Mohon tunggu...
Rozy 12410044
Rozy 12410044 Mohon Tunggu... -

Nama: Fahrur Rozi\r\nAlamat: Mojokerto, Kec. Trowulan\r\nLulusan: SMA Ar-Risalah Lirboyo, Kediri\r\n\r\nUiniversitas: UIN Maliki Malang\r\nTgl Lahir: 18-09-1994\r\n\r\nHobi: Anime, menggambar, Main PES\r\nStatus: Masih SIngle... (belum punya cewek).

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Energi Dibalik Kesadaran Kognitif

18 Juni 2015   01:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:08 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah kah sebelumnya anda mendnegar tentang energi 1000 x lipat yang terpendam dalam diri manusia? Pernahkah anda sempat memikirkan persiapan terlebih dahulu saat anda dikejar anjing? Pernahkah anda merasakan ada energi yang keluar meluap-luap dari dalam diri anda ketika bersemangat merih sesuatu atau ketika marah besar? Disini saya ingin menyampaikan bahwa untuk menggunakan energi tersebut kita tidak perlu menunggu keadaan mental terdesak atau kondisi terpaksa. Namun dengan keadaan biasa kita pun bisa melakukannya. Pengaplikasian dalam bahasan saya di sini lebih mengerucut pada proses belajar siswi, yakni menumbuhkan energi semangat pada siswi yang berkebutuhan khusus untuk mulai meningkatkan semangat belajarnya lagi.

Perlu anda ketahui manusia itu memiliki jumlah energi besar yang tersimpan dalam diri manusia. Kekuatan itu biasanya hanya bisa muncul saat-saat dalam keadaan terdesak. Yahhh... itulah yang dinamakan energi alam manusia sesungguhnya. Dalam psikologi menyebunya sebagai “Energi Alama Bawah Sadar”. Energi ini muncul karena ada dorongan kuat (semangat) dari dalam diri manusia yang tak dapat terkendali untuk meraih atau akan bertindak sesuatu. Seperti dorongan semangat tingggi untuk bisa meloncati sebrang tebing sedalam 300 m untuk menyelamatkan diri dari kejaran longsor salju. Kekuatan ini berasalan dari proyaksi stimulus yang kemudian ditranfer menuju anggota tubuh melalui sensor motorik dari otak karena keadaan atau kondisi yang terdesak.

Naahhh, bagaimana jika energi ini mampu kita gunakan dalam sistem belajar kita tanpa harus menunggu keadaan terdesak. Kemungkinan besar 80% organ-organ tubuh kita akan bergerak untuk belajar giat sesuai keinginan kita tanpa ada rasa beban sedikit pun. Walau kondisi sedang sakit pun. Saya telah mengaplikasikan teori ini secara langsung pada salah satu klein saya (wanita) yang pernah mengalami gangguan trauma cinta sebelumnya, sehingga menganggu nya dalam hubungan interpersonal dengan teman pria atau laki-laki lain. Pendekatan yang saya lakukan kepada klien lebih mengutamakan pada proses pembelajaran lepenekanan dari arti pentingnya proses internal klien dalam ranah mentalnya (Syah, 2003) Identitas siswa: Nama: ULM (wanita), Usia : 18 th, Alamat: Sawojajar, Malang, Pribadi : traumatik dengan cinta, Alasan: karena tidak mau tersakiti lagi oleh pria

Klien sebelumnya tidak memiliki gangguan traumatik dengan cinta. Bermain dan mengobrol dengan laki-laki manapun klien sangat-sangat biasa, hal ini terbukti dari cerita klien, “dulu saya itu mudah sekali berbicara dengan laki-laki atau dekat dengan laki-laki manapun, mengobrol, bergurau, bahkan bermain-main bersama. Tapi ketika ada salah satu temen yang suka dengan saya, terus kita pacaran lama sekali, aku dikhianatain sama dia. Tidak tahunya, beberapa hari bulan terakhir, dia pergi dengan seorang teman perempuan. Setelah saya selidiki ternyata dia adalah pacarnya pacar saya. Padahal ketika pertemuan awal dia berkata kalo tidak punya pacar. Ternyata itu semua bohong, dan aku seketika itu membenci dia sampai sekarang ini. Dan aku juga benci dengan cinta karena hanya akan membawa derita”.

Masa lalu klien dan perspektif klein mengenai hubungan cinta perlu diproses secara psikologi sebab itu sangat mempengaruhi proses belajar klien kedepannya dan jenjang hidup klien di masa depannya, oleh karena itu masalah mental harus lebih diutamakan sebab mental yang lemah akan mengganggu proses belajar klien, setelah masalah mental teratasi barulah melangkah ke masalah perilaku belajarnya. Seperti penjelasan Syah (2003), belajar pada dasanya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hl yang bersifat jasmaniah tampak lebih nyata dalam setiap peristiwa maupun proses belajar individu. Sebagai konselor maka wajib bagi saya untuk membantunya. Pertama, saya mendatangi sekolah klien berada. Kedua, saya minta izin ke pihak sekolah untuk observasi kondisi di sekolah. Kemudian saya bangun hubungan raport dengan klien selama kurang lebih tiga hari, disana kami sempat mengobrol banyak tentang pengalaman hidup baik pahit dan indah. Ketiga, saya mengajak wawancara di ruang kosong untuk memudahkan klien bercerita dan kenyamanan saat wawancara berlangsung. Dari wawancara saya mendapatkan banyak sekali data yang dibutuhkan untuk proses konseling. Klien masih trauma dengan pacaran karena takut disakiti hati lagi. Kemudian saya menjadi pendengar setia klien tentang curhatan hatinya sampai habis. Keempat, saya diamkan klien untuk beberapa menit dan mulai memikirkan solusi tepat untuk permasalahan klien. Kelima, saya ajak klien untuk mulai berfikir tantang masa lalunya. Menyampaikan masukan-masukan positif tantang sosok pria yang baik pada si klien, tujuannya supaya klien memahami bahwa tidak semua laki-laki di dunia itu seperti apa yang klien bayangkan. Setiap manusia pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Mungkin perilaku buruk mantan adalah salah satu dari kekurangannya. “tidak semua laki-laki di dunia itu buruk, pasti ada yang baik. Tuhan itu maha adil, setiap ada kekurangan pada diri seseorang pasti ada kelebihan dalam diri seseorang tersebut. Hanya saja mungkin pria yang kau kenal dulu itu bukanlah pria yang cocok untuk kamu. Tapi percayalah pasti ada pria yang jauh lebih baik lagi untuk kamu. Karena Tuhan itu kan maha seadil-adilnya. Jadi kamu harus yakin dan sabar untuk menunggu itu”.

Setelah pengarahan yang saya berikan, akhirnya klien mulai berfikir ulang tentang pandangannya terhadap sosok laki-laki. Hal ini terbukti dari keberanian klien untuk mulai mendekati saya dan keberanian klien untuk mulai mencurhatkan semua pengalaman buruk yang pernah dirasakannya kepada saya. Mulai dari pengalaman dalam keluarga, persahabatan, dan pengalaman disekolah. Saya biarkan klien bercerita lalu saya arahkan klein ke pintu-pintu solusi permasalahan. Tinggal dari diri klien mau memilih pintu yang tepat untuk dimasuki.

[3 minggu kemudian]

Klien sudah berubah, dari awal yang enggan berbaur dengan pria sekarang sudah berani berbaur sedikti-sedikit dengan teman pria di kelasnya, daari awal yang dia takut jatuh cinta, sekarang dia sudah berani mengakui cintanya, dan awal yang dia tidak berani/malu mengobrol/mencurhatkan pengalaman hidupnya sekarang sudah menjadi biasa curhat dengan saya. Alhamdulillah semangat belajarnya kembali cerah lagi, perspektif negatif terhadap pria menurun, sekarang dia sudah terbiasa.

 

Refrensi:

Syah Muhibbin.2003.Psikologi Belajar.Jakarta:PT. Rajagrafindo Persada

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun