Mohon tunggu...
Rikson Tampubolon
Rikson Tampubolon Mohon Tunggu... -

sedang berlatih bersahaja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Jokowi dan Ujian Demokrasi

17 September 2012   17:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:20 994
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jokowi (Joko Widodo), siapa yang tidak mengenal namanya belakangan ini? Namanya menjalar, merambat dan menggema ke pelosok penjuru negeri. Dia adalah sosok pemimpin kepala daerah yang cukup bersahaja dan dekat dengan masyarakatnya. Dia memimpin daerahnya sampai ke gang-gang sempit hingga ke pasar yang dulu dianggap kumuh akibat tangan dinginnya dia menyulap menjadi pasar tradisional yang modern aman dan bersih. Sungguh sesuatu yang jarang dilakukan pemimpin kita belakangan ini.

Kota Surakarta alias Solo, dimana Jokowi memimpin sebagai wali kota, pun semakin maju dan menjadi kota internasional karena kreatifitas Jokowi. Beliau mem”branding” kota Solo sebagaiSpirit of Javayang menjadikan kota Solo salah satu kota budaya dan pusat MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition)yang sukses. Segala gerak pembangunan kota ini pun dilakukan dengan penuh kreatifitas dan terobosan demi mensejahterakan rakyat.

Fenomena Jokowi yang kerap menjadi bahan pembicaraan membuat banyak partai politik yang meliriknya. Sampai dia harus digadang-gadang untuk maju menjadi pemimpin Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Dan bahkan dia diramalkan akan mengisi aja pemimpin baru pada pemilihan umum 2014 yang akan datang. Wajar saja, ketika Jokowi lebih dikenal karena prestasinya membawa Kota Solo menjadi kota idaman sekaligus panutan bagi kota-kota yanga ada di Indonesia bahkan dunia.

Solo telah ditetapkan sebagai nominasi kota terbaik diseluruh dunia. Dan bukan hanya Solo, Jokowi yang menjabat sebagai Walikota Solo juga mendapat perhatian dunia saat dia di daulatkan menjadi calon walikota terbaik di dunia. Sungguh fenomena yang cukup jarang di bumi pertiwi kita, Indonesia. Pencapaian ini perlu di apresiasi sebagai bukti masih ada juga peimpin yang punya visi dan cenderung ‘bersih’ dari tindak pidana korupsi.

Jakarta sebagai ibukota negara dan sebagai etalase negara. Jakarta selayaknya mempertontonkan keindahan dan kenyamanan bagi para pengunjungnya. Tetapi yang terjadi Jakarta justru menjadi kota yang paling dibenci oleh para turis asing dan domestic serta pencari kerja ditengah tuntutan “mencari hidup”. Kesemberawutan lalu lintas (macet), gelandangan, rumah-rumah kumuh, jalanan yang rusak dan amburadul, banjir dan kriminalitas yang tinggi adalah pemandangan Jakarta sehari-hari. Hampir tak ada perubahan kearah yang membaik selama 5 tahun terakhir. Hampir saja Jakarta dikatakan sebagai kota gagal mengingatnya kompleksitas permasalahan yang membelitnya.

Jokowi datang ke Jakarta dengan membawa konsep “Jakarta Baru”. Berbekal dengan sentuhan kreatifitas yang tidak biasa, Jokowi hadir dengan kemeja kotak-kotaknya. Tidak bisa dipungkiri, konstelasi Pilkada Jakarta dari putaran pertama ke putaran kedua menunjukkan dinamika tinggi yang terus memancing kreativitas untuk mencari simpati dukungan suara warga. Jokowi harus siap bertanding dengan calon incumbent, Fauzi Bowo (Foke) yang didukung oleh segudang partai-partai besar kecuali partai pengusung rivalnya yaitu PDIP dan Gerindra. Wajar ketika ungkapan “Semut yang dikelilingi Gajah-Gajah besar” dialamatkan kepada Jokowi. Pertanyaannya, mampukah sang semut lepas dari gerombolan Gajah-Gajah besar? Tunggu tanggal mainnya.

Penulis berkeinginan agar kepala-kepala daerah bisa melihat figur Jokowi sungguh amat menginspirasi ditengah-tengah pesimisme masyarakat melihat tingkah dan sikap pemimpin kita yang jauh dari kata seorang pelayanan masyarakat. Sekaligus, masyarakat dapat menemukan figur yang dapat dijadikan bahan pembanding buat kemajuan daerah-daerah di Nusantara.

Dalam teori perubahan, pemimpin (kepala daerah) punya peran yang cukup signifikan dalam membawa perubahan di masyarakat. Pengawasan masyarakat juga di nilai perlu sebagai bagian dari sistem pengawasan (social control) yang akan menjadi penentu efektivitas dan efisiensi wujud pengelolaan tata pemerintahan (good governance).

Ujian Demokrasi di Pilkada Jakarta

20 September 2012 adalah penentu putaran kedua dari pasangan Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli (Foke – Nara) dan Joko Widodo - Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi – Ahok) yang akan kembali beradu pada putaran kedua tersebut. Babak kedua ini akan menjadi penentu ujian pesta demokrasi terbesar di DKI Jakarta. Walaupun KPUD Provinsi Jakarta telah menetapkan rekap hasil KPU Provinsi (1-3/10), penetapan pasangan menang (3/10), sampai penyampaian ketetapan pasangan (4-6/10). Kita tentunya yakin akurasi dari hasil polling sementara (quick count) akan mendahului hasil ketetapan KPU. Walaupun bersifat sementara tetapi bukti empiris, pengalaman dilapangan jarang sekali menunjukkan hasil yang berbeda.

Pada putaran pertama dari total pemilih, pasangan Jokowi-Ahok meraup suara sebanyak 1.847.157 atau sebesar 42,60 persen, dikuti pasangan Foke-Nara dengan jumlah suara 1.476.648 atau sebesar 34,05 persen. Selanjutnya, Hidayat-Didik 11,72 persen, Faisal-Biem 4,98 persen, Alex-Nono 4,67 persen. Terakhir, Juru kunci dipegang oleh pasangan Hendardji-Riza dengan perolehan suara sebesar 1,98 persen.

Hasil yang cukup mengejutkan, pasangan Foke-Nara yang sempat dijagokan menang satu putaran harus puas diposisi kedua. Belum lagi dukungan partai-partai besar seperti Golkar, Demokrat dan PKS sepertinya tidak cukup mempengaruhi dukungan suara pasangan calon yang diusung. Nampaknya, kekuatan figur kontestan pilkada lebih “terasa” dan mendominasi dibanding kendaraan politik pasangan calon yaitu partai politik pendukung. Kerasnya perjuangan putaran pertama tidak bisa dilepaskan dari pengaruh calon-calon dari independen yang cukup kuat dan berani.

Menarik untuk mengikuti konstelasi Pilkada Jakarta putaran kedua yang semakin diterpa isu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dan kampanye hitam (black campaign). Para pengamat sebenarnya sudah bisa meramalkan manuver politik dan keras persaingan memperebutkan kursi gubernur dan wakil gubernur Jakartadi putaran kedua. Pasangan Jokowi-Ahok mendapat sasaran “empuk” isu-isu SARA dan black campaign dikarenakan pasangan Jokowi yaitu Basuki alias Ahok merupakan keturunan Tionghoa dan beragama Kristen. Mungkin bukan hal yang lumrah dan tidak biasa di pemimpin Jakarta.Tetapi bukan tidak bisa. Kedewasaan pemilih yang akan membawa kita menemukan jawaban perkembangan konsolidasi demokrasi kita.

Jakarta yang menjadi barometer pembangunan dan demokrasi, sungguh sangat layak dijadikan sebuah referensi kematangan proses demokrasi di Indonesia. Apakah tingkat kematangan demokrasi kita di Indonesia menunjukkan perbaikan, tren yang cukup positif bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi daerah-daerah yang akan menggelar pesta demokrasi serupa?

Hal ini tentunya, akan mendapat perhatian dan pengaruh optimis atau pesimis di daerah lain yang akan menggelar hajatan yang sama. Dan, bahkan mungkin saja akan menjadi acuan utama dalam membahas dan merumuskan format pemimpin negeri ini yang akan digelar tahun 2014 nantinya. Pertanyaan yang muncul. Apakah ancaman isu SARA masih cukup signifikan mempengaruhi pilihan masyarakat? Inilah soal ujian demokrasi kita.

Kedewasaan kita berdemokrasi tentunya diukur dari salah satu faktor independensi dan pilihan tanpa pertimbangan primordialitas. Kompetensi dan kapasitas pemimpin mutlak harus menjadi ukuran dalam menentukan pemimpin kita masa depan. Ukuran yang menempatkan skala prioritas terhadap politik identitas atau SARA akan membawa kita ke kemunduran demokratisasi sistem di republik ini.

Salah seorang guru besar dan aktivis pejuang negeri ini Prof. Petrus Kanisius Harjasudirja Sasradiningrat mengatakan, "Tidak ada minoritas-minoritasan atau warga negara kelas dua di Republik ini, orang yg menganut paham adanya warga negara kelas dua, hanya pantas hidup di zaman batu”. Walaupun kedengarannya cukup keras, akan tetapi pernyataan tersebut cukup menjelaskan bagaimana dulunya republik ini sama-sama diperjuangkan oleh semua golongan. Tidak peduli dia itu Islam atau Kristen, Jawa atau batak, semua punya kontribusi dalam membangun negeri ini.

Singkatnya, hal ini bisa dijelaskan oleh sejarah kita yang banyak memberikan gelar pahlawan kepada para pendahulu kita yang berlatar belakang sangat beragam. Mungkin inilah karunia besar buat negeri yang besar ini, Indonesia yang dikaruniakan begitu banyak keanekaragaman (multikultural) yang harus senantiasa dirawat dan disemaikan kepada penerus yang diikat oleh semboyan bhineka tunggal ika. Sebab kita telah setuju, Negara Republik Indonesia adalah negara bangsa (nation state).

Penulis adalah Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Medan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun