Awal tahun 2020, hampir semua resolusi yang lahir saat pergantian tahun kemarin, mandek di tengah jalan. Ibarat perjalanan panjang menuju suatu tujuan, ia terpaksa berhenti di rest area yang tak jauh dari titik awal keberangkatan. Covid-19 memaksa kita mencari jalan lain untuk tetap bisa sampai pada tujuan semula, atau bila tidak, kita harus mengganti tujuannya. Inilah kenyataan yang harus dihadapi.
Selain perihal resolusi, pandemi ini berdampak juga pada berbagai hal termasuk babagan percintaan. Banyak pasangan yang mendadak LDR: Lockdown Distance Relationship. Ini sangat menyiksa terlebih bagi mereka yang merupakan pasangan baru. Tak sedikit pula yang berujung putus hubungan karenanya. Alasannya bukan lagi fokus UN, sebab UN telah dihapuskan oleh Mendikbud. Tapi fokus memerangi Covid-19. Ya memang sama-sama tak masuk akal, namanya juga alasan.
Yang menarik untuk dianalisa ialah keluhan orang-orang yang tak pandai bersyukur. Terlepas ia jomblo atau punya pacar, yang namanya tak bisa bersyukur pasti ada saja yang dikeluhkan. Seperti ini misalnya:
"Enak ya punya pacar, bisa scroll chat kalau gabut. Lah yang jomblo, cuma bisa scroll berita, tambah stres jadinya."
"Punya pacar tapi berasa jomblo, doi sibuk terus, nggak pernah dapat perhatian."
"Pacaran kok bawaannya berantem terus, hal-hal kecil diributin, bikin males aja."
Apa yang sebenarnya dicari orang-orang itu? Apakah sebuah status bahwa ia pacaran? Penanda dirinya ternyata laku entah karena parasnya, uangnya, atau keilmuannya. Jika demikian, lalu kenapa ia keluhkan keadaanya yang kadang tak mendapat perhatian, sering berantem, dan lain sebagainya. Padahal tujuannya sudah didapat bukan? Sebuah legitimasi bahwa ia tidak jomblo. Atau yang dicari ialah nilai dari cinta: kasih sayang, menumbuhkan, dan menghidupkan. Meskipun tak punya legitimasi, bahwa ia ternyata bukan seorang pasangan dari siapa pun.
Orang tak benar-benar takut ketinggian melainkan hanya takut jatuh. Pun orang tak benar-benar takut jatuh cinta, mereka hanya takut akan jawabannya. Sementara cinta itu bukan pertanyaan atau tawaran yang butuh jawaban, cinta hanya perlu diungkapkan dan dibuktikan. Saya juga sepakat dengan Mahatma Gandhi bahwa cinta adalah hak preogratif bagi orang-orang yang berani. Jadi cinta hanya butuh keberanian, ungkapkan, dan pembuktian.
Mereka yang berpikir prasyarat cinta ialah legitimasi semu; pengakuan dari luar bahwa ia telah melapas masa lajangnya (baca:pacaran). Cintanya juga semu, tampak manis dari luar tapi kosong isinya. Inilah yang kemudian dikeluhkan sebagian orang, "Punya pacar tapi berasa jomblo, tanpa perhatian, penuh pertikaian, dan lain sebagainya."
Legitimasi cinta sesungguhnya ialah ikatan suci, pengakuan dari agama dan negara. Toh janur kuning melengkung saja masih bisa diluruskan, apalagi cuma pacaran. Di luar daripada itu. Tiada yang lebih romantis dari sepasang lelaki dan perempuan yang menyusuri jalan, menyambangi orang-orang kelaparan, dan memberinya makan. Itulah cinta yang berbuah, yang kebahagiaannya tak hanya dirasakan berdua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H