PUTIH DAN PILU
Hari itu, sinar matahari menyinari mataku. Di sebuah pohon besar di dalam hutan aku terbangun. Saat aku ingin beranjak dari sana, ada hal aneh yang terjadi padaku. Ya, aku hilang ingatan. Namun, aku masih mengingat namaku dan nama kampung halamanku. Entah mengapa aku merasa harus kembali ke sana, ke Nagariku sesegera mungkin. Aku yang bernama Rajo Basa ini akan kembali ke kampung halamanku bagaimanapun caranya.
Aku mengambil air di dalam botol minumku dan meneguknya. Tak lama setelah itu, aku bergegas pergi keluar dari hutan tersebut. Setelah berhasil keluar, terlihat sebuah kota di tepi laut. Disana aku berpikir mungkin bisa mendapatkan informasi mengenai Nagariku. Namun, saat aku tiba di sana semuanya mengatakan kalau Nagariku itu letaknya lumayan jauh dari sini. Dari seluruh informasi yang kudapat, butuh lebih kurang tiga hari untuk sampai kesana, dan sarana satu-satunya yang bisa membawaku kesana hanyalah kapal. Aku pun berangkat dengan kapal tersebut pada sore hari. Disana aku mencoba mencari informasi yang lebih detail lagi mengenai Nagariku dan aku bertemu seorang nenek tua disana. Ia memberiku sebuah peta. Saat itu juga kepalaku tiba-tiba sakit. Aku mulai menyadari bahwa ingatanku telah kembali.
“Ternyata begitu ceritanya”, gumamku. Aku ternyata sedang merantau. Orang tuaku adalah salah satu petinggi di Nagariku. Ketika suatu hari aku ingin mencari ranji keluargaku dan juga sebuah buku sejarah tentang terbentuknya Nagari Miangkabau di perpustakaan, aku dihentikan oleh ayahku. Ayahku berkata, “Kalau kau ingin mengetahui segalanya, maka pergilah merantau. Lalu ketika kau sudah merasa pantas kembalilah kesini dan buktikan itu kepada Ayah dan Ibumu”. Sudah tiga tahun lamanya, dan sepertinya aku sudah seharusnya kembali. Akan tetapi mengapa aku bisa sampai lupa ingatan? Aku tak kunjung menemukan jawabannya. Jawaban yang paling masuk akal yang bisa kudapatkan adalah kepalaku terbentur karena terjatuh dari pohon. Nenek yang kutemui tersebut mengatakan bahwa aku bisa memiliki peta ini.
Tiga hari telah berlalu dan akhirnya aku sampai di sebuah pelabuhan yang sudah tak asing lagi di mataku. Aku turun dari kapal dan melanjutkan perjalananku karena membutuhkan waktu lebih kurang setengah hari lagi agar aku bisa sampai ke tempat tujuanku. Nagariku berada di dekat Gunung Marapi, sesuai yang tergambar pada peta ini. Nagari pada saat ini terbagi menjadi dua, yaitu Nagari Pariangan dimana tempatku tinggal dan Nagari Padang Panjang. Disana terdapat juga tiga Luhak, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan juga Luhak Lima Puluh. Aku menjadi tidak sabar untuk menemui orang tuaku kembali.
Akan tetapi, ketika aku sampai disana, aku disambut dengan kabar duka. Kedua orang tuaku telah meninggal dua tahun yang lalu. Aku tidak tau alasan mengapa mereka mati karena penduduk disana tidak mau memberitahuku. Aku ditunjukkan dimana makan orang tuaku. Setelah aku melayat aku langsung bergegas pergi. Tentu saja aku menangis dan sangat sedih, namun sekarang aku harus mencari penjelasan terlebih dahulu. Kemudian, oleh salah satu warga aku disuruh untuk menemui seorang pria di Nagari Padang Panjang. Sekejap aku langsung tau siapa beliau karena ia merupakan mamak ibuku. Aku memutuskan untuk pergi besok karena hari ini sudah hampir malam.
Keesokan paginya, akupun akhirnya pergi. Aku sampai disana saat siang hari. Sang Mamak tersebut sudah menungguku di luar rumahnya. Senyumnya sangat tulus sekali. Aku dapat merasakannya. Aku dipersilahkan masuk kedalam rumahnya dan akhirnya kami berbicara satu sama lain. Setelah itu, aku diberikan sebuah kotak kayu yang lumayan besar. Kata beliau ini merupakan peninggalan dari Ayahku yang ia titipkan disini atas permintaan dari ibuku. Alasannya karena disini hal tersebut lebih aman. Aku memahaminya dan mulai membuka kotak tersebut. Disana terdapat sebuah kain putih yang menyelimuti seluruh isi kotak tersebut beserta dua buah kertas putih bersih yang tergulung dan diikat dengan pita merah.
Aku membuka kertas pertama dan kertas tersebut berisi ranji yang selama ini kucari. Ternyata aku berasal dari suku Chaniago. Begitu pula dengan Mamak yang berada di depanku ini. Aku terharu sekaligus senang dengan ini. Lalu, aku membuka kertas kedua dan membacanya. Disana dituliskan sebuah pesan terakhir dari kedua orang tuaku. Isinya kurang lebih tentang pesan untuk diriku agar aku menjadi lebih baik kedepannya. Melihat itu, aku tersenyum. Lalu, di ujung akhir surat tersebut terdapat tulisan “Jagalah Nagari ini”. Sesaat setelah itu, aku meneteskan air mata. Aku menyesal karena belum sempat mengucapkan permintaan maafku kepada mereka dan aku juga tidak sempat berterima kasih kepada mereka selama ini. Semuanya sudah terlambat. Aku menyesal. Namun, apa boleh buat. Aku tidak bisa terlalu berlarut-larut meratapi kejadian yang sudah berlalu.
Sang Mamak kemudian menyerahkan sebuah buka tebal. Ia berkata, “Kau boleh memilikinya. Ini merupakan langkah awal dalam tugasmu untuk menjaga Nagari ini”. Bukunya sudah tua dan berdebu, namun masih bisa dibaca. Itu merupakan buku sejarah Nagari Minangkabau yang selama ini kucari. Kata Mamak, buku ini merupakan titipan juga dari orang tuaku dulu. Aku sangat bersyukur dan aku berjanji akan menjaga dan membaca buku ini dengan baik, lalu aku akan menjaga Nagariku yang sangat kucintai ini.
Aku lalu bertanya kepada Sang Mamak terkait alasan mengapa orang tuaku meninggal. Sang Mamak pun bercerita panjang lebar. Intinya pada dua tahun yang lalu kedua orangtuaku terlibat dalam kecelakaan. Ayahku langsung meninggal, namun ibuku tidak. Ia berhasil diselamatkan untuk sementara waktu, akan tetapi ia juga meninggal beberapa hari kemudian. Alasan mengapa para penduduk disana tidak ingin menceritakannya kepadaku karena mereka takut aku akan depresi parah dan akhirnya mencoba untuk bunuh diri. Padahal aku tidak pernah berpikiran seperti itu. Memang kenyataan yang pahit, akan tetapi aku akan berusaha tegar dalam menghadapinya.
Tak terasa hari sudah sore semenjak aku datang kesini. Akupun memohon izin pamit dan berterima kasih kepada Sang Mamak. Beliau berkata mampirlah lagi lain kali. Akupun menjawab, “dengan senang hati”. Aku ingin cepat-cepat kembali dan membaca buku tebal ini. Karena aku ingin meneliti seberapa akuratkah Tambo yang sering kudengar dulu dengan isi buku ini. Aku selalu penasaran dengan hal itu.
Sesampainya dirumah aku beristirahat sebentar lalu merenung. Apa yang telah terjadi padaku selama tiga tahun di dunia rantau. Banyak suka, banyak pula duka. Namun, aku mengerti mengapa Ayahku menyuruh aku merantau karena dengan hal tersebutlah aku bisa menjadi pribadi yang mandiri dan kuat. Terkadang kita membutuhkan bantuan orang lain dalam menjalani hidup, terkadang pula kita tidak bisa terus bergantung kepada orang lain. Ada kalanya kita harus menyelesaikan masalah sendiri dan tak ada yang mau membantu. Lalu, ketika seseorang meninggalkanmu kau akan tegar dalam menghadapinya. Setidaknya hal tersebutlah yang aku dapatkan dari dunia rantau. Walapun kedua orang tuaku telah pergi meninggalkanku, pelajaran yang ia berikan kepadaku tidak akan kulupakan seumur hidupku. Layaknya kertas dan kain berwarna putih, aku tak boleh terpaku pada masa lalu dan harus selalu melangkah ke depan untuk menjadi lebih baik lagi. Itulah yang harus kulakukan demi membahagiakan kedua orangtuaku yang telah tiada dan memenuhi kewajibanku dalam menjaga Nagari yang kucintai ini.
Catatan :
Cerita ini bersifat fiktif tanpa bermaksud untuk menyinggung pihak siapapun. Saya Pribadi memohon maaf apabila terjadi kemiripan nama, tokoh, ataupun latar cerita terhadap cerita yang saya buat. Cerita ini dibuat demi memenuhi tugas Etnografi Minangkabau yang diberikan oleh dosen pengampu.
Biodata Penulis :
NAMA : ROZAN ARSILIAN PRATAMA
NO. BP : 2010752024
KELAS : ETNOGRAFI MINANGKABAU, FAKULTAS ILMU BUDAYA
JURUSAN : SASTRA JEPANG, UNIVERSITAS ANDALAS
JENIS TUGAS : CERITA PENDEK (CERPEN)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H