"Sebentar lagi, rasa lapar kita akan berubah jadi kenyang. Tak lama setelah pesanan kita datang. Berbeda dengan orang-orang lapar di emperan pasar Beringharjo, maupun bapak-bapak becak kayuh di jalanan itu. Untuk mengubah rasa lapar jadi kenyang, mereka harus mengeluarkan keringat dulu, mengayuh becak beberapa kilometer dulu."
Cika terdiam. Beberapa detik mendadak tak ada suara diantara Bejo dan Cika, hingga pesanan mereka datang.
"Sudah datang, ayo kita makan. Tak perlu berkeringat dulu kan untuk kenyang, malahan nanti keringat kita keluar kalau sudah kenyang." Ucap bejo sambil melempar senyum ke arah Cika.
Mereka makan dengan lahap, tak satu pun nasi tersisa di piring Bejo. Berbeda dengan Cika, ia menyisakan sambal dan sedikit timun. Mereka berkeringat karena makan pedas. Dan benar saja seperti dikatakan Bejo di awal.
"Masih lapar, Cik?" Tanya Bejo sambil mengusap keringat yang mengalir dari pelipis.
"Kenyang, Jo. Kan sudah makan."
"Ingat-ingat rasa kenyangmu sekarang, Cik, juga rasa-rasa yang lainnya. Kelak, kita bisa cerita seperti apa macam rasa dalam hidup ini dan bagaimana kita melaluinya. Tentu ceritanya tak menarik, kalau kita melaluinya dengan kemurungan."
Cika mengangguk, tak lama ia tersenyum sembari berdiri dan mencangklong tasnya. Ia hendak membayar makan, tapi Bejo lebih dahulu beranjak untuk membayarnya. Tak seperti biasanya, Bejo selalu pura-pura mencari kesibukan agar dibayarin terlebih dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H