Kelompok radikal terorisme terus bergerak dan mempersiapkan diri mereka untuk menimbulkan kekacauan di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini bukan bermaksud untuk menakuti-nakuti. Akan tetapi kita justru perlu selalu mewaspadai karena mereka telah mengancam keutuhan NKRI.
Setidaknya demikian data-data intelejen yang diungkapkan Badan Intelejen Strategis (BAIS), Badan Intelejen Negara (BIN), dan Intelejen dan Keamanan (Intelkam) Polri. Berdasarkan analisa lembaga-lembaga tersebut, sejumlah ancaman terorisme di nusantara telah terendus aktivitasnya di beberapa daerah di Indonesia.
Konon, kelompok militan terorisme telah melakukan konsolidasi menghimpun kekuatan penuh untuk “berjihad” baik di tanah air maupun ke negara lain. Kekacauan di dalam negeri bentuk dan motifnya seperti aksi teror dan kekerasan yang pernah kita alami sejak dua puluh tahun terakhir ini.
Berdasarkan penelusuran intelejen, aksi kelompok radikal terorisme sudah pada tahap penyelundupan senjata api dan bahan peledak. Mereka memanfaatkan lemahnya negara kita dalam tindak pengawasan wilayah perbatasan. Alhasil, dengan mudahnya terjadi transaksi keluar-masuk orang dan sejata. Inilah yang dikatakan sejumlah personil badan intelejen bahwa bahaya yang sedang mengintai Indonesia tengah ‘menunggu waktu’.
Mengingat akan risiko dan ancaman tersebut, berbagai persoalan di wilayah perbatasan di Indonesia tentunya makin krusial untuk segera diantisipasi. Memang, pengelolaan manajerial wilayah perbatasan tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Wilayah perbatasan adalah area ang paling potensial terjadinya sejumlah aksi kejahatan yang bersifat transnasional, terutama permasalahan terorisme. Sejumlah persoalan ‘khas’ wilayah perbatasan menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi sejumlah instansi terkait yang menangani wilayah perbatasan.
Kalau kita perhatikan, secara teritori Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia, Fiipina, Singapura, Papua New Guenea,Timor Leste, dan Australia. Kondisi itulah yang menyebabkan posisi perbatasan Indonesia menjadi rawan dan rentan terhadap sejumlah ancaman, salah satunya terorisme.Hal itu menjadi masalah besar bagi Indonesia .
Lantaran itu, langkah bersama dalam mengantisipasi bahaya terorisme baik lewat stakeholders atau birokrasi di perbatasan maupun masyarakat umum lain perlu terus ditingkatkan. Pengawasan dan sejumlah kerja sama antar lembaga terkait penanggulangan terorisme juga perlu terus digalakkan
Memang diakui, permasalahan kerja sama antar pemangku jabatan perbatasan masih lemah. Persoalan rendahnya antisipasi dalam penegakan hukum makin memperparah keadaan. Secara konkret, Undang-Undang Indonesia soal anti terorisme yang jauh lebih lemah dibanding perundangan di luar negeri.
Meski begitu, tak ada yang tak mungkin selama kita berupaya maksimal untuk meningkat semua potensi. Dalam konteks Indonesia, pengawasan dan perbaikan sistem perbatasan wilayah merupakan satu hal yang sangat krusial. Apalagi mengingat luas wilayah Indonesia dan banyaknya wilayah perbatasan yang mengitari pulau-pulau Nusantara.
Kita akui, penanganan terhadap ancaman ini tidak selalu mudah dilaksanakan. Kita harus mengingatkan agar para stakeholders di wilayah perbatasan selalu meningkatkan kerja sama dan menghilangkan ego sektoral masing-masing. Pengalaman di lapangan membuktikan bahwa minimnya sinergi dan koordinasi antar stakeholders perbatasan merupakan penyebab utama lemahnya pengawasan wilayah perbatasan. Nah, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) salah satunya bertugas untuk mengoordinasikan sejumlah birokrasi di wilayah perbatasan.
Kita patut mengapresiasi langkah BNPT yang telah menggelar berbagai rangkaian kegiatan koordinatif yang berupaya mensinergikan antar pejabat atau birokrasi di wilayah perbatasan. Semoga keamanan, kedamaian, ketenteraman di Indonesia tetap terkondisikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H