Hasil yang cukup mengejutkan, pasangan Foke-Nara yang sempat dijagokan menang satu putaran harus puas diposisi kedua. Belum lagi dukungan partai-partai besar seperti Golkar, Demokrat dan PKS sepertinya tidak cukup mempengaruhi dukungan suara pasangan calon yang diusung. Nampaknya, kekuatan figur kontestan pilkada lebih “terasa” dan mendominasi dibanding kendaraan politik pasangan calon yaitu partai politik pendukung. Kerasnya perjuangan putaran pertama tidak bisa dilepaskan dari pengaruh calon-calon dari independen yang cukup kuat dan berani.
Menarik untuk mengikuti konstelasi Pilkada Jakarta putaran kedua yang semakin diterpa isu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA) dan kampanye hitam (black campaign). Para pengamat sebenarnya sudah bisa meramalkan manuver politik dan keras persaingan memperebutkan kursi gubernur dan wakil gubernur Jakartadi putaran kedua. Pasangan Jokowi-Ahok mendapat sasaran “empuk” isu-isu SARA dan black campaign dikarenakan pasangan Jokowi yaitu Basuki alias Ahok merupakan keturunan Tionghoa dan beragama Kristen. Mungkin bukan hal yang lumrah dan tidak biasa di pemimpin Jakarta.Tetapi bukan tidak bisa. Kedewasaan pemilih yang akan membawa kita menemukan jawaban perkembangan konsolidasi demokrasi kita.
Jakarta yang menjadi barometer pembangunan dan demokrasi, sungguh sangat layak dijadikan sebuah referensi kematangan proses demokrasi di Indonesia. Apakah tingkat kematangan demokrasi kita di Indonesia menunjukkan perbaikan, tren yang cukup positif bagi masyarakat Indonesia khususnya bagi daerah-daerah yang akan menggelar pesta demokrasi serupa?
Hal ini tentunya, akan mendapat perhatian dan pengaruh optimis atau pesimis di daerah lain yang akan menggelar hajatan yang sama. Dan, bahkan mungkin saja akan menjadi acuan utama dalam membahas dan merumuskan format pemimpin negeri ini yang akan digelar tahun 2014 nantinya. Pertanyaan yang muncul. Apakah ancaman isu SARA masih cukup signifikan mempengaruhi pilihan masyarakat? Inilah soal ujian demokrasi kita.
Kedewasaan kita berdemokrasi tentunya diukur dari salah satu faktor independensi dan pilihan tanpa pertimbangan primordialitas. Kompetensi dan kapasitas pemimpin mutlak harus menjadi ukuran dalam menentukan pemimpin kita masa depan. Ukuran yang menempatkan skala prioritas terhadap politik identitas atau SARA akan membawa kita ke kemunduran demokratisasi sistem di republik ini.
Salah seorang guru besar dan aktivis pejuang negeri ini Prof. Petrus Kanisius Harjasudirja Sasradiningrat mengatakan, "Tidak ada minoritas-minoritasan atau warga negara kelas dua di Republik ini, orang yg menganut paham adanya warga negara kelas dua, hanya pantas hidup di zaman batu”. Walaupun kedengarannya cukup keras, akan tetapi pernyataan tersebut cukup menjelaskan bagaimana dulunya republik ini sama-sama diperjuangkan oleh semua golongan. Tidak peduli dia itu Islam atau Kristen, Jawa atau batak, semua punya kontribusi dalam membangun negeri ini.
Singkatnya, hal ini bisa dijelaskan oleh sejarah kita yang banyak memberikan gelar pahlawan kepada para pendahulu kita yang berlatar belakang sangat beragam. Mungkin inilah karunia besar buat negeri yang besar ini, Indonesia yang dikaruniakan begitu banyak keanekaragaman (multikultural) yang harus senantiasa dirawat dan disemaikan kepada penerus yang diikat oleh semboyan bhineka tunggal ika. Sebab kita telah setuju, Negara Republik Indonesia adalah negara bangsa (nation state).
Penulis adalah Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Medan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H