia, melainkan menyebabkan turun dan naiknya angka-angka kemiskinan setiap tahunnya.

Kemiskinan di Indonesia menjadi begitu inskrementalis, menjadi warisan temurun dengan modifikasi yang dilakukan sepotong demi sepotong, hal tersebut pernah menjadi kritik Charles E. Lobdblom tentang desain sebuah kebijakan yang tidak pernah melakukan evaluasi tahunannya, ketidak-optimalan program pemerataan kesejahteraan, berdampak pada ditetapkannya berbagai program untuk meneruskan kebijakan-kebijakan terdahulu, yang berakhir pada konfik dan kompleksitas dalam usaha menghilangkan kemiskinan.

Konflik dan Kompleksitas tersebut perlu di-urai dengan baik, merujuk pada tingkat diferensiasi struktur sosial yang ada, dan kemiskinan menjadi mudah diselesaikan jika berfokus pada mahalnya biaya pendidikan yang berdampak pada akses masyarakat menuju Perguruan Tinggi, dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Dua hal tersebut adalah indikator-ukur sebagai solusi pengentasan kemiskinan, sehingga kebutuhan-kebutuhan minimum untuk  bertahan hidup pasti dapat terpenuhi dan rakyat menjadi sejahtera.

Sebuah Intervensi untuk Kemiskinan yang Melegenda

Kebijakan pengentasan kemiskinan menjadi rasional, dengan tercapainya capaian secara efisien melalui sebuah inovasi yang terintegrasi di dalam satu kebijakan yang rasional...

Menuju pencapaian kesejahteraan sosial dan ekonomi dimulai dengan menekan "mahalnya" biaya pendidikan, yang berdampak pada akses masyarakat menuju Perguruan Tinggi, karena ketika "gagal" menciptakan akses tersebut akan melahirkan masalah krusial seperti pengangguran, kriminalitas, dan welfare dependency, menjadi beban sosial politik bagi pemerintah tentunya, ketika pendidikan didorong sebagai penggerak utama dinamika perkembangan ekonomi, akan ikut mendorong proses transformasi struktural organisasi berjangka panjang dan berkelanjutan. 

Peningkatan angka kelulusan di level perguruan tinggi (PT) akan menciptakan "confident" di dalam menciptakan lapangan pekerjaan, lulusan PT akan memiliki peningkatan kapasitas dalam mengembangkan human capabillity, sebagai satu modal dasar dalam pembangunan dengan cara "menciptakan lapangan kerja" tanpa perlu menciptakan lapangan pekerjaan.

Ya, para lulusan perguruan tinggi memiliki pola dan strategi yang sangat mementingkan human capital (modal manusia) di dalam pembangunan ekonomi berbangsa, pemerataan akses menuju perguruan tinggi akan melengkapi "rantai-nilai" yang hilang dalam kaitannya dengan penuntasan kemiskinan, yaitu ketika investasi di bidang human capital berkorelasi pada inisiasi terhadap berbagai isu peningkatan keterampilan, infrastruktur yang diperlukan, natural capital, rasionalisasi kebijakan pendidikan, serta pengembangan ilmu pengetahuan melalui pendidikan.

Pendidikan Tinggi akan memberikan bekal pegetahuan dan keterampilan, menuju konsidi ideal dalam menciptakan pilihan yang tidak hanya untuk mencari pekerjaan, namun lebih jauh adalah menciptakan pekerjaan, dengan demikian setiap manusia akan menjadi lebih produktif dalam meningkatkan pendapatan. 

Kebijakan pengentasan kemiskinan menjadi rasional, dengan tercapainya capaian secara efisien melalui sebuah inovasi yang terintegrasi di dalam satu kebijakan rasional, untuk memaksimalkan pencapaian yang lebih objektif, komprehensivitas informasi sebuah kebijakan dapat diperbaharui untuk memutus mata-rantai program kemiskinan yang sudah tidak up to date.

Dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, sehingga akan menghilangkan eksklusi sosial, meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam perspektif tersebut, Negara telah menempatkan fungsi kekuasaan dengan sangat baik, dengan cara berkewajiban untuk menyediakan layanan pendidikan tinggi . 

Selain itu, satu kebijakan penting lainnya adalah penyertaan modal pemerintah di dalam usaha kerakyatan. Pembangunan ekonomi tidak hanya berlangsung dengan baik ketika hanya berfokus pada human investment di sektor pendidikan saja, namun memerlukan penyertaan modal kerja (working capital) dari pemerintah. Hanya dengan intervensi pemerintah "resiko" dan "profitabilitas" akan dihasilkan dengan baik.

Pemerintah memiliki model monitoring dan evaluasi dengan sangat baik, dan tentunya memiliki modal yang tidak terbatas, jika pemerintah memiliki kebijakan "intervensi" dalam menyertakan modal di dalam usaha kerakyatan, tentunya paling ideal difungsikan untuk mempercepat waktu produksi, artinya jangka waktu atau lamanya memproduksi suatu barang pada perusahaan pemula. 

Semakin lama waktu yang digunakan untuk memproduksi suatu barang, akan memperbesar modal kerja yang dibutuhkan, begitu pula sebaliknya, yang memengaruhi tingkat perputaran persediaan terhadap modal kerja bagi perusahaan pemula (start-up), jika tidak dilakukan, maka akan semakin banyak pengusaha kecil-menengah memiliki perputaran waktu produksi yang sangat kecil, dan semakin rendah pula tingkat perputaran produksinya, sehingga tentu saja berimplikasi pada kebutuhan modal kerja yang semakin tinggi.

Begitu pula sebaliknya, dengan demikian sangat brilian jika pemerintah ikut serta dalam menyertakan modal, dan ikut mengevaluasi resiko dan profitabilitas pada enam faktor, yaitu; (1) ukuran bisnis, (2) pertumbuhan dan ekspansi, (3) siklus produksi, (4) fluktuasi bisnis, (5) kebijakan produksi, serta 6) kebijakan kredit yang terkait.

Intervensi khusus pemerintah dalam pengentasan kemiskinan akan menjadi objektif ketika berpengang pada dua indikator utama:

Pertama, merasiolisasi faktor kesejahteraan di dalam satu kebijakan intervensi terhadap kemiskinan, dengan sebuah hipotesa bahwa setiap manusia memiliki hak atas pendidikan hingga jenjang pendidikan tinggi, serta memberikan pendampingan untuk mencapai akses modal usaha dari pemerintah, dengan demikian maka kesejahteraan akan terpenuhi dan angka kemiskinan akan turun mendekati nol.

Kedua, ketika pendidikan dan akses modal telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari sebuah formula kebijakan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan, maka dibutuhkan pendampingan khusus dalam bentuk monitoring dan evaluasi berkelanjutan, atas sebuah kegagalan implementasi profit terhadap pengusaha pemula, dengan memberikan inovasi dan dukungan dalam hal pemanfaatan teknologi dengan lebih maksimal.

Kedua indikator tersebut, secara otomatis akan memberikan pengaruh besar di dalam tata-kelolalnya, pada tatanan horisontal, vertikal dan spasial. 

Pada Level horisontal, pemisahan hirarki oganisasi di antara unit kerja pemerintah berdasarkan orientasi kerja aparatur, sifat dari pelaksanaan tugas pelayanan yang dilaksanakan, serta tingkat pendidikan dan pelatihan yang ada memiliki fungsi output yang sama, yaitu mensejahterakan rakyat, dengan berintegrasinya kedua indikator di atas tentunya akan mempengaruhi pola kerja dan pelayanan pemerintah.

Jika dilihat dari sisi Vertikal, merujuk pada kedalaman hierarki organisasi pusat dan daerah, kemiskinan menjadi sebuah kompleksitas ketika dalam tata-kelolanya menghadapi berbagai lintasan birokrasi organisasi yang cukup tinggi, semakin banyak tingkatan birokrasi, maka semakin besar pula potensi terjadinya distorsi dalam komunikasi, sehingga akan mengalami kesulitan dalam mengkoordinasi pengambilan keputusan di level aparatur. 

Di tatanan Spasial, dengan mempertimbangkan jarak kemiskinan dari lokasi institusi yang bertanggung jawab secara geografis, dapat disimpulkan bahwa, meningkatnya penyelesaian masalah dari adanya intervensi dari kedua indikator tersebut, akan meningkatkan produktivitas di dalam seluruh elemen organisasi pemerintah untuk mengimplementasi program kesejahteraan rakyat.

Dengan demikian, kesejahteraan tidak lagi menjadi sebuah kemustahilan, dan Indonesia akan bertransformasi menjadi Negara yang berketahanan, dan rakyat secara utuh akan berkontribusi penuh dalam mengatasi setiap ancaman, tantangan dan hambatan demi tercapainya tujuan nasional yang kita cita-citakan bersama. semoga...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun