Pada sebagian orang menikah menjadi salah satu hal yang sangat di impikan, bahkan tidak sedikit orang-orang yang ingin menikah muda. Orang-orang yang ingin menikah muda kebanyakan berfikir kehidupan setelah menikah akan indah, apalagi dengan pasangan yang dicintai mungkin akan sangat membahagiakan.
Namun, pada kenyataannya menikah tidaklah semudah yang dibayangkan. Banyak hal yang harus difikirkan, dari mulai persiapan pernikahan, kehidupan setelah menikah dan pastinya banyak hal lagi diluar pemikiran yang tidak sempat difikirkan ketika membayangkan pernikahan.
Banyak sekali resiko-resiko yang harus ditanggung ketika memilih atau memutuskan untuk menikah, apalagi menikah muda. Resiko-resiko tersebut akan saya paparkan, sebagai berikut :
Yang pertama ketika kita memutuskan untuk menikah, maka yang harus kita siapkan adalah kesiapan kita untuk membangun suatu rumah tangga dan memulai kehidupan yang baru dengan seseorang. Bersedia bertanggung jawab dengan kehidupan pasangan setiap harinya, menghabiskan sisa hidup bersama-sama.
Kemudian ketika kita memutuskan untuk menikah muda, diumur yang masih muda tentunya kita akan kehilangan masa muda, masa-masa dengan teman-teman. Dengan menikah kita akan sibuk menghabiskan waktu dengan pasangan, bukan seperti anak-anak muda kebanyakan yang masih senang bermain, nongkrong dan lain sebagainya.
Kebanyakan yang memutuskan untuk menikah diusia muda belum dewasa, masih ada bimbang, labil dan sebagainya. Biasanya jika menikah diusia yang belum matang akan beresiko tinggi pada terjadinya perceraian. Disinilah tingkat kematangan emosi perlu disesuaikan dengan keadaan apalagi kehidupan setelah menikah akan jauh berbeda dengan pada saat pacaran.
Tetapi pada kenyataannya umur bukan penentu kedewasaan seseorang. Tingkat kedewasaan seseorang bagaimana seseorang itu meniatkan dirinya untuk bisa berfikir dewasa. Intinya kedewasaan seseorang bisa dibangun oleh dirinya sendiri.
 Julianto (2014) menyatakan berdasarkan kajian bidang kesehatan, rentang usia perkawinan paling aman bagi seorang wanita adalah  20-35 tahun. Pada usia itu, seorang perempuan masuk dalam kategori usia dewasa muda. "Pernikahan wanita di bawah usia 20 tahun memiliki resiko tinggi akan kematian,".
Â
Julianto (2014) Adapun risiko kehamilan remaja lebih tinggi dibandingkan kehamilan pada usia reproduksi sehat (20-35 tahun), antara lain terjadi tiga sampai tujuh kali kematian dalam kehamilan dan persalinan terutama akibat pendarahan dan infeksi. Selain itu, satu sampai dua dari empat kehamilan remaja mengalami depresi pasca persalinan.
Â
Julianto (2014) menyatakan wanita di bawah 20 tahun memiliki resiko tinggi untuk penyakit dan kematian ketika menjalankan fungsi reproduksi. Memasuki usia 20 tahun secara medik (fisik, biologis, endokrinologi serta psikologis, dan emosional), peremuan memiliki kematangan menjalankan hak reproduksinya secara aman terutama dalam menghasilkan generasi bangsa Indonesia yang berkualitas.
Kartono Mohamad (2014) mengatakan kehamilan dan kelahiran merupakan penyebab utama kematian remaja usia 15-19 tahun secara global. Bahkan, kehamilan pada usia remaja meningkatkan resiko kematian bagi ibu dan janinnya di negara berkembang.
Â
Kartono Mohamad (2014) Bayi yang dilahirkan oleh ibu di bawah usia 20 tahun mempunyai risiko 50 persen lebih tinggi untuk meninggal saat lahir. "Selain itu, bayi yang dilahirkan ibu remaja cenderung lahir dengan berat badan rendah dan resiko kesehatan lainnya yang dapat berdampak jangka panjang," .
Â
Kartono Mohamad (2014) Kehamilan remaja juga berdampak buruk bagi ekonomi dan sosial remaja tersebut, keluarga, dan masyarakat. "Remaja yang hamil biasanya putus sekolahnya. Dengan pendidikan rendah dan keterampilan kurang juga sulit mendapatkan pekerjaan sehingga secara nasional juga mengurangi produktivitas negara,".
Dampak psikologis terhadap remaja akibat menikah mudah ialah terputusnya pendidikan, kemiskinan berkelanjutan, kehilangan kesempatan bekerja, tercabut dari keluarga sebelum siap, mudah bercerai, anak kurang cukup perhatian, mengalami keterlambatan perkembangan, dan penyimpangan perilaku.
Â
Saparinah (2014)Â anggota Dewan Pembina Yayasan Kesehatan Perempuan Indonesia meyakini konstitusi tidak menentukan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi UU Perkawinan justru membuat batasan yang justru merugikan bagi perempuan."Karena itu, tingginya angka kematian ibu di Indonesia dan tertinggi di Asia (akibat nikah muda) berarti menghilangkan hak kesehatan perempuan," ujar Guru Besar Emeritus Fakultas Psikologi UI.
Â
Saparinah (2014) Mengizinkan perempuan menikah pada usia 16 tahun berarti negara melegalkan usia perkawinan bagi anak perempuan sebelum dewasa. Dia lebih setuju jika perempuan adalah 18 tahun atau usia dewasa. "Menentukan usia perkawinan perempuan menjadi 18 tahun juga sebagai upaya menjamin hak konstitusional perempuan," tegasnya.