Mohon tunggu...
Roy Thaniago
Roy Thaniago Mohon Tunggu... -

Penulis dan peneliti yang meminati isu media dan kebudayaan. Pernah bekerja sebagai redaktur di majalah Bung! dan karbonjournal.org. Mendirikan Remotivi pada 2010 dan menjadi direktur lembaga tersebut hingga 2015. Saat ini ia tengah menempuh studi Kajian Media dan Komunikasi di Lund University, Swedia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sape Nyang Namenya Opini?

10 Mei 2010   07:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:18 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Lah?? Katanya sebuah tulisan itu tidak boleh subyektif? Harus objektif katanya!”

“Adakah sesuatu yang benar-benar obyektif? Bahkan ‘1+1=1’ itu pun tidak obyektif. Ia subyektivitas etnis/kelompok tertentu. Bukankah setiap orang pada kenyataannya tidak obyektif karena ia datang sambil menggendong asal-usulnya, latarbelakangnya, pengalamannya, dan ke-aku-annya? Dan karenanya, bakal ada keberpihakan di sana. Buat saya, kebenaran universal sudah gugur sejak lama di medan perang posmodernisme”

Contoh ini mungkin dapat memperjelas. Seorang wartawan berdarah Madura di suatu surat kabar terbitan Jakarta ditugaskan ke Sampit untuk meliput kerusuhan antara etnis Madura dengan Dayak. Opini umum yang berkembang di masyarakat mendiskreditkan suku Dayak sebagai pihak yang bersalah. Sebagai wartawan ia tahu ada yang tidak seimbang dalam pemberitaan tersebut. Namun di sisi lain, ke-Madura-annya, berkata nada yang lain pula. Bagaimana ia bisa menulis dengan benar-benar obyektif?

Bagaimana pun subyektivitas akan selalu ada. Di mana pun. Kapan pun. Pada siapa pun. Namun subyektivitas dapat lebih bertanggungjawab dan memuaskan semua pihak ketika kehadirannya didukung oleh argumentasi, fakta, dan data yang diolah dalam logika tersendiri. Sekalipun seorang bersifat subyektif, ia pun harus menghormati dan memberi ruang bagi fakta kebenaran yang ada. Itu semualah yang membentuk sebuah tulisan opini. Jadi kesimpulannya, opini itu disusun berdasarkan data, fakta, argumen, perangsang, penggoda, pemanis, dan pengorganisasian ide lewat kata dan kalimat.

Dan karena sifatnya opini yang subyektif, yang membuka ruang untuk diberi sentuhan personal tiap penulisnya, maka tulisan opini menjadi khas. Khas penulisnya. Maka di kemudian hari, si opini akan kita kenal dengan berbagai nama: kolom, esai, atau karangan kreatif.

Pun kita mengenal nama-nama besar karena tulisan opininya yang khas. Mereka bicara tentang sesuatu yang besar – kadang kecil, tapi terlihat besar – kepada mereka yang besar pula. Lantas apakah karenanya opini menjadi elitis dan hanya berteman dengan kalangan tertentu?

Saya kira jawabannya ada pada Anda. Lewat saya yang biasa dan kecil ini, opini tidak hadir dalam wajahnya yang mewah dan angkuh. Ia tidak elit. Malah sebaliknya: lugu, polos, jenaka, malah terkadang kampungan.

Jadi, dari pada Anda menerka-nerka, menuduh-nuduh, memfitnah-fitnah si opini, lebih baik Anda berkenalan langsung dengan mulai menulis. Nanti Anda akan tahu, ia elit atau tidak. Saya sudah lelah membela si opini.

4 April 2010
KA Bima menuju Madiun

Disampaikan pada pelatihan jurnalistik di Madiun dan Surabaya, April 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun