Salam xixixi....
Langsung saja pemirsah, saya tertarik dg film "99 Cahaya di Langit Eropa" karena beberapa hal.
Pertama karena film ini mengandung unsur Fatin Shidqia. Saya tahu dan beli novelnya juga gara-gara Fatin. Meskipun hanya jadi cameo, usaha Hanum Salsabila mengajak Fatin ikut main di film ini adalah ide brilian! Fatin punya faktor x dan fanbase massa yg cukup banyak. Bisa dipastikan, para penggemarnya baik Fatinistic resmi, Fatinistic liar, Fatinistic jinak, maupun Fatinistic yg masih dalam penangkaran dan karantina, akan berbondong-bondong nonton film ini. Dan saya yakin, sebagian mereka bukan karena ingin tahu cerita filmnya seperti apa, tapi cuma pingin lihat aktingnya Fatin saja, xixixi. Saya ndak tahu apakah nanti pas nonton tetap dg mules berjamaah juga. Tapi saya yakin kok, di film ini Fatin tidak bakal lupa lirik atau lupa dialog. Jadi, tenang saja bos!
Awalnya saya bertanya-tanya, kira-kira di film ini Fatin memerankan siapa ya? Jadi tokoh utama, Hanum? sepertinya tidak. Jadi Rangga, suami Hanum? mustahil. Jadi Mantili atau Lasmini? Ndak mungkin, karena ini bukan film laga Saur Sepuh. Jadi Mak Lampir? Apalagi ini, yg bener aja! Jadi Ngatijo? Siapa pula ini! Dan ternyata di film ini Fatin jadi dirinya sendiri, tokoh tambahan. Saya baru tahu kalo memerankan diri sendiri itu juga disebut akting, xixixi....
Kedua, di film ini juga ada Raline Shah. Gadis dg kadar kemanisan yg cukup untuk memicu diabetes ini adalah mantan pacar saya. Sampai sekarang kabarnya doi masih belum punya pacar lagi karena susah move on dan katanya masih mengharapkan saya. Aduh, saya jadi nggak enak sendiri. Maaf ya Raline, bukan saya tidak mau, tapi sepertinya saya lebih pantas jadi sopirmu, xixixi....
Ketiga, setelah membaca novelnya, saya jadi penasaran kira-kira nanti jadinya seperti apa setelah diangkat ke layar lebar. Jujur saja, saya bukan penggemar setia film Indonesia. Apalagi ini film adaptasi dari novel. Biasanya film yg diangkat dari novel menyisakan sebuah gap (atau apalah istilahnya) antara imajinasi pembaca novel dg karakter tokoh dan cerita yg ada di filmnya. Selain itu, saya jadi penasaran karena cerita di novelnya tergolong datar, tidak ada konflik yg sengit dan mengerucut. Cerita di novel ini ditulis mengalir layaknya buku harian karena memang kisah nyata pengalaman Hanum Salsabila Rais dan suaminya, Rangga Almahendra, selama mereka tinggal di Wina, Austria. Semoga saja Guntur Soeharjanto, sutradara film ini, bisa mengemas alur ceritanya jadi lebih menarik. Yg jelas, dari penampakan visual saya yakin film ini cukup wah, karena settingnya 100% di Eropa.
Keempat, selain tentang persahabatan dan keteguhan memegang prinsip di lingkungan minoritas, film ini juga bercerita tentang sejarah peradaban Islam di Eropa. Kebetulan saya cukup menggemari sejarah, walaupun amatiran. Bagi yg pernah membaca sejarah pastinya paham betul bagaimana hubungan antara Islam dan Eropa di masa lalu. Dalam novelnya, banyak diangkat fakta-fakta baru yg sebelumnya mungkin belum banyak diketahui orang. Jika dikemas dg model petualangan ala detektif, sepertinya hal ini bisa jadi menarik.
Kelima, salah satu settingnya adalah Andalusia. Jika bicara tentang peradaban Islam di Eropa, pastinya orang tidak bisa lepas dari tempat yg sekarang menjadi salah satu kawasan otonomi di Spanyol ini. Sejak kecil, cerita dan nama-nama seputar Andalusia seperti Cordoba, Alhambra, Thoriq bin Ziyad dan Ibnu Rusyd selalu terngiang di telinga saya. Alhamdulillah, bulan April 2013 kemarin Allah mengizinkan saya menginjakkan kaki di tempat ini. Ada sebuah pengalaman menarik saat saya berada di GRANADA, salah satu kota di Andalusia. Disinilah hati saya berceceran karena Fatin. Ya, saat itu video audisinya di ajang X Factor saya putar berulang-ulang setiap ada kesempatan. Yg membuat saya tak habis pikir, lagu yg dia bawakan judulnya GRENADE, pas sekali dg nama tempatnya. Ya, di GRANADA saya resmi menjadi korban GRENADE yg dilempar Fatin!
Di Granada jugalah saya jatuh hati kepada Alhambra, sebuah bangunan istana megah dan juga benteng peninggalan masyarakat muslim Spanyol atau yg lebih dikenal sebagai bangsa Moor, yg sejak dahulu telah menjadi simbol peradaban Granada. Alhambra adalah bangunan yang paling terkenal dan menjadi saksi bahwa Granada pernah menjadi kota yg bersinar terang karena kemilau cahaya kemajuan ilmu pengetahuan ketika kota-kota besar lain di Eropa masih terkungkung kegelapan saat itu.
Setiap detail istana Alhambra ini dibangun dg sentuhan seni tingkat tinggi. Dan yg membuat mata dan hati ini terpikat adalah lafadz arab berbunyi "wa laa ghaaliba illallah" yg terukir bertebaran dimana-mana, dg bentuk dan ukuran aneka rupa. Kalimat ini mungkin menjadi pegangan penguasa muslim saat itu, sebagai pengingat bahwa "tidak ada penakluk selain Allah". Jika diterjemahkan bebas, kurang lebih kalimat itu bermakna bahwa tidak ada kejayaan atau kemenangan selain berasal dari Allah.
Saya tidak tahu apakah Fatin juga datang ke Alhambra. Makanya kemarin saya iseng-iseng mensyen twitternya, tanya. Dan seperti dugaan saya, tidak ada jawaban, xixixi. Gapapa kok, saya cuma pingin memastikan saja. Tentunya akan sangat indah kalau Fatin juga ke Alhambra dan membaca tulisan itu, karena sangat pas dg yg dialami Fatin sekarang. Kalimat itu bisa jadi pengingat bahwa semua kemenangan, kejayaan dan kesuksesan yg Fatin dapatkan sekarang adalah karunia Allah semata.