Mohon tunggu...
Roy Pakpahan
Roy Pakpahan Mohon Tunggu... -

observer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Transmutasi Neoliberalisme di Indonesia

3 Oktober 2014   04:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:34 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Transmutasi Neoliberalisme di Indonesia


Airlangga Pribadi, Mahasiswa Program Doktoral Ekonomi Politik di Asia Research Centre (ARC) Murdoch University, Australia

SETELAH dua belas tahun jatuhnya rezim Soeharto, muncul sebuah keyakinan yang mengental menjadi iman baru di kalangan intelektual, teknokrat, politisi, dan pengambil kebijakan di Indonesia bahwa desain institusi politik demokrasi liberal dan agenda good governance akan melapangkan jalan bagi penciptaan masyarakat terbuka berbasis pasar. Sistem ini diyakini bisa mendisiplinkan aparatus pemerintahan, menghabisi korupsi, dan memberi ruang setara bagi setiap orang untuk masuk dan menikmati berkah dari pasar bebas. Dalam perayaan besar perkawinan demokrasi liberal dan sistem pasar bebas ini, maka partisipasi tiap-tiap kekuatan sosial guna melancarkan jalan bagi desain neoliberal akan mengekuivalenkan kesederajatan tiap-tiap orang di negeri ini sebagai warga yang setara dalam politik sekaligus warga dari sistem pasar yang inklusif (market citizenship).

Namun demikian, perjalanan dua belas tahun era pasca otoritarianisme telah memunculkan cerita yang berbeda. Argumentasi para aktivis pendukung pasar bebas ternyata memiliki keterbatasan, karena tidak mempertimbangkan terjadinya interaksi antara praktik diskursif neoliberalisme dengan kekuatan-kekuatan sosial-politik dominan yang eksis di Indonesia.

Problem utama panggung politik Indonesia adalah terjadinya proses transmutasi praktik neoliberalisme di lingkungan politik yang koruptif di Indonesia. Terminologi transmutasi di sini merujuk pada istilah dalam ilmu kimia untuk menjelaskan perubahan sebuah entitas menjadi suatu entitas baru melalui proses persenyawaan kimiawi. Dalam konteks neoliberalisme di Indonesia, proses transmutasi praktik neoliberalisme terjadi bukan disebabkan oleh benturan dialektik antara kekuatan pro-pasar dan kekuatan populis anti-pasar. Pertemuan desain neoliberalisme dengan kepentingan kekuatan-kekuatan oligarkhi ekonomi politik di Indonesia, tidak melahirkan terbangunnya sebuah sistem yang menempatkan manusia-manusia Indonesia yang digerakkan oleh mekanisme pasar dalam kondisi yang setara. Pertemuan agenda neoliberalisme dan oligarkhi politik memunculkan terbangunnya lapisan kelas-kelas politik ekonomi baru yang mampu beradaptasi dengan kondisi pasar beserta susunan jejaring patronase politik di bawahnya.

Demikianlah, selama dua belas tahun era pasca otoritarianisme Soeharto, kita menyaksikan kemunculan dinasti-dinasti politik baru yang ditopang oleh tampilnya kekuatan orang-orang super kaya di Indonesia (Catatan Forbes 2012 bahwa 17 orang Indonesia masuk dalam daftar orang kaya dunia). Sementara kesetaraan dan keadilan ekonomi bagi tiap-tiap manusia Indonesia, sebagai warga yang dapat menikmati berkah masyarakat terbuka di bawah sistem pasar bebas, tak kunjung tercipta.

Pudarnya mimpi kalangan intelektual teknokratik untuk menciptakan kesejahteraan ekonomi di bawah payung sistem pasar bebas beserta formulasi good governance, terjadi karena aktor dan aliansi politik strategis di tingkat domestik yang turut mengusung gagasan ini terbukti berhasil mengakomodasi agenda neoliberal dan memanfaatkannya untuk kepentingan sosial mereka sendiri (Vedi R. Hadiz 2006, Richard Robison 2006). Pendeknya, di bawah arahan para aktor-aktor politik yang korup, praktek neoliberalisme di Indonesia telah bertransmutasi menjadi tata kelola pemerintahan predatoris yang memangsa sumber-sumber ekonomi dan aset-aset publik.

Apa yang terjadi di Indonesia, memperlihatkan kondisi yang mirip dengan negara-negara di Amerika Latin pada dekade 1990-an. Seperti diutarakan sosiolog William I Robinson  dalam karyanya Promoting Polyarchy: Globalization, US Intervention and Hegemony (1996), setelah kejatuhan beberapa junta militer dan rezim otoritarian di berbagai negara, proses demokrasi tak berhasil memajukan agenda politik popular dalam arus utama politik. Menurut Robinson, proses konsolidasi demokrasi di Amerika Latin sejak akhir tahun 80-an telah memunculkan karakter low intensity democracy (demokrasi berintensitas rendah). Berdasarkan arahan-arahan lembaga donor internasional, fokus reformasi politik yang dilakukan hanya menitikberatkan pada agenda demokrasi yang terbatas pada bagaimana memilih pemimpin melalui pemilihan umum yang jujur dengan segala pernak-perniknya, tanpa memperhatikan penguatan kapasitas politik dari rakyat itu sendiri. Sementara agenda pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi serta inklusi masyarakat, kesemuanya dijalankan untuk menanamkan tatanan pasar bebas dan reformasi teknokratik anti-politik di dalam sistem politik yang koruptif dan predatoris, tanpa hadirnya agenda-agenda redistribusi pendapatan dan keadilan struktural di dalamnya. Seperti yang kemudian terjadi di Indonesia, Amerika Latin juga mengalami fase tumbuhnya oligarkhi-oligarkhi politik yang menyumbat kanalisasi politik arus bawah, munculnya ketidakpercayaan publik dan tampilnya kekuatan rakyat yang menciptakan alternatif politik dengan melahirkan pemimpin-pemimpin organik dari mereka sendiri.

Kegagalan Neo-Institusionalisme

Menurut pengusung neo-institutionalisme, proses pembentukan rezim pasar bebas (neoliberalism regime) selain memerlukan persetujuan dan pelibatan elemen- elemen masyarakat, juga membutuhkan kontrol kelembagaan terhadap aktivitas elite politik dalam pengelolaan negara. Hal ini untuk mencegah distorsi terhadap berjalannya mekanisme pasar. Dari pertimbangan inilah, dalam pandangan para pengusung gagasan pelembagaan politik, agenda good governance menemukan relevansinya. Di atas, kertas menurut mereka, proses integrasi negara-negara berkembang ke dalam ekonomi global akan berjalan harmonis ketika lembaga-lembaga baru dibentuk untuk mengawasi proses pelayanan publik, dan lembaga-lembaga politik formal diperkuat perannya guna  menciptakan tatanan politik yang bersih di era masyarakat pasar.

Problem mendasar dari desain good governance adalah tidak mempertimbangkan hadirnya faktor seperti kekuasaan, kepentingan dan kontestasi politik di ladang yang di atasnya disemaikan bibit pengetahuan praktis neoliberal tersebut. Konstatasi praktik neoliberal melupakan bahwa aktor-aktor aliansi strategis domestik pengusung gagasan neoliberal adalah kekuatan ekonomi politik yang tumbuh melalui proses inkubasi di lingkungan kapitalisme rente di era otoritarianisme Soeharto, maupun para wirausaha politik baru yang eksis melalui proses adaptasi atas institusi negara post-authoritarian yang korup. Alih-alih menciptakan tata kelola pemerintahan demokratik, transparan, dan akuntabel, implementasi pasar bebas di Indonesia berjalan melalui proses malpraktik politik dari para elite.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun