Mohon tunggu...
Mohamad Rozkit Bouti
Mohamad Rozkit Bouti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Trying Everything

.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Inner Child

7 April 2023   16:42 Diperbarui: 7 April 2023   17:05 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasan tentang tema ini seringkali terlintas di beranda media sosial.  Ada yang cerita tentang permasalahan hidup yang tengah dihadapi, dan memberikan asumsi bahwa hal tersebut terjadi karena inner childnya yang terluka. Ada juga yang putus asa dengan apa yang dijalani saat ini, karena semuanya berasal dari inner childnya yang terluka dan sulit untuk disembuhkan. Dan banyak cerita lainnya yang mungkin berseliuran juga di beranda anda.

Lalu, apa sebenarnya Inner child?

Apa memang ia seberpengaruh itu kepada orang dewasa?

Apa memang pengalaman masa lalu memberikan pengaruh besar kepada diri kita?

Mengenal Inner Child

Mari kita melihat sejenak awal mula adanya istilah inner child. Istilah inner child diperkenalkan oleh Carl Gustave Jung. Ya, kalo anda membaca tulisan saya sebelumnya, pasti anda tahu siapa Jung. Inner child atau child archetype adalah teori yang ia kemukakan untuk menjelaskan keterhubungan antara orang dewasa dengan pengalaman masa kecilnya. Dengan mengetahui pengalaman masa kecil, maka kemungkinannya menumbuhkan kesadaran, sehingga kesadaran inilah yang membuat kita bertahan menjalani hidup.

Inner child masih berkaitan dengan konsep psikoanalisis yaitu hal-hal yang berkaitan dengan bawah sadar. Bawah sadar seringkali diartikan dengan memori yang menyimpan milyaran informasi sejak kita kecil, semuanya terekam di dalam bawah sadar. Walaupun kita tidak mengingatnya, tapi ia tetap tersimpan dalam memori tersebut.

Inner child berisi tentang berbagai pengalaman hidup, emosi, cita-cita, kreatifitas, dan lain sebagainya. Seperti kebahagiaan mendapat hadiah dari seseorang, marah karena ditertawakan melakukan hal yang memalukan, sedih saat diejek oleh orang lain, benci karena pernah disakiti oleh seseorang, berbagai masalah yang hanya disimpan tanpa pernah diceritakan, takut akan sesuatu, dan lain sebagainya.

Anak-anak memang memiliki kecenderungan untuk bisa mengingat sebagian besar pengalaman hidup tersebut, apalagi yang berkaitan dengan emosi. asumsinya karena memang isi pikirannya belum sekompleks orang dewasa.

Kata John Bradshaw yang mengatakan bahwa inner child itu hadir karena adanya pengalaman atau kejadian di masa lalu yang belum terselesaikan. Mengapa belum terselesaikan?

Seringkali kita menyepelekan berbagai permasalahan yang kita alami dan berkata "biarkan waktu yang menjawab" atau memiliki ketakutan untuk menyelesaikan akhirnya memutuskan untuk menyimpannya sendiri. Semuanya di represif dan secara tidak sadar ia tetap terekam dalam bawah sadar.

Oke, itu memang lah sebuah kebebasan, tapi hal tersebut nantinya memberikan pengaruh kepada diri kita sendiri di kemudian hari. Semacam air yang diisikan ke dalam sebuah gelas, terus menerus diisi, akhirnya penuh dan bahkan diisi lagi ia akan tumpah. Bisa jadi emosi kita pun demikian, karena terus-menerus disimpan tanpa dibicarakan, akhirnya memantik masalah mental yang lain.

Memang, menyelesaikan masalah bukanlah hal yang gampang untuk masing-masing orang, namun menyimpannya sendiri membuat kita akan melukai diri sendiri.

Dewasa ini, kita menjalani hidup tentu dengan berbagai emosi, bisa senang, bahagia, sedih, tertekan, malu, muak, dan lain-lain. Emosi yang tidak stabil bisa jadi akan memantik hadirnya emosi masa lalu yang direpresif sebelumnya.

Senang rasanya membagi obrolan dengan orang lain, tentu mereka yang bisa dipercaya dan menjadi pendengar yang  baik. Ada kepuasan tersendiri, walaupun tak sepenuhnya beban ini hilang, tapi setidaknya beberapa telah berjatuhan dan membuat kita lebih lega. Happy life gaees

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun