Mohon tunggu...
M. Zaky Royyan
M. Zaky Royyan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa STAI Al Anwar Sarang Rembang Jawa Tengah dan Alumnus Amtsilati Pusat

Membacalah seperti Bung Hatta, dan menulislah seperti Buya Hamka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebahagiaan - Antara Kaidah Tasawwuf dan Pedoman Kejawen

4 November 2024   03:32 Diperbarui: 27 November 2024   14:39 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Simbol Kebahagiaan (https://www.istockphoto.com/id/foto-foto/kegembiraan-kebahagiaan)

Manusia adalah makhluk hidup sosial yang tidak bisa hidup sendiri melalui segala perkembangan dalam segi fisik, pemikiran, hingga ke populasinya. Maka dari itu manusia membutuhkan sosial kepada sesamanya agar bisa hidup dengan ideal. Dalam bersosial, manusia berinteraksi dengan manusia yang lain, menjalin hubungan, bertukar pikiran, hingga menjalankan kegiatan yang menunjang peningkatan pada populasinya. Roda Samsara (Istilah Buddha yang menggambarkan kehidupan) manusia tentunya menempuh berbagai peristiwa yang mengandung rasa atau perasaan.

Perasaan yang ada pada manusia salah satunya adalah kebahagiaan. Berikut adalah beberapa definisi kebahagiaan:

  • Edward Francis Diener (July 25, 1946 – April 27, 2021) seorang psikolog asal Negeri Paman Sam (Amerika), mendefinisikan kebahagiaan dengan kesejahteraan subjektif. Menurutnya kebahagiaan adalah penilaian individu terhadap kehidupannya melibatkan kepuasan hidup. Terdapat pula efek positif dan negatif.
  • Seligman (2005) memiliki pengertian tentang kebahagiaan, ia berkata: Bahwa kebahagiaan merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas positif yang disukai oleh individu. Seligman (2005) membagi corak emosi positif menjadi tiga kategori yaitu berhubungan dengan masa lalu, sekarang dan masa depan. Emosi positif yang berhubungan dengan masa depan mencakup harapan, keyakinan, dan kepercayaan. Emosi positif terkait masa lalu mencakup kepuasan, pemenuhan, kebanggaan dan ketenangan sedangkan emosi positif berkaitan dengan masa kini adalah kesenangan. Pada intensitas yang lebih tinggi, kesenangan berasal dari kegiatan yang lebih kompleks dan mencakup perasaan seperti kebahagiaan. (Lopez dan Snyder, 2007)
  • Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali (1059 – 1111) juga memiliki pengertian sendiri pada kata “kebahagiaan”, ia berpendapat bahwa kebahagiaan ini bisa di capai ketika manusia sudah mampu menundukkan nafsu (yang mana nafsu hewan dan setan pada dirinya) dan mengganti dengan sifat malaikat (suci). Menurutnya, orang yang memiliki bahagia tertinggi adalah manusia yang telah terbuka hijabnya terhadap Allah sehingga ia merasa dirinya terkendali oleh Allah dimanapun, bagaimanapun, dan kapanpun.

Beberapa definisi kebahagiaan yang tertuang diatas memberi gambaran perbedaan antara pendapat satu dengan yang lainnya. Pasalnya, definisi-definisi mereka sesuai dengan latar belakang pribadi mereka masing-masing. Hal ini yang menjadikan perbedaan pendapatnya. Lalu, apa korelasinya dengan isi pedoman Kejawen dan Kaidah Tasawwuf?

Korelasinya terdapat pada makna pedoman Kejawen dan teks yang jelas dalam beberapa kaidah tasawwuf. Buku Babad Tanah Jawi – Soedjipto Abimanyu (2017) memaparkan beberapa tradisi yang bahkan telah menjadi karakteristik bagi Suku Jawa dan saya rasa hal ini bisa disebut juga dengan pedoman Kejawen. Pada bab Karakteristik Masyarakat Jawa Soedjipto menuangkan satu sub bab yang bertuliskan “Narimo Ing Pandum”, dan konsep inilah yang saya sebut sebagai pedoman Kejawen. Ciri khas Narimo Ing Pandum adalah salah satu cara hidup yang dijalani oleh orang Jawa. Corak ini menggambarkan sikap hidup yang serba pasrah dengn segala keputusan yang telah ditentukan oleh Tuhan.

Sama seperti yang sudah menjadi kaidah dalam Islam, orang Jawa juga meyakini bahwa hidup adalah sebuah skenario Tuhan. Hal ini tentunya tidak dapat ditentang begitu saja. Segala kejadian dan apapun yang ada dalam kehidupan adalah kehendak Tuhan. Manusia sebagai makhluk ciptaannya tidak dapat mengelak, apalagi melawan semua itu. Dengan pengertian demikian mereka menyimpulkan untuk ini dengan sebutan nasib kehidupan. Dan, nasib kehidupan adalah rahasia Tuhan.

Soedjipto juga menuangkan konsep hidup masyarakat Jawa selain Narimo Ing Pandum yaitu Gotong Royong. Gotong Royong ini tidak bisa dilepas dari masyarakat Jawa karena empati dan solidaritas mereka yang kuat sebagai sesama orang Jawa, bagi masyarakat Jawa, Gotong Royong adalah sebuah kebutuhan pokok guna menyongsong kesejahteraan bangsa mereka. Sebab keterbiasaan mereka yang hidup berkelompok sehingga intensitas hubungan mereka yang sangat kuat adalah salah satu faktor dari salah satu konsep hidup ini.

Analogi saya terhadap konsep-konsep diatas semua melahirkan kesimpulan bahwasanya sebagai makhluk hidup yang membutuhkan satu sama lain atau bersosial, alangkah baiknya menerapkan beberapa konsep dari pedoman Suku Jawa diatas yang mempunyai korelasi dengan kaidah tasawwuf supaya meraih kebahagiaan. Sebab sudah menjadi hukum mutlak bagi seluruh kalangan bahwa jika sedang dalam keadaan sulit, lalu mendapatkan bantuan orang lain maka akan merasa bahagia. Yang mendapatkan bantuan merasa bahagia, yang membantu juga merasa bahagia.

Begitupula hubungan manusia dengan Tuhan dalam konsep hidup masyarakat Jawa tersebut bisa dikaitkan dengan konsep yang sudah banyak diketahui yaitu Syukur dan Tawakkal (berserah). Konsep syukur tidak patut dijalankan hanya pada saat-saat tertentu seperti: Saat sedang memiliki banyak harta, saat sedang terbunga-bunga menjalin asmara, saat meraih juara, namun konsep ini juga harus dijalankan pada saat-saat dimana sekilas tampak tidak mengenakkan padahal seyogyanya banyak “enak” yang tidak disadari oleh beberapa pihak yang menganggap demikian. Begitupula dengan Tawakkal, berserah atas apapun yang terjadi pada kehidupan manusia adalah salah satu cara agar mencapai kebahagiaan. Dalam kitab Ihya Ulumu al-Din  karya Imam Ghazali disebutkan:

فالسعادة وراء علم المكاشفة و علم المكاشفة وراء علم المعاملة التي هي سلوك الطريق الأخرة

“Kebahagiaan adalah ilmu mukasyafah, dan ilmu mukasyafah ada karena ilmu mu’amalah (keseharian) yang betujuan untuk akhirat”

Saya rasa kedua konsep tersebut juga termasuk dari keseharian yang bertujuan untuk akhirat. Dalam kitab Manaqib Syekh Abu Hasan As-Syadzily tertuang beberapa fadhilah (keutamaan) bagi orang-orang yang menerima segala yang telah ditentukan oleh Allah. Maka dari itu, perbanyaklah bersyukur dan Tawakkal dalam setiap saat, menerima segala ketentuan yang telah ditentukan oleh Tuhan, dan niscaya akan mencapai tingkat kebahagiaan. Sebab banyak kemauan yang ngoyo (memaksakan diri) adalah salah satu faktor ketidakbahagiaan manusia (Soedjipto juga menuangkan konsep yang senada demikian).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun