Perlahan aku mulai melupa, entah apa lupa yang aku maksud aku kembali lupa.Â
Mulai hal kecil, hingga hal-hal besar perlahan ku lupa. Disudut kedai kopi, yang entah aku lupa apa yang terputar lagu waktu itu, aku terduduk dalam waktu yang lama.Â
Perasaan ku pada saat itu aku hanya saja tidak ingin pulang, hanya ingin duduk terdiam memandangi beberapa orang berbincang. Sederhana, aku hanya ingin mendengarkan orang berbicara. Lucu bukan, tapi itu sepertinya cukup untukku hari itu.Â
Lagi, hari-hari itu terulang lagi.Â
Beberapa orang lagi-lagi menegaskan diri ini, bahwa diri ini sendiri. Seberapa kau membentuk keramaianmu, kau itu sendiri, katanya. Tersentak, hingga air tak tertelan dan nyangkut dilangit-langit tenggorokan.Â
Apa maksud dari ucapan itu, mengapa ia begitu menekankan bahwa diri ini sendirian.Â
Aku suka keramaian, walau bukan aku yang menciptakan itu. Aku suka bersama orang-orang, walau mereka tidak membersamaiku. Hahaha begitu tawaku, sepertinya. Kan aku lupa.Â
Beberapa waktu lalu, aku merasa hati begitu lemah, hingga air mata mampu mudah mengeluh. Bukannya hari tetap akan berlalu? Bukannya langit akan terus tersenyum?Â
Kemarin sepertinya tawa begitu keras terasa dalam hujan yang begitu deras.Â
Guntur pun membersamai tawaku. Sekali lagi, aku tidak sendirian. Walau aku kehabisan cara, bagaimana untuk pelangi menjadi kawanku.Â
Kini dalam gelapnya pagiku, ku senjakan fajarku.Â