Pendapat kedua ini lebih moderat dan sepertinya memudahkan. Karena memang agama ini mewajibkan kita untuk mengikuti ahli ilmu;Â "bertanyalah kepada ahli ilmu"Â (an-Nahl/16: 34) tapi dalam perintah-Nya tidak ada pengkhususan kepada ahli ilmu manapun. Jadi selama memang ia adalah seorang mujtahid, layak untuk diikuti, dan tidak harus selalu satu, bisa dan boleh seorang muslim beralih ke ahli ijtihad yang lain. Negatifnya, pendapat ini dikhawatirkan membuka pintu fatwa prematur yang dihasilkan oleh orang-orang yang tidak mampu. Karena sudah terbiasa pindah sana sini, ia beranggapan bahwa seperti tidak ada masalah kalau ia melahirkan pendapat baru, padahal dirinya bukan orang yang layak. Sedangkan pendapat ketiga ini sejatinya sama seperti pendapat pertama, hanya saja ada perkembangannya. Dan sisi kelemahan dari pendapat ini, sama seperti kelemahan pendapat pertama.
Sebaiknya seorang muslim itu dalam beribadah, segala amalnya itu punya sandaran argumen yang kuat dan bukan mengada-ngada. Karenanya, tidak dibenarkan seorang muslim beribadah dan mengamalkan ajaran agama tanpa mendapat bimbingan seorang ahli agama yang bisa menjadi akses baginya menuju para mujtahid-mujtahid yang ada. Dengan bahasa yang lebih dekat "berguru kepada guru", bukan kepada buku, apalagi zaman internet yang sama sekali tidak bisa dipertanggung jawabkan. Dengan bahasa lain madzhab awam itu madzhab gurunya. Jadi apapun yang diajarkan gurunya, itulah madzhab yang ia harus ikuti. Jangan sekali-kali mencoba untuk menafsirkan dan meneliti ayat serta hadits sendirian yang akhirnya justru menghinakan al-Qur'an itu sendiri bukan memuliakan, karena ditafsiri serampangan dengan nalar yang dangkal dan metode asal-asalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H