Mohon tunggu...
Rozana Fakhrunnisa
Rozana Fakhrunnisa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Psikologi

Never give up on your dreams!

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengenal Apa Itu Quarter Life Crisis dan Bagaimana Menanganinya

30 Oktober 2021   19:37 Diperbarui: 30 Oktober 2021   19:58 983
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saat ini kalimat quarter life crisis sudah tidak asing lagi didengar, terutama bagi kaum muda. Topik ini sering sekali dibahas, terutama pada platform-platform online seperti YouTube, Instagram, dan bahkan juga dibahas dalam podcasts Spotify karena banyak sekali muda-mudi yang merasa tertekan dengan tuntutan hidup yang ada. 

Penting sekali untuk membahas topik ini. Dengan membahas apa yang menjadi permasalahan pada quarter life crisis kita dapat mencari solusi yang tepat dalam menghadapi fase yang menjadi fase krisis dalam transisi untuk menjadi orang dewasa.

Quarter life crisis terjadi pada fase quarter life yang merupakan masa transisi bagi individu dalam mengatasi berbagai krisis. Pada fase ini banyak sekali terjadi drama kehidupan karena pada tahap ini orang-orang yang berusia antara 20-30 tahun diliputi oleh berbagai krisis yang membuat keadaan psikologisnya berbeda dengan fase lainnya.

Pada fase quarter life crisis ini banyak sekali kegalauan yang terjadi seperti insecurity, kekhawatiran, ragu akan diri sendiri, atau bahkan kebingungan dalam menentukan tujuan hidup dan kurangnya motivasi. Hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya tekanan yang ada, baik dari lingkungan maupun diri sendiri. Khawatir akan masa depan mungkin salah satu yang menjadi permasalahan pada fase quarter life crisis. 

Waktu kecil, kita ingin sekali cepat menjadi orang dewasa. Namun setelah beranjak dewasa, kenyataannya banyak sekali permasalahan yang harus kita hadapi: Kapan lulus kuliah? Kapan menikah? Mau punya anak berapa? Kerja di mana? dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang dapat menjadi sumber tekanan. 

Hal ini sering dirasakan oleh orang-orang usia 20-an. Seringkali kita juga membandingkan dengan apa yang sudah dicapai orang lain. "Wah, dia masih muda tapi sudah sukses. Sedangkan aku hanya menjadi beban keluarga". Kalimat ini seringkali terucap pada orang-orang usia 20-30 tahun yang sedang mengalami kegalauan dalam menentukan masa depan.

Ketidaksesuaian antara harapan atau cita-cita dengan realita yang harus dihadapi juga dapat menyebabkan krisis pada fase quarter life. Disamping itu ekspektasi diri dan lingkungan, seperti dari keluarga juga membuat orang pada usia 20-30 tahun merasa tertekan. 

Tidak dapat dipastikan secara jelas jumlah atau presentase orang-yang pernah mengalami quarter life crisis, namun melansir Lifehack, survei yang dilakukan LinkedIn, 75% orang berusia 25-33 tahun pernah merasakan quarter life crisis di seluruh dunia.

Dalam fase quarter life crisis, terdapat beberapa permasalahan yang menyangkut permasalahan psikologis. Permasalahan-permasalahan yang ada tersebut merupakan bagian dari self esteem, psychological well-being, self efficacy, dan self acceptance.

Menurut Robinson (2018), krisis yang dialami oleh individu merupakan akibat dari kurangnya penerimaan diri serta kurang mampu mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya dalam mengupayakan pengembangan diri dan berakhir pada kegagalan akan mempengaruhi self esteem (harga diri).

Psychological well-being merupakan kesejahteraan psikologis, yang mana salah satunya terdapat unsur self acceptance. Pada fase quarter life crisis ini self acceptance memiliki pengaruh terhadap individu dalam menghadapi krisis. Individu yang tidak dapat menerima dirinya dan tidak mampu mengevaluasi dirinya maka akan rentan terhadap krisis. Mereka menjadi cenderung sulit untuk mengambil keputusan dalam menghadapi  permasalahan.

Selain itu terdapat self efficacy yang tak kalah penting dalam menghadapi krisis yang dialami oleh individu yang berusia dewasa awal. Bandura (dalam Hoy, 2004) menyatakan bahwa rendahnya self efficacy dapat mengakibatkan kecemasan yang berakibat pada perilaku menghindar. Individu menjadi kurang dalam keterampilan mengelola dan mengambil keputusan karena cemas terhadap kejadian yang belum terjadi, mudah tertekan, dan selalu membandingkan diri dengan orang lain

Fischer (dalam Dhiyaaulhaqq, 2021) menarangkan quarterlife crisis selaku sesuatu perasaan yang muncul di kala seseorang orang menggapai umur pertengahan 20 tahun dan terdapat perasaan takut terhadap kehidupannya di masa yang akan datang, termasuk karier, kedekatan, dan kehidupan sosial.

Robbins & Wilner (2001) berpendapat ada tujuh aspek tanda bahwa individu mengalami quarter life crisis sebagai berikut:

Mengalami kebingungan dalam mengambil keputusan

  1. Adanya rasa putus harapan
  2. Adanya  penilaian negatif pada diri sendiri
  3. Akan terjebak dalam keadaan sulit
  4. Mengalami perasaan khawatir tentang masa yang akan datang
  5. Mengalami perasaan tertekan
  6. Adanya rasa khawatir terhadap hubungan interpersonal (teman, keluarga, pasangan)

Ketika seseorang mengalami quarter life crisis, ada beberapa cara dalam menghadapi quarter life crisis, sebagai berikut:

Pertama, berhenti untuk membandingkan diri dengan orang lain dan kenali diri lebih baik. Membandingkan diri sendiri dengan orang lain hanya akan membuat semakin khawatir. Daripada membandingkan hidup dengan orang lain, lebih baik mencari tahu kehidupan yang benar-benar diinginkan. 

okuslah pada bagaimana kita menghabiskan hari itu sebaik mungkin. Yakinlah bahwa kami secara bertahap akan memahami keinginan dan tujuan Anda, bahkan tanpa kesadaran kami (Rahmania & Tasaufi, 2020).

Kedua, ubahlah keraguan menjadi tindakan. Ketika seseorang mengalami kebimbangan dalam hidup, gunakanlah sebagai kesempatan untuk menentukan tujuan baru. Isilah hari-hari dengan hal-hal positif, dan carilah jawaban atas keraguan.

Ketiga, temukan seseorang yang bisa menjadi support system. Bersama orang yang dapat mendukung impian dan ambisi serta menjadi cara untuk menghadapi krisis seperempat kehidupan.

Keempat, cintailah diri sendiri. Saat berada dalam fase quarter life crisis, kita mungkin cenderung mengabaikan kebahagiaan yang sebenarnya kita miliki. Sedangkan untuk mencapai tujuan hidup, terlebih dahulu kita harus menghargai serta mencintai diri sendiri.

Kelima, batasi penggunaan media sosial. Media sosial seringkali membuat kita merasa minder atau kurang berharga. Salah satunya adalah karena kita membandingkan pencapaian kita dengan mereka. Baik itu membandingkan kesuksesan, penampilan, dan kehidupan bahagia. Oleh karena itu, cobalah untuk membatasi penggunaan media sosial dan fokus pada hidup di masa sekarang (Aisy dalam Syifa'ussurur dkk, 2021).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun