Mohon tunggu...
V Quiserto
V Quiserto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mengelola Blog Keuangan: http://www.duwitmu.com\r\n\r\n"Writing and sharing is my stress-relieve". Saya seorang ex-banker yang hobby menulis soal keuangan keluarga.\r\n\r\nDosen Manajemen Risiko, MM Atmajaya

Selanjutnya

Tutup

Money

Analisa Pembatasan LTV KPR terhadap Stabilitas Sistem Keuangan

9 November 2014   06:37 Diperbarui: 6 September 2015   00:04 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dan  memperkuat sistem perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan peraturan untuk  meningkatkan manajemen risiko bank dalam penyaluran kredit pemilikan rumah. , yaitu mengatur pembatasan jumlah Loan to Value (LTV) untuk KPR  di atas 70 m2.

Apakah kebijakan ini efektif dalam menjaga stabilitas sistem keuangan? Apakah ada risiko lain yang justru muncul akibat kebijakan pembatasan LTV KPR ini?

Kebijakan Pembatasan LTV

LTV pada dasarnya adalah porsi kredit dari sebuah pembelian rumah. Misalnya, harga rumah adalah Rp 100 juta, maka dengan LTV 70%, jumlah maksimum kredit yang bisa diberikan banka adalah Rp 70 juta.

Bank Indonesia melakukan sejumlah kebijakan membatasi nilai LTV tersebut sbb:

Pertama, Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan pembatasan LTV yang tidak hanya mengatur rumah tinggal dan rumah susun, namun juga mengatur kredit pada rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan) berlaku sejak 30 September 2013.

Peratuan ini memperluas peraturan LTV sebelumnya yang tidak hanya mengatur rumah tinggal dan rumah susun, namun juga mengatur kredit pada rumah  toko dan rumah kantor. Selain itu, terdapat aturan progresif berdasarkan luas bangunan.

Dapat dilihat bahwa dengan pembatasan LTV ini, nasabah yang mengambil kredit harus menyetor uang muka lebih besar dan porsi kredit dalam sebuah pembelian rumah menjadi lebih kecil. Sebelum pembatasan LTV ini, tidak ada aturan dari Bank Indonesia mengenai maksimum LTV dalam kredit rumah, sehingga bank bisa lebih tinggi menyalurkan porsi kredit.

 

Tabel Ketentuan Pembatasan LTV

 

sumber: Bank Indonesia

 

Kedua, kebijakan LTV  juga mengatur LTV yang lebih rendah untuk fasilitas kredit/pembiayaan kedua, ketiga dan seterusnya. Ini artinya untuk kredit rumah kedua dan seterusnya nasabah harus menyetor uang muka lebih mahal daripada kredit rumah pertama.

Hal ini dimaksudkan untuk lebih memberikan kesempatan kepada masyarakat yang memerlukan rumah untuk pertama kalinya dengan persyaratan yang lebih ringan dibandingkan pihak-pihak yang mengajukan fasilitas kredit/pembiayaan kedua dan seterusnya.

Ketiga, KPR/KPRS kedua dan seterusnya tidak diperkenankan untuk digunakan membiayai pembelian properti yang belum tersedia secara utuh (inden). ini juga dimaksudkan untuk lebih meningkatkan faktor perlindungan konsumen dengan mengatur  pembelian properti secara inden.

Ketentuan ini akan menghindari pemanfaatan kredit perbankan untuk membeli properti inden lebih dari satu unit oleh pihak-pihak tertentu. Sementara itu, pembelian properti dengan KPR/KPRS pertama masih dimungkinkan dilakukan secara inden dengan beberapa pengaturan terkait hubungan bank dengan pengembang.

Tujuan Pembatasan

Ada sejumlah tujuan dari pembatasan LTV di kredit properti ini sbb (sumber berita):

Pertama, menjaga stabilitas sistem keuangan terutama di kredit properti karena tren kenaikkan pemintaan properti dan kenaikan harga properti yang sudah sangat tinggi merupakan salah satu risiko yang perlu dicermati. Dikhawatirkan naiknya harga dan permintaan properti yang tajam berpotensi memicu instabilitas keuangan apabila terjadi gagal bayar oleh nasabah pada saat harga rumah jatuh.

Harapan  harga properti yang terus meningkat mendorong konsumen bersedia membeli properti berapa pun mahalnya harga yang ditawarkan, dengan keyakinan harga akan tetap naik di masa yang akan datang. Sementara, tanpa pengaturan, bank akan cenderung bersedia memberikan kredit beragun aset properti dengan tingkat LTV yang tinggi. Hal ini didasarkan pada ekspektasi harga properti yang akan naik dan bisa menutup expected cash inflow bila debitur gagal memenuhi kewajibannya.

Perkembangan tersebut dikhawatirkan akan mendorong harga rumah menjadi semakin mahal dan sulit terjangkau oleh masyarakat berpendapatan rendah. Tingginya harga rumah juga dapat mendorong peningkatan nilai KPR melalui pembiayaan perbankan. Hal ini berpotensi memicu instabilitas di perbankan apabila harga rumah jatuh.

Bukti tajamnya trend kenaikkan harga properti ditunjukkan oleh pertumbuhan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR), yaitu sebesar 11,2% (yoy) pada triwulan I 2013 dan selanjutnya 13,51% (yoy) serta 14,64% (yoy) masing-masing pada Triwulan II dan Triwulan III 2013. Bila dilihat lebih detil lagi per kota, maka di beberapa lokasi, kenaikan harga properti residensial bahkan lebih tinggi. Pada triwulan I 2013, kenaikan IHPR sudah melampaui pertumbuhan PDB per kapita penduduk Indonesia.

Kedua, ketentuan Bank Indonesia yang memberikan hambatan kepada penggunaan fasilitas KPR untuk rumah tipe besar dan pihak-pihak yang memiliki fasilitas KPR lebih dari satu.  BI mewajibkan kepada nasabah yang akan kredit untuk rumah tipe besar dan rumah kedua dst-nya harus menyetor uang muka lebih besar karena adanya pembatasan LTV yang lebih ketat.

Hal ini dimaksudkan agar pengembang lebih banyak membangun rumah tipe kecil dan menengah bagi penyediaan perumahan masyarakat luas sehingga dapat mengurangi back log perumahan. Sementara itu, pihak-pihak yang merupakan pasar bagi rumah tipe besar dianggap cukup memiliki kemampuan untuk tetap memperoleh hunian yang dibutuhkan dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.

Dari data Bank Indonesia, porsi pembiayaan bank untuk KPR kedua, ketiga dan seterusnya masih di bawah 20% dari total KPR, sehingga masih sangat terbuka kesempatan bagi bank untuk tetap tumbuh dengan membiayai sektor perumahan. Demikian juga peluang bagi pelaku usaha di bidang properti masih sangat terbuka karena kebutuhan hunian bagi masyarakat masih sangat besar, terutama kesempatan untuk membangun rumah tipe kecil dan menengah yang terjangkau oleh masyarakat kebanyakan.

Dengan adanya penyempurnaan ketentuan LTV pada tahun 2013, risiko kredit diharapkan lebih terjaga, sehingga sektor properti tumbuh secara berkelanjutan. Selain itu, masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh rumah layak huni. Dalam rangka meningkatkan aspek perlindungan konsumen di sektor properti, ketentuan ini juga mengatur pembayaran cicilan sesuai dengan perkembangan pembangunan rumah atau apartemen yang dibiayai. Dengan hal itu, maka risiko terjadinya wanprestasi oleh pihak pengembang yang akan merugikan konsumen dapat diminimalkan.

Efektivitas Kebijakan Ini

Kebijakan pembatasan LTV ini tampaknya cukup berhasil, yaitu (1) mengerem laju kenaikkan harga properti dan (2) memperlambat laju pertumbuhan kredit properti.

Data per Juni 2014, berdasarkan survei properti residensial Bank Indonesia, menunjukkan bahwa indeks harga properti residensial mengalami peningkatan yang lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Laju kenaikkan harga yang lebih lamban ini terjadi cukup konsisten dari periode ke periode.

Grafik dibawah ini menujukkan laju kenaikkan harga properti perumahan year on year. Trendnya menurun tajam di kuartal ke III dan IV di saat kebijakan pembatasan LTV mulai diimplementasikan. Trend masih berlanjut sampai sekarang.

 

Grafik Perkembangan Indeks Harga Properti Residensial

 

14154640391518862478
14154640391518862478
sumber: Bank Indonesia

Implementasi ketentuan LTV berhasil memperlambat laju pertumbuhan kredit properti. Sejak kebijkan ini dluncurkan di tahun 2013, pertumbuhan kredit flat atau tetap di 2014. Ini berbeda sekali trend dibandingkan tahun – tahun sebelumnya dimana pertumbuhan kredit properti sangat tinggi.

Kondisi ini bisa dilihat dalam grafik dibawah ini yang menunjukkan nilai KPR dan KPA setiap tahun dibandingkan total kredit.

Grafik Perkembangan KPR dan KPA

1415464069547665049
1415464069547665049
sumber: Bank Indonesia

Hal Perlu Diwaspadai: Kredit Rumah Bekas

Meskipun cukup berhasil meredam bubble harga properti dan kredit properti, pembatasan LTV ini bukannya tanpa risiko. Ada risiko, yang jika tidak dikelola dengan baik justru bisa membahayakan stabilitas sistem keuangan.

Kebijakan ini paling memukul di kredit rumah baru, terutama segmen nasabah yang membeli rumah untuk investasi dan spekulasi. Meskipun jumlahnya mereka tidak banyak, tetapi kelompok ini yang memiliki daya beli paling besar dan menjadi penggerak harga pasar.

Akibat dari sini, kemungkinan adalah peningkatan penjualan di sektor rumah bekas. Nasabah beralih melakukan transaksi di rumah bekas.

Pertanyaannya, apakah risiko peningkatan porsi kredit rumah bekas?

Jual beli di rumah bekas memiliki profil risiko yang tidak kecil bagi bank. Banyak risiko kredit dan risiko fraud terjadi di transaksi rumah bekas yang perlu diwaspadai. Berikut ini beberapa catatan mengenai kredit di rumah bekas sbb:

Pertama, kemungkinan transaksi fiktif lebih tinggi di pembelian rumah bekas karena transaksi lebih banyak melibatkan individual. Ini berbeda dengan pembelian di rumah baru, dimana transaksi dilakukan dengan developer yang background dan reputasinya cukup percaya, dan bisa dilakukan pengecekan secara lebih mudah.

Sementara di jual beli rumah bekas, siapa saja bisa melakukannya, termasuk lebih banyak penjual individual yang terlibat. Pengecekan penjual individual lebih sulit dilakukan. Oleh karena itu manipulasi transaksi bisa lebih mudah terjadi.

Kedua, manipulasi penilaian jaminan di rumah bekas yang berujung pada nilai jaminan yang di mark-up sehingga tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak ada standard harga rumah bekas di Indonesia, sehingga valuasi atas pengajuan kredit rumah bekas harus dilakukan dengan penilaian jaminan secara langsung.

Problemnya, penilaian jaminan adalah gabungan art & science, sesuatu yang unsur subjektif cukup besar.  Karenanya unsur manipulasi menjadi lebih mudah terjadi.

Ketika terjadi manipulasi, bank memberikan kredit yang lebih tinggi dari nilai sesungguhnya, yang saat nanti nasabah menunggak, banka akan kesulitan menjual jaminan di harga yang pantas untuk menutupi risiko kredit.

Soal valuasi ini sedikit berbeda dengan di rumah baru. Di rumah baru, harga rumah sudah standard. Sudah ada price list harga yang dikeluarkan oleh developer yang menjadi patokan bank ketika memberikan kredit.

Dan, ini yang penting, bank melakukan seleksi terhadap developer, sehingga jika dikemudian hari bank tahu bahwa developer menetapkan harga rumah yang over valued dari nilai rumah tersebut, bank bisa tidak lagi bekerjasama dengan developer tersebut. Mekanisme ini membuat standard harga di rumah baru bisa lebih diandalkan dibandingkan rumah bekas.

Dengan risiko – risiko tersebut, dalam prakteknya, bank menerapkan aturan kredit yang lebih ketat dan bunga yang lebih tinggi untuk kredit rumah bekas dibandingkan rumah baru. Bunga adalah premi risiko. Jadi, kalau bunga lebih tinggi itu cerminan tingkat risiko yang lebih besar yang dihadapi oleh bank selama ini.

Risiko – risiko kredit rumah bekas terefleksi dari tingkat NPL yang lebih tinggi di rumah bekas dibandingkan rumah baru. BI tentu saja bisa melihat data – data ini bank untuk memastikan hal tersebut. Namun, bunga kredit rumah bekas yang lebih tinggi dari rumah baru sudah menjadi indikasi kuat bahwa kinerja rumah bekas tidak sebaik rumah baru.

Kesimpulan

Niat BI mengelola risiko bubble aset properti dengan mengendalikan penjualan rumah baru perlu kita appresiasi. Ini bagian dari tugas utama BI menjaga stabilisasi sistem keuangan. Namun, BI perlu juga perlu waspada, bahwa ada risiko lain yang mengintip, yang juga bisa mengancam kesehatan bank, yaitu peningkatan risiko dari peningkatan kredit ke rumah bekas. Jangan sampai ini terlewatkan oleh BI.

Sumber Tulisan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun