Secara kasat mata kita menyaksikan berbagai kasus yang menunjukkan tumpang tindihnya kepentingan ekonomi politik dan pengambilan kebijakan dalam konteks good governance. Kasus skandal Bank Century maupun kasus Nazaruddin, adalah contoh telanjang bagaimana kepentingan ekonomi politik dari suatu oligarkhi politik dominan bermain dan menelikung pengambilan kebijakan atas nama tata kelola pemerintahan yang bersih. KPK (komisi pemberantasan korupsi) yang dibentuk sebagai pengejawantahan pendekatan neo-institusionalism seperti tak berdaya melakukan investigasi terhadap kasus-kasus di atas sampai ke akar persoalannya, terpasung oleh tarikan kalkulasi elite politik.
Pada akhirnya, para oligarkh partai politik menjadikan kasus ini sebagai sandera politik dan alat negosiasi belaka dalam proses komunikasi politik. Kasus-kasus yang terjadi pada politik lokal, juga memperlihatkan bagaimana aktivitas aktor-aktor politik utama yang menjalankan praktik desentralisasi adalah faktor utama yang menghambat pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan transparan. Gambaran pendek tentang kondisi politik yang berlangsung pasca otoritarianisme di atas menunjukkan bahwa formasi ekonomi-politik yang terjadi di Indonesia saat ini bukanlah sebuah transformasi kapitalisme dengan institusi politik bersih yang mengawalnya seperti dibayangkan oleh para penganjur good governance. Apa yang terjadi di atas memperlihatkan bahwa Indonesia pasca Soeharto adalah perluasan dan pendalaman praktik akumulasi primitif dari sirkulasi modal yang telah muncul pada era Soeharto, yang dilakukan oleh aparatus negara dan para klien ekonomi di belakangnya.
Salah satu bentuk pertemuan antara agenda kepentingan sistem pasar bebas dan kepentingan dari elite-elite predatoris akan segera tampak apabila proses politik yang tengah dilakukan untuk menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) berhasil direalisasikan. Di satu sisi, kebijakan menaikkan harga BBM Â berarti menyerahkan kepentingan hajat hidup orang banyak pada mekanisme pasar; pada sisi lain kebijakan turunan yang diambil sebagai bagian dari kebijakan ini sarat tendensi kepentingan dari para elite politik predatoris di Indonesia. Hanya karena adanya gerakan massa yang berlawan, maka kebijakan ini ditunda untuk sementara waktu. Penundaan ini, sepertinya] menunjukkan terdesaknya kepentingan elite penguasa predatoris dalam panggung politik. Namun demikian kita tak boleh alpa, ketika harga BBM akan dinaikkan per September-Oktober, maka pada penghujung 2012 dana BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) sebesar Rp 200 ribu- Rp 250 ribu akan disebarkan ke seluruh masyarakat tanpa adanya efek signifikan dalam mengangkat produktivitas ekonomi masyarakat yang ketahanan hidup dan daya belinya telah dilantakkan oleh efek kenaikan harga BBM.
Maka menjelang 2014 dapat kita prediksi bersama, bagaimana para elite predatoris memasukkan kepentingan ekonomi politiknya dalam agenda pasar bebas. Kemungkinan-kemungkinan praktik politik koruptif menjadi niscaya, misalnya, mengonversikan bantuan bagi orang miskin dengan suara di pemilu, atau sebagai asupan dana bagi partai politik.
Demikianlah, alih-alih membangun masyarakat terbuka, demokratis, dan setara, sistem demokrasi liberal dan pasar bebas di Indonesia telah bahu-membahu mengabadikan sistem rente ekonomi-politik, penggemukan oligarkhi, penghancuran ketahanan sosial masyarakat, dan pengikisan kehidupan demokratik berbasis otonomi warga.
Pembelahan Politik
Dalam kondisi demikian, jalan awal rehabilitasi politik bagi para aktor-aktor demokrasi adalah mempertimbangkan perlunya pembelahan politik ketimbang konsensus politik. Sudah saatnya kita memaknai konsolidasi demokrasi, pertama-tama bukan sebagai proses pembentukan konsensus di antara para elite-elite politik. Mengingat di kalangan elite-elite politik yang koruptif tersebut, proses konsensual politik menjadi arena mem-peti-es-kan kasus-kasus penjarahan aset publik yang mereka lakukan. Dalam lingkungan politik yang dipenuhi oleh elite-elite predatoris, maka pemaknaan proses konsolidasi demokrasi adalah melakukan pembelahan politik secara radikal, dengan cara mengonfrontasikan kekuatan-kekuatan sosial yang mendapat keuntungan dari proses akumulasi primitif yang berlangsung pada era free market democracy, dengan mereka yang dirugikan oleh bekerjanya sistem tersebut.
Hanya melalui pembelahan politik, penyaringan kekuatan-kekuatan sosial dan proses rekonstitusi kekuatan-kekuatan sosial progresif, kita dapat keluar kungkungan tirani modal-cum tirani elite-elite predatoris di Indonesia. Dalam proses politik pembelahan  ini, kita tak dapat bergantung pada proyek-proyek konsolidasi demokrasi seperti good governance dan berbagai agenda pembangunan yang berbasis pada demokrasi liberal dan tatanan pasar bebas. Mengapa demikian? Tidak lain karena tampilnya kekuatan-kekuatan progresif yang melawan kelas politik baru yang mengambil manfaat dari desain neoliberalisme adalah pula perlawanan terhadap rezim neoliberalisme. Dalam konteks perlawanan terhadap kebijakan pencabutan subsidi BBM, misalnya, maka gerakan sosial progresif harus menempatkannya sebagai bagian dari perlawanan terhadap rezim kapitalisme-neoliberal secara keseluruhan. Sebab kita paham bahwa siapapun dan dari partai atau koalisi partai manapun yang berkuasa, sepanjang mereka tunduk pada agenda-agenda kapitalisme-neoliberal maka proses privatisasi, deregulasi dan liberalisasi pasar serta pemotongan anggaran publik (pencabutan subsidi) akan terus  bnerlangsung. Jika tidak, maka aksi-aksi militan tersebut akan mudah terjebak pada pertarungan politik di tingkat elite yang sama-sama korup dan diuntungkan oleh kebijakan neoliberal selama ini.
Inilah makna politik pembelahan yang saya sebut di atas. Dan hanya dalam terang kesadaran inilah, maka kontradiksi antara kekuatan-kekuatan pendukung pasar bebas dan kekuatan sosial progresif yang ingin menyudahi penindasan dan eksploitasi kapital akan semakin nyata. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H