Kebahagiaan juga bisa dirasakan dalam suatu yang sacral. Seperti pernikahan adalah contoh ritual bagi orang Jawa yang dianggap sebagai klimaks dari trilogi ritus kehidupan mereka metu-mantu-mati atau lahir-nikahmati.Â
Perkawinan ini merupakan fase penting pada proses pengintegrasian manusia di dalam tata alam yang sakral. Orang mengatakan bahwa perkawinan adalah menutupi taraf hidup lama dan membuka taraf hidup yang baru.Â
Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya upacara ini merupakan upacara terbesar dan paling meriah bila dibandingkan dengan upacara inisiasi yang lain (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997/1998:187).Â
Adat istiadat tata cara perkawinan Jawa dulunya berasal dari keraton. Tata cara adat kebesaran perkawinan Jawa itu hanya boleh dilakukan di dalam tembok-tembok keraton atau orang-orang yang masih keturunan atau abdi dalem keraton, yang di Jawa kemudian dikenal sebagai priyayi.Â
Ketika kemudian Agama Islam di keratin-keraton di Jawa, khususnya di keraton Yogyakarta, sejak itu tata cara adat perkawinan Jawa berbaur antara budaya Hindu dan Islam, sehingga semua orang bisa melaksanakan tata upacara adat keraton Yogyakarta.
Dalam prosesi upacara perkawinan, ternyata tidak mudah menyelenggarakannya. Tahap demi tahap serta pernak-pernik upacara adat setiap daerah di seluruh Nusantara, masing-masing memiliki tingkat sendiri-sendiri.Â
Dari mulai saat keluarga sang calon pria menanyakan apakah si wanita sudah ada yang memiliki atau belum, upacara lamaran, upacara hantaran, penentuan jam dan tanggal pernikahan, upacara pemasangan bleketepe, upacara siraman, upacara perkawinan, pesta, sampai upacara pembubaran panitia.
Pada zaman sekarang perkawinan yang menggunakan upacara adat semakin sedikit, karena banyank yang beranggapan bahwa pernikahan menggunakan adat adalah hal yang kuno. Sekarang sudah banyak yang menggunakan pernikahan secara modern, termasuk jug arias pengantin atau dukun manten banyak melupakan ritual yang sejak dahulu selalu di jalankan sebelum merias pengantin.
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk suatu keluarga bahagia dan kekal. Dari pasangan demi pasangan itulah selanjutnya terlahir bayi-bayi pelanjut keturunan yang pada akhirnya mengisi dan mengubah warna kehidupan ini.Â
Perkawinan adat merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji dalam sebuah studi sejarah maupun budayanya, apalagi yang dilaksanakan pada kerajaan di daerah tertentu, misalnya di Jawa dengan Kraton Yogyakarta.Â
Hal ini dapat memberikan banyak sekali kajian tentang kebudayaan setempat (local genius), nilai-nilai yang terkandung dalam upacara itu mencerminkan kondisi sosial, filosofis, dan kepercayaan masyarakat mengenai pandangan kehidupan. Upacara perkawinan adat ini diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap dunia pariwisata dengan semakin maraknya pengunjung lokal maupun asing yang ingin menyaksikan jalannya prosesi perkawinan adat di lingkungan Keraton Yogyakarta. Â
Banyak cara dilakukan orang untuk melangsungkan upacara pernikahan. Dari yang paling sederhana hingga sangan mewah, baik dengan tata cara tradisional maupun modern. Meskipun jaman semakin maju, ternyata kecenderungan orang untuk melangsungkan pernikahan secara tradisional tidaklah menurun. Saat ini masih banyak orang yang menganggap, dengan tata cara tradisional upacara perkawinan yang dilaksanakan akan terasa lebih agung dan sakral.
Pada zaman sekarang sudah tidak begitu banyak orang yang melaksanakan resepsi pernikahan menggunakan adat jawa, Karena mereka lebih tertarik dengan prosesi resepsi pernikahan yang lebih modern dan banyak juga yang menggunakan gaya dari barat karena lebih simple dan banyak yang menganggap bahwa pernikhan menggunakan gaya barat itu lebih menarik. Padahal dari perkawinan adat jawa pun banyak yang lebih menarik dan pastinya selalu ada filosofi atau makna di setiap prosesinya.
Yang pertama adalah midodareni. Midodareni berasal dari kata widodari atau bidadari yang turun dari langit. Prosesi ini dilakukan setelah mempelai melakukan upacara siraman, yang merupakan tahap pembersihan bagi kedua calon pengantin sebelum hari sakral pernikahan.Â
Tradisi Midodareni berasal dari legenda Jaka Tarub dan Nawangwulan. Konon dari cerita tersebut, para bidadari datang ke bumi menyambangi calon mempelai wanita yang sedang berdiam diri di kamar menjelang malam pernikahan.
Masyarakat Jawa yang memegang tradisi ini percaya, ini adalah malam saat bidadari mempercantik calon pengantin wanita supaya lebih elok. Calon mempelai wanita tidak tidur dan didampingi oleh sanak keluarga serta pini sepuh.Ia mendengarkan nasihat dari leluhur dan para tamu wanita tentang bagaimana menjalankan kehidupan rumah tangga.Â
Prosesi ini juga berisi doa-doa pada Sang Pencipta untuk calon mempelai agar selalu diberi berkah, rahmat, serta kebahagiaan.
Yang kedua adalah riasan paes pada kening pengantin perempuan ada Paes Prada Ini adalah riasan yang dibuat di kening pengantin wanita. Biasanya berwarna hitam dan berbentuk garis lengkung.Â
Kalau kita lihat, besar lengkungan di kening berbeda-beda. Terdapat satu lengkungan besar yang dibuat di tengah, dan diapit oleh lengkungan-lengkungan kecil. Lengkungan yang besar adalah simbol kebesaran Tuhan. Sedangkan lengkungan yang kecil disebut pengapit, sebagai simbol bahwa seorang istri harus siap menjadi penyeimbang dalam rumah tangga, selanjutnya citak Ini yang dilukis di tengah kening seperti riasan India.Â
Citak berada tepat di tengah-tengah. Sebagai simbol bahwa seorang wanita harus fokus, berpandangan lurus ke depan, dan setia. Selanjutnya  Alis manjangan Adalah bentuk alis yang bercabang seperti tanduk rusa. Bentuk ini memang terinspirasi dari hewan rusa. Karena, rusa adalah hewan yang cerdik, cerdas dan anggun. Artinya perempuan harus memiliki ketiga karakter ini, cerdik, cerdas dan anggun.
Yang ketiga adalah riasan pada rambut atau kepala pengantin perempuan yang pertama ada Cunduk Mentul, Cunduk mentul adalah atribut yang letaknya di kepala yang menjulang tinggi ke atas. Cunduk mentul biasanya terdiri dari 5 sampai 7 bulatan. Namun sebenarnya cunduk mentul dapat berjumlah 1, 3, 5, 7 atau 9. Cunduk mentul yang jumlahnya satu sebagai simbol atas keesaan Tuhan. Berjumlah tiga sebagai simbol trimurti.Â
Jika berjumlah 5, adalah simbol rukun Islam. Jika berjumlah 7 sebagai simbol pertolongan karena tujuh dalam bahasa jawa adalah "pitu" yang dipercaya sebagai simbol "pitulungan". Terbanyak berjumlah 9, sebagai simbol walisongo. Selain itu, cunduk mentul seharusnya dipasang menghadap belakang. Sebagai simbol bahwa perempuan harus cantik saat terlihat dari depan maupun belakang.Â
Yang kedua ada Gunungan, Gunungan juga diletakkan di kepala dan berbentuk seperti gunung. Kenapa berbentuk gunung? Karena gunung dipercaya oleh masyarakat terdahulu sebagai tempat yang sakral dan tempat bernaungnya para dewa. Simbol ini diletakkan di kepala perempuan menandakan bahwa perempuan harus juga dihormati oleh suaminya.Â
Yang ketiga ada Centhung, Centhung berbentuk seperti gerbang sebanyak dua yang terpasang di sisi kanan dan kiri. Ini adalah simbol tentang gerbang kehidupan. Artinya, perempuan harus siap untuk memasuki gerbang baru dalam kehidupannya. Perempuan harus siap masuk memasuki kehidupan dalam rumah tangga dan memerankan diri sebagai seorang istri.
Yang ke empat pada prosesi resepsi adat jawa yang pertama, Pasang tarub, bleketepe, dan tuwuhan adalah awal dari proses pernikahan adat Jawa. Tarub yang dipasang di pagar atau pintu masuk memiliki arti sebagai atap sementara atau peneduh rumah. Pemasangan tarub ini dibarengi dengan pemasang bleketepe ini sebagai penanda rumah sedang melakukan acara pernikahan. Bleketepe, tarub, dan tuwuhan ini juga jadi simbol tolak bala. Bleketepe yang terbuat dari anyaman daun kelapa ini akan dipasangkan dengan tuwuhan.Â
Tuwuhan dipasang di kiri dan kanan gerbang biasanya isinya adalah tumbuh-tumbuhan. Salah satu yang wajib ada adalah pisang raja, kelapa muda, batang padi, dan janur.Â
Pemasangan bleketepe, tarub, dan tuwuhan ini berisi harapan pasangan yang akan segera menikah. Diharapakan calon pengantin memperoleh keturuan yang sehat, berbudi baik, berkecukupan dan selalu bahagia. Yang kedua, Sungkeman mungkin jadi hal yang sudah sering kamu dengar karena prosesi ini bukan hanya ada di prosesi pernikahan saja.Â
Sungekeman ini bukti penghormatan kepada orang tua dan sesepuh. Prosesi ini biasanya terasa lebih intim karena sang calon mempelai akan meminta maaf dan meminta izin untuk segera menjalani kehidupan baru.Â
Yang ketiga, Siraman dimaknai sebagai penyucian diri atau membersihkan diri sebelum upacara sakral. Air untuk siraman dipenuhi dengan bunga sebagai simbol doa agar rumahtangga anak senantiasa indah seperti bunga. Hanya orang yang lebih tua dan sudah menikah yang boleh menyiramkan air pada calon pengantin. Biasanya 7 orang wakil keluarga yang akan menyiramkan air dengan tujuan meminta berkah dan doa pada pernikahan.Â
Yang keempat, Setelah acara siraman berakhir, kedua orang tua mempelai  berjualan dawet atau disebut dengan dodol dawet. Ibu dari calon pengantin akan berjualan sambil dipayungi sang suami.Â
Dodol dawet  ini mempunyai arti kebulatan kehendak orang tua untuk menjodohkan atau melepaskan anaknya. Tamu yang ingin membeli dawet atau cendol ini harus membayar dengan uang kreweng yang terbuat dari tanah liat. Kreweng ini menunjukan kehidupan manusia yang berasal dari tanah. Selama prosesi berlangsung ibu akan melayani pembeli dan ayah akan menerima pembayarannya. Ini memiliki arti mengajarkan calon pengantin untuk mencari nafkah dan saling membantu.Â
Yang ke lima Ngindak endhong dalam bahasa Indonesia mempunyai arti injak telur. Prosesi ini memiliki arti pengharapan kedua pasangan baru untuk mendapatkan keturunan yang merupakan tanda cinta kasih. Selain itu ini juga dilambangkan sebagai kesetiaan istri kepada suaminya. Yang keenam, Setelah prosesi injak telur selesai, pengantin akan melanjutkan dengan prosesi sindur. Kain sindur akan dibentakan kepada pengantin oleh ibu dan bersama-sama dituntun sang ayah berjalan menuju pekaminan.Â
Hal ini adalah pengharapan agar pengantin baru ini siap menghadapi segala kesukaran dalam hidup. Yang ketujuh, Sebelum prosesi kacar kucur dilangsungkan ada prosesi timbangan dimana pasangan baru ini duduk di pangkuan ayah mempelai wanita. Setelahnya baru dilangsungkan proses adat kacar kucur, mempelai pria akan mengucurkan biji-bijian dan uang receh yang disimbolkan sebagai penghasilan. Ini menunjukkan pria bertanggung jawab untuk memberi nafkah kepada keluarganya.
Yang ke delapan, Proses suap-suapan atau dulang-dulangan juga ada di prosesi pernikahan adat Jawa. Dulangan ini mengandung arti kiasan kalau pasangan pria dan wanita diharapkan selalu rukun dan pengertian. Yang ke Sembilan, Sungkeman adalah prosesi terakhir pernikahan adat Jawa. Sungkeman pengantin kepada orangtua ini untuk meminta doa dan memohon maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan, kedua mempelai sembah sungkem kepada kedua pasang orang tua. Apabila kakek dan nenek turut hadir, urutan sembah sungkem diawali dari nenek dan kakek, barulah kedua orang tua.
Menurut saya sangat penting menjaga prosesi perkawinan menggunakan adat, karena setiap prosesi pasti ada makna yang selalu terkandung, ada arti yang baik dalam setiap proses. Akan tetapi, untuk saat ini memang jarang dukun manten  atau rias pengantin yang yang masih melaksanakan rituyal atau memaknai prosesi dengan benar, karena banyak jug arias pengantin yang sudah mengacu pada pernikahan gaya barat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H