Mohon tunggu...
Roziqin Matlap
Roziqin Matlap Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Hukum

suka dengan hal-hal yang berbau hukum, politik, agama, sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Analisis Komoditas Pangan Lokal Kota Pekalongan dan Pengaruhnya Terhadap Kedaulatan Pangan

4 September 2014   08:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:39 1128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

A.PENDAHULUAN

Berbicara mengenai pangan, hakekatnya berbicara tentang kita, karena pangan adalah kebutuhan pokok sehari-hari yang tidak bisa ditunda, yang dibutuhkan oleh semua orang dari bayi hingga lanjut usia, dari semua golongan, miskin hingga kaya. Masalah kedaulatan pangan ini tidak hanya menyangkut masalah ekonomi tetapi juga merupakan kunci utama dalam menjaga stabilitas sosial dan politik bangsa. Oleh karena itu keamanan pangan senantiasa merupakan prioritas utama pembangunan nasional.[1]

Urgensi kedaulatan pangan terasa nyata, karena siapapun rezim yang berkuasa, bisa jatuh karena urusan pangan. Sayangnya, urusan yang sensitif ini belum tertangani dengan baik. Banyak rakyat yang belum mendapat pangan secara mencukupi. Ironisnya, argumen belum tercukupinya kebutuhan pangan ini malah menjadi pembenaran stakeholder untuk melakukan impor, yang justru dijadikan ajang perburuan rente, menghancurkan potensi produksi nasional, dan pada akhirnya merugikan rakyat.[2] Indonesia pun akhirnya tidak memiliki kedaulatan pangan, padahal Indonesia didengung-dengungkan sebagai negara agraris.

Kedaulatan pangan sebenarnya bisa dicapai dengan memanfaatkan potensi pangan lokal yang tersebar di seluruh Indonesia. Pengembangan pangan lokal tidak lepas dari peran serta pemerintah daerah, pemerintah pusat, swasta, dan masyarakat. Dengan pola kemitraan antar semua stake holder tersebut, maka pengembangan pangan lokal akan menjadikan terpenuhinya kebutuhan pangan, menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi daerah yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous develoment) dengan menggunakan potensi sumberdaya manusia, kelembagaan dan sumber daya fisik secara lokal (daerah).[3]

Pangan lokal yang dijalankan oleh usaha sektor kecil yang sumbernya dari pertanian, ternyata relatif mampu bertahan dalam menghadapi krisis ekonomi.[4] Pengembangan pangan lokal menemukan oasenya di saat berkembangnya era otonomi daerah, karena daerah diberi kebebasan untuk menentukan urusan pemerintahannya sendiri, termasuk di dalamnya pengembangan sektor pertanian dan perdagangan. Di era otonomi daerah, sering didengar jargon-jargon ekonomi politik seperti desentralisasi ekonomi, ekonomi kerakyatan dan pemberdayaan usaha kecil, menengah dan koperasi.

Sayangnya, beragam pangan lokal di Indonesia seringkali belum tersosialisasikan dengan baik dan terlupakan potensinya. Salah satu pangan lokal unggulan dari Pekalongan, Jawa Tengah adalah ikan kembung, sementara komoditas pangan lokal yang potensial namun terlupakan dari Pekalongan adalah makanan megono.

B.PROFIL PEKALONGAN

Kota Pekalongan membentang antara 6º50’42” – 6º55’44” LS dan 109º37’55” – 109º42’19” BT. Berdasarkan koordinat fiktifnya, Kota Pekalongan membentang antara 510,00 – 518,00 Km membujur dan 517,75 – 526,75 Km melintang. Luas Kota Pekalongan adalah 45,25 Km² atau 0,14 % dari luas wilayah Provinsi Jawa Tengah yang seluas 3254 ribu Km² .Jarak terjauh dari Utara ke Selatan mencapai ± 9 Km, sedangkan dari Barat ke Timur mencapai ± 7 Km. Secara Administratif Kota Pekalongan terbagi menjadi 4 ( empat ) Kecamatan dan 43 kelurahan. Di sebelah utara, wilayah Kota Pekalongan berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah selatan dan barat berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan, dan disebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Batang.[5]

Jumlah penduduk Kota Pekalongan menurut Dinas Dukcapil Kota Pekalongan sampai dengan akhir tahun 2010 mencapai 311.143 jiwa, terdiri dari 156.247 penduduk laki-laki dan 154.896 penduduk perempuan. Kepadatan penduduk Kota Pekalongan pada tahun 2010 sekitar 6.876 orang/km².[6] Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Pekalongan dari tahun 2006 – 2011 mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, IPM sebesar 72,5 meningkat pada tahun 2011 menjadi 74,9 lebih tinggi dari IPM Jawa Tengah sebesar 72,94. [7]

Struktur ekonomi Kota Pekalongan didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pertanian menempati urutan keenam. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 27,33%, sedangkan sektor pertanian sebesar 7,46% terhadap total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). [8]

Berdasarkan Sensus Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di Kota Pekalongan adalah sebanyak 1.838 dikelola oleh rumah tangga, dan 2 (dua) unit dikelola oleh perusahaan pertanian berbadan hukum, serta 3 (tiga) unit dikelola oleh selain rumah tangga dan bukan perusahaan berbadan hukum.[9] Dengan kondisi alam yang dimiliki, Pekalongan sangat cocok dikembangkan menjadi sentra perikanan, terutama ikan tangkap dengan salah satu komoditas utamanya adalah ikan kembung. Pekalongan juga tempat cocok untuk pertumbuhan pohon nangka yang merupakan bahan dasar pembuatan megono.

C.IKAN KEMBUNG SEBAGAI KOMODITAS UNGGULAN PERIKANAN TANGKAP

C.1 Potensi Perikanan Tangkap

Sebagai sebuah negara maritim, yang hampir dua pertiga wilayahnya berupa lautan, maka sudah selayaknya sektor kelautan dan perikanan menjadi sektor andalan utama pembangunan Indonesia. Saat ini, di Indonesia diperkirakan 12.5 juta orang terlibat di dalam kegiatan perikanan.[10] Perikanan pun memiliki kedudukan penting dalam perekonomian di Pekalongan, terutama subsektor perikanan tangkap karena potensinya yang sangat besar. Untuk tahun 2009, kontribusi sektor perikanan terhadap sektor pertanian di Kota Pekalongan mencapai 71,34% yaitu sebesar Rp118.285.510.000 dimana 98,9% atau Rp116.980.220.000 didominasi oleh subsektor perikanan tangkap. [11]

Penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan relatif besar. Hal ini ditunjukkan dengan nilai Location Quotient (LQ) tenaga kerja yang lebih dari satu, berarti kebutuhan tenaga kerja di subsektor perikanan tangkap dapat terpenuhi dan dapat menyumbang tenaga kerja ke sektor perikanan lainnya. Pada tahun 2008, nilai multiplier effect berdasarkan indikator tenaga kerja Kota Pekalongan adalah 0,24. Hal ini menjelaskan bahwa perubahan satu satuan tenaga kerja subsektor perikanan tangkap akan mempengaruhi perubahan tenaga kerja sektor lainnya yang berkaitan dengan subsektor perikanan tangkap Kota Pekalongan sebesar 0,24 satuan. Jumlah kesempatan kerja subsektor perikanan tangkap yang besar di Pekalongan dapat menjadi kekuatan dalam pengembangan subsektor perikanan tangkap dan dapat meningkatkan kontribusi dari subsektor perikanan tangkap terhadap PDRB Kota Pekalongan.[12]

Peranan subsektor perikanan tangkap Kota Pekalongan terhadap keseluruhan sektor merupakan sektor basis dalam pengembangan perekonomian daerah Kota Pekalongan. Sektor basis artinya kebutuhan ikan untuk masyarakat Kota Pekalongan sudah terpenuhi, sehingga dapat melakukan ekspor atau distribusi ke luar daerah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai LQ subsektor perikanan tangkap Kota Pekalongan pada kurun waktu 2003-2009 selalu lebih dari 1.[13] Produksi perikanan tangkap Kota Pekalongan cukup tinggi setiap tahunnya. Hasil tangkapan sebesar 20% dipasarkan di pasar lokal yaitu Kota Pekalongan, Kabupaten Batang, Tegal dan daerah di sekitar Kota Pekalongan. Sementara 80% lainnya dipasarkan ke daerah Jakarta, Sumatera dan Tujuan ekspor. Ikan yang dipasarkan berupa ikan olahan, seperti ikan asin dan ikankaleng. Adanya Laboratorium Pengujian Pengawasan Mutu Hasil Perikanan sangat menunjang dalam penentuan kualitas ikan, baik segar maupun olahan yang siap atau layak untuk dipasarkan ke luar daerah maupun ekspor.

Salah satu komoditas perikanan tangkap yang menjadi unggulan Kota Pekalongan adalah ikan kembung, yang banyak digemari masyarakat. Ikan kembung biasanya dijual segar atau diproses menjadi ikan pindang dan ikan asin yang lebih tahan lama. Ikan kembung yang masih kecil juga sering digunakan sebagai umpan hidup untuk memancing cakalang. Disamping harganya ekonomis, ikan kembung juga relatif sederhana dalam pengolahannya, yaitu cukup digoreng. Ada pula yang suka di balado, atau di pepes. Ada banyak macam ikan kembung namun yang umumnya terdapat di Pasar Pelelangan Ikan adalah ikan kembung banjar, ikan kembung puket, dan ikan kembung como.[14]

Secara umum ikan memiliki kandungan gizi yang tinggi diantaranya 15-24% protein; 0,1-22% lemak; 1-3% karbohidrat; 0,8-2% substansi anorganik dan 66-84% air (Suzuki 1981). Ikan mengandung protein yang berkualitas tinggi. Protein dalam ikan tersusun dari asam-asam amino yang dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan. Selain itu protein ikan amat mudah dicerna dan diabsorbsi. Ikan merupakan sumber alami asam lemak Omega 3 yaitu Eicosa Pentaenoic Acid (EPA) dan Dacosa Hexaenoic Acid (DHA), yang berfungsi mencegah arterosklerosis (terutama EPA). Keduanya dapat menurunkan secara nyata kadar trigliserida di dalam darah dan menurunkan kadar kolesterol di dalam hati dan jantung. Kadar asam lemak Omega 3 dalam beberapa jenis ikan laut di perairan Indonesia berkisar antara 0,1 – 0,5 g/100g daging ikan. Dari data yang telah dikeluarkan oleh Lembaga Gizi Departemen Kesehatan RI, ikan kembung dan beberapa jenis ikan laut Indonesia (seperti sidat, terubuk, tenggiri, laying, bawal, seren, slengseng, tuna dan sebagainya) memiliki kandungan asam lemak Omega 3 tinggi (sampai 10,9 g/100 g).[15] Untuk kurun waktu 2003-2008, nilai Location Quetient (LQ) ikan kembung juga selalu tinggi. Untuk tahun 2008. LQ ikan kembung sebesar 6,16, dan tertinggi dibandingkan jenis ikan pelagis kecil selama periode 2003- 2008.[16]

C.2Upaya Pengembangan Perikanan Tangkap

Kota Pekalongan sangat serius dalam mengembangkan sektor perikanan, khususnya perikanan tangkap. Saat ini, Kota Pekalongan memiliki 1 pelabuhan perikanan dengan tipe B (Nusantara) yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pekalongan, yang merupakan salah satu pelabuhan perikanan terbesar di Jawa Tengah. Prasarana yang dimiliki PPN Pekalongan tergolong lengkap, karena terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI), dermaga, pabrik es dan prasarana lainnya.[17] Jumlah armada penangkapan yang mendaratkan kapal perikanan di PPN Pekalongan tahun 2010 mencapai 4.309 kapal dengan produksi mencapai 18.523 ton/tahun atau pendaratan harian 51 ton/hari. Ikan yang dominan adalah jenis ikan-ikan pelagis seperti ikan kembung, layang, lemuru, tongkol, dan selar.[18]

Di Kota Pekalongan alat penangkapan ikan sudah menggunakan purse seine, berjumlah 146 unit dengan hasil tangkapan sebesar 92% dari total produksi ikan di PPN Pekalongan. Sekitar 8% produksi lainnya adalah dihasilkan dari alat tangkap gillnet yang berjumlah 116 unit. [19] Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata nelayan yang menangkap ikan di perairan yang jauh dari konsentrasi nelayan atau tempat melabuhkan kapalnya, karena kekuatan kapal yang digunakan mampu melakukan operasi penangkapan ikan di lautan lepas. Menurut Subani dan Barus, kapal purse seine umumnya merupakan kapal kayu berukuran 10-150 GT, sedangkan kapal gillnet berukuran 1-5 GT.[20]

Pemerintah Pusat, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) cq. Dirjen Perikanan Tangkap, juga sangat serius dalam memberdayakan potensi perikanan di Kota Pekalongan. Sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan produksi ikan dalam negeri dan mengurangi impor, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meluncurkan program minapolitan di berbagai lokasi di Indonesia, salah satunya di Pekalongan. Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.32/2010 tanggal 14 Mei 2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan, telah ditetapkan 197 lokasi, di antaranya 83 lokasi Pelabuhan Perikanan di seluruh Indonesia yang akan dikembangkan sebagai Kawasan Minapolitan.[21]

Dengan minapolitan, Kota Pekalongan dijadikan kawasan perekonomian yang berbasis usaha perikanan, khususnya perikanan tangkap. Pengembangan usaha perikanan secara terpadu dalam satu kawasan (cluster), diharapkan menekan biaya produksi sehingga harga produk perikanan dalam negeri yang dihasilkan lebih bersaing. Dengan pencanangan Minapolitan, produksi ini terus dipacu, sembari mengembangkan industri pengolahan dan usaha-usaha terkait yang menjadi pendukungnya. Untuk tahun 2010, produksi ikan di PPN Pekalongan sendiri mencapai 18.523 ton/tahun.[22]

KKP juga mencanangkan pembangunan Mal Perikanan di kawasan Kota Pekalongan serta melakukan program pemberdayaan masyarakat yang telah dirintis kepada nelayan dan masyarakat kelautan perikanan di Kota Pekalongan. Program tersebut secara simbolis diberikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada pencanangan Minapolitan Pekalongan berupa 50 Polis asuransi bagi nelayan, 800 Kartu Tanda Nelayan, Bantuan penguatan modal Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) kepada 22 Kelompok Usaha Bersama (KUB), penyerahan 3 Buku Kapal Perikanan Benih ikan, serta 205.000 benih ikan.[23]

C.3Hambatan Perikanan Tangkap

Selama periode 2003-2009, Nilai PDRB sektor pertanian dan perikanan, serta subsektor perikanan tangkap pada tahun 2004 selalu yang tertinggi dibandingkan dengan sektor lain. Sayangnya, sejak 2005 hingga tahun 2009 terus mengalami penurunan. Hal tersebut dikarenakan pada tahun 2005 terjadi kenaikan harga BBM yang menyebabkan banyak nelayan Kota Pekalongan yang berhenti melaut. Berkurangnya jumlah nelayan yang beroperasi sangat mempengaruhi jumlah hasil tangkapan Kota Pekalongan, sehingga sejak tahun 2005 hingga sekarang, nilai PDRB subsektor perikanan tangkap mengalami penurunan.[24] Untuk mengatasi hal ini, maka pemerintah perlu mengusahakan subsidi solar bagi nelayan agar mereka bisa terus berlayar.

D.MEGONO: PANGAN LOKAL YANG TERLUPAKAN

D.1Potensi Megono

Megono, makanan berbahan dasar nangka muda, merupakan menu paling luas dikonsumsi oleh warga Kota Pekalongan. Bahan dasar megono adalah nangka muda, yang biasanya ditambah dengan racikan bumbu yang didominasi oleh kelapa parut, lengkuas, merica, daun sereh (di Pekalongan disebut Kamijoro). Di wilayah lain, megono kurang lebih sama dengan urap, hanya saja kekhas-an Megono Pekalongan adalah aroma bunga kecombrang.[25]Dalam ramuan yang lengkap, campuran ini masih ditambah lagi dengan rempah rempah, bunga combrang, sambal urapan dan irisan serai sehingga terasa pedas.[26]

Makanan ini sangat mudah ditemui di rumah makan dan warung di sekitar kota Pekalongan. Orang Pekalongan dari kanak-kanak hingga dewasa, tidak peduli latar belakang budaya, asal-usul dan agama atau kepercayaannya, hampir semuanya suka nasi megono. Beberapa keluarga memberikan tambahan menu berupa tempe goreng tepung, krupuk terung, keluarga dengan tingkat kemampuan ekonomi suka menambahkan daging rendang atau daging semur. Apapun kombinasi dan tambahan lauknya, nasi megono menjadi menu yang nikmat.[27]

D.2Upaya Pengembangan Megono

Dalam rangka pengembangan megono, makanan khas Pekalongan ini diperkenalkan dan dilombakan dalam berbagai acara, misalnya pada dalam lomba makanan khas daerah tingkat nasional tahun 2013 yang digelar di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada kesempatan tersebut, megono dinobatkan sebagai juara lomba. Pada tahun sebelumnya, megono meraih juara favorit penampilan terbaik di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.[28]

Dalam rangka pengenalan megono, beberapa tahun belakangan, Pekalongan menyelenggarakan ritual gunungan megono bertajuk Kirab Gunungan Megono di daerah wisata Linggo Asri setiap bulan Syawal, tepatnya pada tanggal tujuh Syawal. Ritual ini termasuk baru, karena sebelumnya masyarakat tidak mengenal gunungan atau tumpeng raksasa yang dibuat dari nasi megono. Biasanya tumpeng dibuat dari nasi kuning yang memiliki makna filosofi tertentu.[29]

Sayangnya, berbagai acara pengenalan tersebut lebih kepada seremonial belaka, dan tidak mampu mengangkat megono sebagai makanan nasional dan internasional. Megono hanya dijual di Pekalongan, Batang, Pemalang, dan tidak banyak dikenal oleh orang lain. Bila di daerah lain dijual megono, maka sebagian besar pembelinya adalah orang Pekalongan yang rindu masakan daerahnya.

Selain itu, untuk pengembangan nangka yang merupakan bagian dari sektor pertanian, Pemerintah Kota Pekalongan punya wewenang mengurangkan ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan membayar Wajib Pajak atas lahan pertanian yang sangat terbatas.[30] Pemerintah Kota Pekalongan juga membuat zonasi untuk pertanian, sehingga diharapkan tidak ada penggunaan lahan pertanian untuk kepentingan non pertanian.[31] Sayangnya, kebijakan di bidang pertanian ini tidak banyak berarti dan masyarakat semakin meninggalkan sektor pertanian.

Dalam pengembangan megono, telah dikembangkan pembuatan alat pencacah nangka menggunakan bahan bekas seperti pipa besi, plat besi, dan papan kayu, dengan alat penggerak menggunakan dinamo mesin jahit. Alat itu hanya membutuhkan waktu 2,5 menit atau 150 detik untuk menghasilkan 1 kg megono siap masak. Padahal ketika menggunakan alat biasa, pencacahan nangka muda memakan waktu 1-2 jam.[32] Sayangnya, alat ini belum diproduksi massal, sehingga masyarakat masih menggunakan cara manual dalam mencacah nangka untuk keperluan pembuatan megono.

D3.Hambatan Pengembangan Megono

Pengembangan megono menghadapi masalah klasik. Saat ini penjual dan pembuat megono adalah orang-orang tua, sedangkan anak muda lebih memilih mencari atau melakukan pekerjaan lain. Apalagi di Pekalongan, tidak banyak lowongan pekerjaan di sana, sehingga orang-orang lebih memilih mencari pekerjaan ke kota yang lebih besar, terutama Jakarta. Hal ini berpengaruh pada ancaman hilangnya megono di masa depan. Pemerintah Kota Pekalongan tidak bisa melarang warganya untuk keluar kota, dan sebaliknya tidak bisa mengharuskan warganya untuk tetap tinggal di Pekalongan dan melestarikan megono.

Untuk mengatasi masalah ini, maka Pemerintah Kota Pekalongan harus menggenjot pembangunan dengan baik agar warganya tidak banyak yang keluar kota hanya demi mencari pekerjaan. Jika pembangunan dilakukan dengan baik, maka kesempatan kerja akan terbuka lebar, bahkan orang yang sudah merantau akan dengan senang hati kembali ke Pekalongan. Orang-orang yang kembali ke Pekalongan ini diharapkan bisa mempertahankan atau bahkan mengembangkan megono. Dengan demikian, terdapat hubungan antara pengembangan pangan lokal dan tingkat urbanisasi suatu kota.

Meskipun penjual megono banyak ditemui di sepanjang jalan di Pekalongan, ternyata Pemerintah atau pengusaha tidak ada inisiatif untuk membuat asosiasi atau perkumpulan penjual nasi megono. Hal ini bisa jadi disebabkan penjual nasi megono tidak dianggap sebagai pengusaha, dan tidak punya bargaining power karena berasal dari rakyat kecil. Ketiadaan asosiasi ini menjadikan mereka tidak punya arah untuk mengembangkan potensi megono sebagai sumber pangan nasional.

Hambatan lain, investasi di bidang megono ternyata belum menjanjikan. Sampai hari ini, megono lebih banyak disajikan di warung-warung kecil, dan tidak terlalu banyak variasi menu, sehingga menjadikan investor ragu untuk berinvestasi. Terlebih, megono tidak bisa bertahan lama karena mudah basi. Belum ada sebuah ide untuk menjadikan megono menjadi makanan lebih bergengsi, misalnya menjual megono di dalam mall sebagai makanan cepat saji yang praktis, sesuatu yang digandrungi masyarakat kota. Alangkah indahnya bila ada individu yang tertarik membawa megono setara dengan menu di Hoka Hoka Bento, A&W, McDonald, KFC dan resto multinasional lainnya.[33]

Hal ini ditambah dengan kesulitan masyarakat kecil penjual megono untuk mengakses permodalan dari perbankan karena tidak adanya jaminan. Pendidikan penjual megono yang rendah, juga menjadikannya tidak kreatif dalam mengembangkan usaha megono. Untuk mengatasi hal ini, seharusnya pemerintah membuka akses permodalan kepada para penjual megono agar mereka bisa mengembangkan usahanya. Penciptaan akses permodalan bisa dengan cara meringankan suku bunga dan meminimalisasi persyaratan yang menyulitkan penjual megono.

Selain itu, mengingat kurang berkembangnya sektor pertanian di Pekalongan, maka banyak lahan pertanian dialih fungsi ke non pertanian, terutama untuk sektor perumahan. Sayangnya, banyak alih fungsi tanah pertanian ke non pertanian tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).[34] Pemerintah Kota Pekalongan seharusnya tegas dalam menegakkan RTRW, dan menindaktegas pelanggar RTRW.

Meskipun megono menjadi makanan sehari-hari masyarakat Pekalongan dan sangat besar potensinya dalam menggerakkan perekonomian Kota Pekalongan, ternyata Pemerintah Kota Pekalongan tidak memiliki data mengenai jumlah pedangang megono, nilai perdagangannya, dan potensi buah nangka sebagai bahan dasar megono. Pemerintah Kota Pekalongan juga seperti menganaktirikan potensi megono, dan lebih fokus membangun sentra-sentra industri, terutama industri batik dan tekstil yang lebih menjanjikan dalam memberikan sumbangan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Seharusnya Pemerintah Kota Pekalongan memberdayakan para penjual megono, karena sebagai Usaha Kecil dan Menengah (UKM), penjual megono lebih memerlukan uluran bantuan dari Pemerintah Kota Pekalongan daripada sektor industry besar. Selama ini, dalam masa krisis, terbukti UKM lebih mampu bertahan dibandingkan industri besar. Terlebih, UKM menyangkut hajat hidup masyarakat banyak.

E.PENUTUP

Isu mengenai kedaulatan pangan selama ini selalu didengung-dengungkan oleh semua kalangan dari segala umur dan golongan. Sayangnya, sambil meneriakkan tentang kedaulatan pangan, ternyata banyak dari kita yang di rumahnya menyimpan bahan makanan impor, mulai dari mi instan, daging, buah, beras, gula dan lain-lain. Tak hanya itu, banyak dari kita yang meneriakkan kedaulatan pangan, namun lebih menyukai dan bangga makanan khas luar negeri di restoran waralaba asing, sambil minum-minuman impor pula. Betapa miris melihat banyak orang mengantri dan sibuk kesana-kemari hanya demi mendapatkan es krim terbaru buatan Amerika Serikat. Sementara itu, sajian saat seminar, sidang kabinet dan saat menjamu tamu-tamu negara, pun banyak yang berasal dari impor. Penikmat pangan lokal seolah dianggap kuno dan kurang pergaulan.

Banyak pangan lokal yang ternyata tidak mendapat dukungan masyarakat dan pemerintah, padahal seharusnya melalui pengembangan pangan lokal lah kita bisa berharap menegakkan kedaulatan pangan. Pangan dari negeri sendiri, bukan dari negeri tetangga lagi.

Ternyata isu kedaulatan pangan yang didengungkan melalui berbagai kajian di berbagai penjuru negeri, lebih banyak terealisasi di atas kertas belaka, lalu dimasukkan di meja/almari, untuk selanjutnya disimpan di arsip. Mari kita sadari, tanpa pengembangan pangan lokal, maka usaha mewujudkan kedaulatan pangan hanya sekedar ilusi !



DAFTAR PUSTAKA

Buku, Artikel, Penelitian

Arsyad, L. 2005. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE UGM, Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik Kota Pekalongan, Hasil Sensus Pertanian 2013, Pekalongan, 2013.

Chadiq dkk, Umar. Usaha OptimalisasiVolume EksporSektor Pertanian di Kabupaten Batang, Eco-Entrepreneurship Seminar & Call for Paper "Improving Performance by Improving Environment"Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang, 2012.

Machfoedz, Mochammad Maksum.Kuliah Kedaulatan Pangan di Program Studi Ketahanan Nasional, Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, 25 Agustus 2014.

Kantor Lingkungan Hidup Kota Pekalongan, Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Kota Pekalongan, Pekalongan, 2012.

Kurniawan, Fahriza Aditya. Implementasi Peraturan Tentang Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian Ke Non Pertanian Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kantor Pertanahan Kota Pekalongan, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, 2011.

Liswardana, Bayu Isra’. Peran Subsektor Perikanan Tangkap Terhadap Pembangunan Daerah Serta Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan di Kota Pekalongan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2011.

Subani W dan HR Barus. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jakarta : Balai Penelitian dan Perikanan Laut. Departemen Pertanian, 1989.

Syahrani, H. 2001. Penerapan Agropolitan dan Agribisnis Dalam Pembangunan Ekonomi Daerah. Frontir Nomor 33, Maret 2001.

Peraturan Daerah

Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Kota Pekalongan

Internet

http://oss.pekalongankota.go.id/index.php/id/sos-bud/378-demografi

Doktrin Megono Ala Pekalongan, 16 Januari 2013, http://www.askarlo.org/artikel/230-doktrin-megono-ala-pekalongan.html.

Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pengolahan Ikan Kembung, www.pusluh.kkp.go.id/index.../ikan-kembung.pdf/ diakses pada 27 Agustus 2014, pukul 3:20.

Pekalongan, Dari Batik Menuju Industri Perikanan, 4 April 2011 http://www.kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1272:pekalongan-dari-batik-menuju-industri-perikanan&catid=38:ekonomi-dan-dunia-usaha&Itemid=37

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad=rja&uact=8&ved=0CFwQFjAH&url=http%3A%2F%2Fbirohumas.jatengprov.go.id%2Fuserfile%2Ffile%2Fdata%2520potensi%2520kabkota%2FPotensi%2520Daerah%2520Kota%2520Pekalongan.pdf&ei=YZr7U6nLF8aGuASUw4CgBg&usg=AFQjCNGkCjGiq8T-dtcJ2D-urAJmevYppg&bvm=bv.73612305,d.c2E

Suara Merdeka, 24-10-2013

Saputra,Akhwan J Simbolisasi Gunungan Megono, http://sains.kompas.com/read/2009/12/02/13173568/about.html, 2 Desember 2009.

http://www.radarpekalonganonline.com/ciptakan-alat-pencacah-nangka/

[1] Umar Chadiq dkk, Usaha OptimalisasiVolume EksporSektor Pertanian di Kabupaten Batang, Eco-Entrepreneurship Seminar & Call for Paper "Improving Performance by Improving Environment"Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Semarang, 2012, hal. 1.

[2] Mochammad Maksum Machfoedz, Kuliah Kedaulatan Pangan di Program Studi Ketahanan Nasional, Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, 25 Agustus 2014.

[3] Arsyad, L. 2005. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE UGM, Yogyakarta.

[4] Syahrani,H. 2001. Penerapan Agropolitan dan Agribisnis Dalam Pembangunan Ekonomi Daerah. Frontir Nomor 33,Maret 2001.

[5] Kantor Lingkungan Hidup Kota Pekalongan, Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Kota Pekalongan, Pekalongan, 2012.

[6] http://oss.pekalongankota.go.id/index.php/id/sos-bud/378-demografi

[7] Kantor Lingkungan Hidup Kota Pekalongan, op. cit

[8] Ibid.

[9] Badan Pusat Statistik Kota Pekalongan, Hasil Sensus Pertanian 2013, Pekalongan, 2013, hal. 9.

[10] Kementerian Kelautan dan Perikanan, Pengolahan Ikan Kembung, www.pusluh.kkp.go.id/index.../ikan-kembung.pdf/ diakses pada 27 Agustus 2014, pukul 3:20.

[11] Bayu Isra’ Liswardana, Peran Subsektor Perikanan Tangkap Terhadap Pembangunan Daerah Serta Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan di Kota Pekalongan, Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2011, hal. 54.

[12] Liswardana, op. cit., hal. 73.

[13] Ibid., hal. 61.

[14] Kementerian Kelautan dan Perikanan, op. cit..

[15] Ibid.

[16] Liswardana, op. cit, hal. 69.

[17] Ibid., hal. 73-74.

[18]Pekalongan, Dari Batik Menuju Industri Perikanan, 4 April 2011 http://www.kominfonewscenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1272:pekalongan-dari-batik-menuju-industri-perikanan&catid=38:ekonomi-dan-dunia-usaha&Itemid=37

[19] Liswardana, op. cit., hal. 1.

[20] Subani W dan HR Barus. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jakarta : Balai Penelitian dan Perikanan Laut. Departemen Pertanian, 1989, hal. 219-221.

[21]Pekalongan, Dari Batik …, op. cit.

[22]Ibid.

[23]Ibid.

[24] Liswardana, op. cit., hal. 54-55.

[25] Doktrin Megono Ala Pekalongan, 16 Januari 2013, http://www.askarlo.org/artikel/230-doktrin-megono-ala-pekalongan.html.

[26]http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad=rja&uact=8&ved=0CFwQFjAH&url=http%3A%2F%2Fbirohumas.jatengprov.go.id%2Fuserfile%2Ffile%2Fdata%2520potensi%2520kabkota%2FPotensi%2520Daerah%2520Kota%2520Pekalongan.pdf&ei=YZr7U6nLF8aGuASUw4CgBg&usg=AFQjCNGkCjGiq8T-dtcJ2D-urAJmevYppg&bvm=bv.73612305,d.c2E

[27] Doktrin Megono Ala Pekalongan, op. cit.

[28] Suara Merdeka, 24-10-2013

[29]Akhwan J Saputra, Simbolisasi Gunungan Megono, http://sains.kompas.com/read/2009/12/02/13173568/about.html, 2 Desember 2009

[30] Pasal 21 ayat (2) huruf e Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

[31] Peraturan Daerah Kota Pekalongan Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Kota Pekalongan

[32] http://www.radarpekalonganonline.com/ciptakan-alat-pencacah-nangka/

[33] Doktrin Megono Ala Pekalongan, op. cit

[34] Fahriza Aditya Kurniawan, Implementasi Peraturan Tentang Pengendalian Alih Fungsi Tanah Pertanian Ke Non Pertanian Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Kantor Pertanahan Kota Pekalongan, Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, 2011.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun