Mohon tunggu...
Khoerur Roziqin, S.Kom.
Khoerur Roziqin, S.Kom. Mohon Tunggu... lainnya -

Berilah maaf pada orang yang telah menyakiti kamu sebelum orang tersebut meminta maaf pada kamu, niscaya kamu jadi orang yang sabar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tai Ayam

29 April 2010   03:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:31 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hari masih pagi, raja siang baru saja menampakkan batang hidungnya. Ngatiem berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh muka. Dibersihkannya belek dan air liur yang telah mengeringdari wajahnya. Ia mengambil sebuah handuk kecil untuk mengusap sisa air dari wajahnya. Rambut yang dibiarkan tergerai semalaman, kini diikatnya dengan sebuah karet gelang berwarna hijau.

“Haah…” Ngatiem membuka lebar-lebar mulutnya.
“Haah…”Uapan kedua menyusul.
Kakinya melangkah menuju sebuah pintu yang nampak indah dengan ukuir-ukiran burung yang menghiasinya.
“Kreek…”Terdengar suara cekikan ketika Ngatiem membuka pintunya. Tiba-tiba rasa malas yang hinggap ditubuhnya lenyap saat ia melihat tiga tai ayam mengiasi teras rumahnya.
“Wuek…” Ungkapan jijik langsung keluar dari bibir mancung Ngatiem berulang-ulang. Hingga membangunkan suaminya yang sedang asyik bermimpi.
“Ada apa to, bu?” Tanya Katijan sambil membetulkan sarungnya. Dengan sandal jepit putih kesukaannya, Katijan berjalan menghampiri istrinya yang duduk lemas disebuah kursi tua yang nampak lusuh dimakan waktu.
“Lho ibu kenapa?” Dengan dialek Jawa yang masih kental, Katijan bertanya pada istrinya.

Tak ada jawaban dari Ngatiem. Ia hanya menghela nafas sambil menggelengkan kepala. Sementara telunjuk kanannya tertuju kepintu, tangan kirinya memegang hidung mancung kebawah yang menempel diwajahnya.
Saat Katijan membuka pintu, ia tak menemukan sesuatu yang berbeda pada teras rumahnya. Ia menengok istrinya yang nampak kacau pagi ini. Katijan mengamati kembali teras rumahnya denga seksama.
“Wuek…wuek…” Teriak Katijan saat mengalihkan pandangannya kelantai. Ia menyusul istrinya dengan tubuh lebih lemas.Dalam hatinya Katijan berkata, sarapan pagi yang cukup mengenyangkan. Ngatiem meminta suaminya untuk mengambilkan parfum,masker,dan sarung tangan. Namun,Katijan menyarankan agar yang membersihkan tai ayam itu adalah anak laki-lakinya,Yudi.

Yudi adalah anak tunggal dari pasangan harmonis ini. Sudah sebulan ia memelihara ayam. Meski Ngatiem dan Katijan tidak suka dengan ayam, mereka mengijinkan Yudi untuk memelihara ayam. Karena selama ini kebersihan rumah tetap terjaga dan yang pasti terbebas dari tai ayam. Namun, pagi ini Yudi sedang lari pagi. Ia berangkat setelah azan subuh. Terpaksa, Ngatiem harus membersihkan tai ayam itu sendiri.
Akhirnya setelah satu jam berjuang melawan tai ayam, Ngatiem berhasil menjadi pemenang. Ia membaringkan tubuhnya di sofa. Ia tersenyum karena pengorbananya menahan rasa jijik tidak sia-sia. Katijan memberi ucapan selamat atas prestasi yang di raih istrinya. Mereka mengadakan rapat dadakan untuk membahas siapa pemilik ayam yang membuang hajat di teras rumahnya. Setelah menimbang dan menelaah mereka sepakat untuk memberikan gelar terdakwa kepada Asih, tetangga mereka yang tinggal tepat di samping rumah mereka.

Jam berdenting menunjuk pukul 07.00. Katijan berangkat bekerja. Begitu pula Yudi. Ia berangkat setelah membersihkan kandang dan berbagi rizqi dengan sepuluh ayamnya. Sebenarnya ada sebelas ayam. Namun seekor ayamnya pergi beberapa hari yang lalu. Sementara itu Ngatiem sibuk mempersiapkan kata-kata yang pas untuk memarahi Asih. Sesekali ia membuka gorden jendelanya untuk melihat apakah Asih sudah keluar dari peraduannya. Saat ke tujuh kali gorden dibukannya, ia melihat Asih sedang menjemur pakaian. Ngatiem mengeluarkan segenap kemampuanya untuk memanggil Asih dengan suara yang sekeras-kerasnnya. Hal itu tidak membuat Asih heran. Ia sudah terbiasa dengan sikap Ngatiem yang demikian. Ngatiem dan Asih memang sering bentrok. Masalah kecil saja bisa membuat mereka adu mulut seharian. Ngatiem melontarkan semua kata-kata yang telah disusunnya.

“Kalau ada kotoran ayam dirumah ibu. Mengapa ibu marah-marah sama saya. Asal ibu tahu ya, ayam saya itu baik-baik. Nggak ada yang hobinya puph sembarangan. Mereka udah saya sekolahkan di Amerika selama satu tahun.” Kta Asih menanggapi perkataan Ngatiem.

Ngatiem kembali kerumahnya setelah memberikan ultimatum ke Asih. Ia melanjutkan kembali kewajibannya sebagai seorang ibu rumah tangga.

Mentari semakin terik, padahal jarum jam baru menunjuk pukul 10.00. Yudi pulang dengan keringat berkucuran. Ditangannya nampak sebungkus kantong plastic berisi pellet. Dengan sisa tenaganya, Yudi membuka pintu. Tercium bau yang menggoda selera dari dapur. Ternyata Ngatiem sedang menggoreng ikan lele kesukaan suaminya. Sayur asam dan sambal special melengkapi menu makan siang hari ini, yang semakin nikmat dengan adanya dua cangkir kopi. Yudi terus melangkahkan kakinya hingga sampai kekamar mandi. Ia mengguyurkan air keseluruh tubuhnya untuk menghilangkan rasa letih.

Dari luar terdengar suara motor Katijan. Ia pulang lebih awal karena atasannya sedang merayakan pesta penikahan anaknya. Helm putih tua yang telah menemaninya selama lima tahun,ia letakkan diatas spion. Dengan wajah bersemangat, ia membuka tutup makanan.

“Sudah pulang, pak?” Tanya Ngatiem sambil mengusap tangannya yang basah setelah mencuci piring.
“Iya. Bos lagi pesta.” Jawab Katijan singkat.
“Eh,bau apa ini,pak? Sepertinya aku kenal dengan bau ini.” Kata Ngatiem mengerutkan dahi.
“Bau apa to,bu?” Tanya Katijan mencium bajunya.
“Wuek…wuek…!! Ini tai ayam. Kok baunya berasal dari bapak? Coba lihat sepatunya! Tu kan,benar. Berarti…Lantaiku…!” Teriak Ngatiem berlari menuju ruang tamu.

Ternyata benar. Bau kotoran ayam telah menyelimuti ruangan itu. Katijan menyusul istrinya. Rasa mual pun keluar dari mulutnya diiringi dengan kopi yang baru diminumnya. Pasangan suami istri itu mual dengan kompaknya. Mendengar suara itu, Yuda menyudahi terapinya. Ia bergegas menuju sunber bunyi. Ia kaget ketika melihat ruang tamunya dipenuhi kotoran ayam. Rasa kaget itu diiringi dengan rasa ingin tetawa karena melihat orang tuanya mual tanpa henti. Yudi mengambil kain pel dan membersihkan lantainya. Kejadian itu membuat selera makan Katijan dan Ngatiem turun drastis. Mereka tidak jadi makan. Mereka memilih untuk tidur saja. Sesekali rasa mual itu muncul kembali. Sedangkan Yudi sibuk mencari ayam yang menjaili orang tuanya. Namun ia tak menemukannya.
Ngatiem geram. Ia menduga bahwa tai ayam yang menempel disepatu suaminya sama dengan tai ayam yang membuatnya shock tadi pagi. Kali ini ia tidak akan memarahi Asih lagi. Ia berencana untuk menggoreng semua ayam milik Asih sore ini.
Ngatiem dan Katijan mengenakan seragam militer lengkap dengan helm dan goresan cat dipipi. Mereka bekerja sama menangkap lima ekor ayam milik Asih. Rencana selanjutnya mereka membawa ayam-ayam itu ke tempat pemotongan ayam. Setelah ayam-ayam itu dicuci bersih dan bumbu-bumbu telah disiapkan, Ngatiem menggoreng ayam-ayam itu dengan semangat membara.
“Rasakan pembalasanku!” Kata Ngatiem dengan senyum puas.
Ngatiem dan Katijan memandangi dengan seksama ayam goring yang telah terhidang dimeja. Mereka bersama-sama mencium bau sedap yang keluar bersama asap. Bau itu sangat berbeda dengan tai ayam.
“Akhirnya musuh besar kita telah lenyap dari muka bumi ini untuk selamanya.” Kata Katijan terharu.
“Iya. Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa mereka.” Kata Ngatiem lirih.
Ayam goring pun menjadi menu utama makan malam keluarga Katijan. Beberapa potong ayam mereka sisakan untuk diberikan kepada tetangga mereka tercinta,Asih. Tentu kedatangan Ngatiem dengan sebuah mangkok besar berisi ayam goring membuat Asih heran. Tadi pagi Ngatiem memarahinya,tapi kini Ngatiem datang dengan wajah manis. Ayam goreng yang dibawanya membuat air liur Asih keluar. Ngatiem mengucapkan kata maaf sambil menyodorkan mangkoknya. Dengan senyum lebar Asih menyambar mangkok tersebut. Asih mengatakan bahwa ia telah melupakan kejadian tadi pagi. Namun,bukan kejadian tadi pagi yang membuat Ngatiem mengucap kata maaf. Asih bingung. Kalau bukan yang tadi pagi,lalu yang mana?
“Tadi sore tanpa sepengetahuanmu saya dan suami saya telah menangkap semua ayammu. Kini ayam-ayam itu telah tersaji dimangkok yang kamu bawa.” Kata Ngatiem tersenyum manis.
“Apa? Wah,ibu sungguh terlalu. Belum tentu kan ayam saya yang telah mengotori rumah ibu. Lagipula kalau memang itu benar,bukan seperti ini caranya. Ayam saya juga berhak untuk hidup.” Kata Asih kesal.
Ngatiem tidak mempedulikan perkataan Asih. Ia malah menjawab bahwa sebenarnya ia berniat untuk melaporkan Asih kekantor polisi dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan. Ia juga menambahkan bahwa emang benar ayam-ayam yang dibunuhnya berhak untuk hidup. Namun,mereka tidak punya hak untuk berkeliaran dirumahnya. Apalagi meninggalkan kotorannya bisembarang tempat. Ngatiem pulang dengan perasaan puas dan senang. Meninggalkan Asih yang lagi kebakaran jenggot.
“Kukuruyuuuk…!” Suara ayam jago mendendangkan lagu favoritnya.
Ngatiem bangun dari ranjangnya dengan senyum sumringah. Sudah tiga hari ini ia terbebas dari tai ayam. Ia berjalan membuka jendela dan pintunya.
“Wuek…!” Siapa sangka insiden tiga hari lalu terulang kembali. Kini lima tai ayam menyapanya. Pemilik lima tai ayam ini seolah ingin membalaskan dendam teman seperjuangannya yang tewas mengenaskan diatas wajan Ngatiem. Dengan spontan Ngatiem pun berteriak memanggil suami dan anaknya. Katijan dan Yudi pun segera menghampiri Ngatiem. Seperti biasa,Katijan ikut mual. Ngatiem dan Katijan pergi meninggalkan benda mengerikan itu. Sedangkan Yudi mengamati tai ayam itu dengan kaca pembesar. Tai ayam itu terlihat masih basah. Yudi mencari tersangka yang membuat orang tuanya mabuk kepayang. Seekor ayam hitam yang bersembuyi dibalik pot bunga menarik perhatiannya. Ayam itu taka sing baginya. Itu adalah si Item,ayam jago miliknya yang mengijak masa remaja. Ia menghilang beberapa hari yang lalu. Yudi membawa ayam tersebut kedalam rumah.
“O…Jadi monster ini pelakunya. Tapi ayam siapa ini? Bukankah semua ayam milik Asih telah kita bunuh semua?” Tanya Katijan heran.
Yudi tak menjawab pertanyaan bapaknya. Ia hanya tersenyum dan membawa ayam itu kebelakang rumah untuk dipertemukan kepada saudara-saudaranya yang telah merindukan kedatangan ayam hitam yang dibawanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun